3.5/5
Based on Book
Drama
dystopian
Futuristic
Hollywood
Humanity
Philosophical
Psychological
Romance
SciFi
Socio-cultural
The Jose Movie Review
Young Adult
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Giver
Overview
Satu lagi film bertema young
adult dengan latar dystopian. Tapi sumber yang dipakai kali ini adalah sebuah
novel anak-anak yang sudah rilis jauh sebelum trend sejenis seperti The Hunger Games, Divergent, dan The Maze Runner.
Yap, novel The Giver karya penulis
Lois Lowry sudah keluar sejak tahun 1993. Jadi, salah besar jika Anda mengira The Giver ikut-ikutan trend yang mungkin
sekarang sudah mulai melelahkan. Meski karakter anak yang ada di novel harus ‘disesuaikan’
dengan trend, menjadi karakter-karakter remaja. But it’s okay. Tidak ada
salahnya menyimak hasil adaptasi dari novel yang sempat membawa pulang banyak
penghargaan bergengsi.
Jika mau dicari persamaannya
dengan film-film sejenis akhir-akhir ini, secara premise The Giver paling mirip dengan Divergent.
Bedanya, The Giver sama sekali tidak
menyajikan action adventure sebagai menu utama seperti halnya Divergent. Ia justru fokus pada aspek filosofis
dari konsep besar ceritanya. Tapi bukan berarti The Giver jatuh menjadi tontonan yang membosankan dan berat.
Sebaliknya, The Giver mampu menarik
perhatian saya sepanjang durasi berkat pemaparannya yang tak hanya menarik tapi
juga relevan dengan keadaan sekarang. And best of all, beberapa adegan (terutama
flashback) mampu membuat saya (dan saya yakin, banyak dari penonton lainnya
juga) merasakan emosi yang cukup mendalam.
Secara keseluruhan, The Giver mungkin belum bisa dikatakan
sebagai karya utuh yang benar-benar luar biasa. I don’t know why, somehow klimaksnya
tidak begitu terasa sehingga ketika film berakhir, kesan yang saya dapatkan
tidak begitu mendalam. Tidak, bukan berarti film garapan sutradara Phillip
Noyce ini sengaja dibiarkan mengambang untuk membuka kesempatan untuk sekuel. Toh,
meski punya 3 seri novel pendamping lainnya, masing-masing punya cerita yang
berdiri sendiri. Apalagi, kenyataannya The
Giver tergolong flop di box office. Yes, cerita memang dibiarkan terbuka
mungkin untuk membiarkan setiap penonton punya persepsi masing-masing.
Anyway, The Giver tetaplah sebuah tontonan yang menarik disaksikan, apalagi
jika Anda menggemari tema-tema filosofis sosial dan kemanusiaan. So, tidak ada
salahnya mencoba untuk menyaksikan di layar lebar untuk mendapatkan feel yang
ultimate.
The Casts
Brenton Thwaites semakin
menunjukkan pesonanya sebagai bintang muda baru berbakat. Meski tergolong tidak
terlalu istimewa, dari segi porsi dan kapasitas akting, jelas ia menunjukkan
peningkatan performa yang cukup mencolok semenjak Maleficent dan Oculus. Sementara
Odeya Rush yang seharusnya menjadi pasangan yang sepadan untuk Brenton masih
belum bisa mencuri perhatian, apalagi di tengah bintang-bintang senior meski
mengisi peran-peran pendukung.
Di jajaran cast pendukung, Jeff
Bridges tampil paling mencolok. Begitu juga Meryl Streep yang seperti biasa
mencuri perhatian meski dengan peran yang biasa-biasa saja. Kehadiran Katie
Holmes pun cukup mampu mengobati kerinduan saya yang merasa sudah lama tidak
menyaksikan aktingnya di layar lebar. Terakhir, kredit khusus patut saya
sematkan untuk Taylor Swift yang meski porsinya sangat sangat sedikit, namun
mampu membuat saya terkecoh. Di sini Swift terlihat dan terasa sedikit berbeda
dengan sosoknya sehari-hari yang kita kenal.
Technical
Dengan setting futuristik, The Giver jelas lebih dari cukup dalam
menampilkan desain produksi. Futuristik yet simple and elegant. Color tone yang
saturasi rendah hingga colorful yang digunakan sepanjang film sesuai dengan
konsep cerita, mampu terlihat pas dan sometimes, indah. Tentu saja ini juga
berkat sinematografi dari Ross Emery.
Tata suara The Giver patut mendapatkan kredit
tersendiri dalam menghidupkan adegan-adegan yang ada. Begitu juga dengan score
dari Marco Beltrami yang terkesan minimalis tanpa mengurangi ke-elegan-an
cerita. Tidak lupa theme song Only Human
dari OneRepublic yang cukup ikonik dan catchy.
The Essence
Manusia selalu berusaha
mencapai kesempurnaan, termasuk dalam hidup bermasyarakat. Berbagai upaya
dilakukan, berbagai peraturan dibuat agar bisa mencapai tatanan hidup ideal nan
sempurna itu. Tapi yang sering dilupakan adalah manusia dilahirkan dengan
kodrat yang beragam dan dengan bekal kebebasan. Bagaimanapun kodrat individu
yang alami tidak akan bisa begitu saja dikalahkan oleh peraturan yang dibuat
manusia. What is perfection, anyway?
They who will enjoy this the most
- Young adult dystopian’s fans
- The novel’s fans
- Audiences who love philosophical aspect in a movie
- Audiences who enjoy analyzing humanity and social studies