3.5/5
Crime
Dialog-driven
Drama
Indonesia
Panoramic
Remake
Romance
Socio-cultural
Survival
The Jose Flash Review
Urban
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bulan di Atas Kuburan (2015)
Tanpa referensi apa-apa, hanya dengan bekal membaca
judulnya, pasti banyak yang mengira ini adalah film horor. Tak salah, karena di
ranah film Indonesia, image ‘kuburan’ sudah begitu lekat dengan horor. Padahal
sebenarnya Bulan di Atas Kuburan (BdAK)
adalah sebuah remake dari film berjudul sama tahun 1973 yang disutradarai oleh
salah satu sutradara besar Indonesia, Asrul Sani (Lewat Djam Malam, Salah
Asuhan, Naga Bonar, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Titian Serambut Dibelah Tujuh, dan Nada dan Dakwah). Sementara vrsi remake
ini naskahnya ditulis oleh Dirmawan Hatta yang sebelumnya kita kenal lewat Toilet Blues dan Optatissimus, dan disutradarai Edo WF Sitanggang yang sebelumnya
lebih dikenal sebagai penata suara nominee FFI, seperti di Emak Ingin Naik Haji dan Identitas.
Dalam satu dialog di film, ternyata ‘kuburan’ adalah metafora dari orang-orang
di Jakarta yang terus membusuk. Ya, BdAK memang film yang menyindir (atau
mengolok-olok?) kota Jakarta, tapi dengan sudut pandang universe yang
‘serba-Batak’. Menarik? Tentu saja.
BdAK berkisah seputar 2 pemuda Batak asal Samosir, Sahat
(Rio Dewanto) dan Tigor (Donny Alamsyah), yang tergiur oleh iming-iming orang
sekampungnya, Sabar (Tio Pakusadewo) yang terlihat sukses di Jakarta. Sahat
kebetulan lebih intelek karena sempat memenangkan lomba menulis novel tapi tak
kunjung mendapat kabar lanjutan, sementara Tigor hanya sopir angkot. Nekad ke
Jakarta, ternyata mereka mendapati Sabar pun tak sesukses yang ia pamerkan di
kampung halamannya. Ketiganya masih harus bergelut untuk survive di tengah
kerasnya hidup Jakarta. Bahkan Sahat yang punya talenta lebih pun harus
terjebak dalam ‘lingkaran setan’ politik Jakarta, Tigor bergelut di dunia underground Jakarta, sementara Sabar menceburkan diri ke proyek-proyek pemerintah yang kental korupsi. Semakin lama semakin dalam mereka bertiga terperosok di dunianya masing-masing, sampai mereka lupa diri dan mencari cara untuk keluar sebelum terlambat.
Mengolok-olok dan mengkritik kehidupan di Jakarta, Dirmawan
membekali BdAK dengan dialog-dialog yang renyah dan cerdas. Gaya penceritaan
Edo pun sejak awal sudah menarik, apalagi nuansanya tidak dibawa begitu serius,
pun juga penonton ditemani pemandangan alam dan musik khas Batak yang begitu
eksotis. Namun begitu memasuki Jakarta, penceritaan pun menjadi semakin serius.
Ada sesekali humor-humor yang diceletukkan karakter-karakternya, tapi nuansanya
jelas berubah menjadi sangat serius, dengan dialog-dialog yang semakin tajam.
Sayangnya, 3 karakter utama; Sahat, Tigor, dan Sabar, diceritakan secara
terpisah, namun dengan porsi yang saling tumpang tindih. Alhasil tidak ada satu
pun yang terasa lebih kuat maupun lebih penting dibanding yang lain.
Masing-masing menarik sebenarnya, namun gara-gara porsi yang saling tumpang
tindih, dan masing-masing diceritakan dengan cukup bertele-tele (terutama part
Tigor), semakin lama penceritaan BdAK menjadi terasa melelahkan. Untung saja
ada beberapa punchline dialog kuat di tiap scene yang masih mampu menghibur
saya dan film tak sampai jatuh menjadi kelewat depresif. Saya belum pernah menonton versi aslinya, tapi mungkin saja BdAK versi
2015 ini memang sengaja mempertahankan gaya penceritaan aslinya, karena di sini
terasa sekali gaya penceritaan drama film Indonesia lawas yang begitu khas.
Kekuatan utama BdAK jelas jajaran cast-nya yang termasuk
all-star. Mulai Rio Dewanto, Donny Alamsyah, Tio Pakusadewo, mampu membawakan
peran masing-masing dengan begitu hidup dan mampu mengundang simpati penonton.
Atiqah Hasiholan pun mampu mengimbangi akting ketiganya dengan cukup kuat. Tak
hanya itu, penampilan para cast pendukung yang tak kalah all-star dan
menariknya sehingga mampu menjadi scene stealer tersendiri. Mulai Ray Sahetapy,
Ria Irawan, Arthur Tobing, Nungky Kusumawati, Remy Silado, Mentari De Marelle,
Dayu Wijanto, Ferry Salim, Andre Hehanusa, Amink, Denada Tambunan, hingga
Meriam Bellina. Justru penampilan beberapa cameo di sini berhasil menjadi
penyegar film, terutama ketika berada di part-part serius.
Bonus lain yang patut diapresiasi dan turut menjadi kekuatan
BdAK adalah sinematografi Donny H Himawan Nasution dan Samuel Uneputty yang
berhasil mem-framing berbagai set indahnya, mulai keindahan alam Samosir,
interior rumah keluarga Sehat dengan warna-warna vibrant-nya, hingga landscape
dan underground Jakarta, termasuk bar-bar kelas bawahnya, dengan angle-angle
yang cinematically enchanted. Beberapa shot yang tampak seperti direkam
menggunakan lensa wide, memberikan varian gambar yang menarik. Tak ketinggalan
iringan musik gubahan Viky Sianipar dan Willy Haryadi yang mampu menghidupkan
keseluruhan BdAK dengan begitu eksotis dan cukup menggugah emosi.
Di tengah film-film Indonesia lainnya, BdAK yang mengusung
budaya Batak dengan sangat kental, menjadi warna yang segar dan menarik. Nikmati
saja flow ceritanya dengan santai. Jika tak tertarik oleh dialog dan temanya
yang serius, setidaknya Anda masih bisa terhibur oleh shot-shot dan iringan
musik yang cantik.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.