The Jose Movie Review
The Giver


Overview

Satu lagi film bertema young adult dengan latar dystopian. Tapi sumber yang dipakai kali ini adalah sebuah novel anak-anak yang sudah rilis jauh sebelum trend sejenis seperti The Hunger Games, Divergent, dan The Maze Runner. Yap, novel The Giver karya penulis Lois Lowry sudah keluar sejak tahun 1993. Jadi, salah besar jika Anda mengira The Giver ikut-ikutan trend yang mungkin sekarang sudah mulai melelahkan. Meski karakter anak yang ada di novel harus ‘disesuaikan’ dengan trend, menjadi karakter-karakter remaja. But it’s okay. Tidak ada salahnya menyimak hasil adaptasi dari novel yang sempat membawa pulang banyak penghargaan bergengsi.

Jika mau dicari persamaannya dengan film-film sejenis akhir-akhir ini, secara premise The Giver paling mirip dengan Divergent. Bedanya, The Giver sama sekali tidak menyajikan action adventure sebagai menu utama seperti halnya Divergent. Ia justru fokus pada aspek filosofis dari konsep besar ceritanya. Tapi bukan berarti The Giver jatuh menjadi tontonan yang membosankan dan berat. Sebaliknya, The Giver mampu menarik perhatian saya sepanjang durasi berkat pemaparannya yang tak hanya menarik tapi juga relevan dengan keadaan sekarang. And best of all, beberapa adegan (terutama flashback) mampu membuat saya (dan saya yakin, banyak dari penonton lainnya juga) merasakan emosi yang cukup mendalam.

Secara keseluruhan, The Giver mungkin belum bisa dikatakan sebagai karya utuh yang benar-benar luar biasa. I don’t know why, somehow klimaksnya tidak begitu terasa sehingga ketika film berakhir, kesan yang saya dapatkan tidak begitu mendalam. Tidak, bukan berarti film garapan sutradara Phillip Noyce ini sengaja dibiarkan mengambang untuk membuka kesempatan untuk sekuel. Toh, meski punya 3 seri novel pendamping lainnya, masing-masing punya cerita yang berdiri sendiri. Apalagi, kenyataannya The Giver tergolong flop di box office. Yes, cerita memang dibiarkan terbuka mungkin untuk membiarkan setiap penonton punya persepsi masing-masing.

Anyway, The Giver tetaplah sebuah tontonan yang menarik disaksikan, apalagi jika Anda menggemari tema-tema filosofis sosial dan kemanusiaan. So, tidak ada salahnya mencoba untuk menyaksikan di layar lebar untuk mendapatkan feel yang ultimate.

The Casts

Brenton Thwaites semakin menunjukkan pesonanya sebagai bintang muda baru berbakat. Meski tergolong tidak terlalu istimewa, dari segi porsi dan kapasitas akting, jelas ia menunjukkan peningkatan performa yang cukup mencolok semenjak Maleficent dan Oculus. Sementara Odeya Rush yang seharusnya menjadi pasangan yang sepadan untuk Brenton masih belum bisa mencuri perhatian, apalagi di tengah bintang-bintang senior meski mengisi peran-peran pendukung.

Di jajaran cast pendukung, Jeff Bridges tampil paling mencolok. Begitu juga Meryl Streep yang seperti biasa mencuri perhatian meski dengan peran yang biasa-biasa saja. Kehadiran Katie Holmes pun cukup mampu mengobati kerinduan saya yang merasa sudah lama tidak menyaksikan aktingnya di layar lebar. Terakhir, kredit khusus patut saya sematkan untuk Taylor Swift yang meski porsinya sangat sangat sedikit, namun mampu membuat saya terkecoh. Di sini Swift terlihat dan terasa sedikit berbeda dengan sosoknya sehari-hari yang kita kenal.

Technical

Dengan setting futuristik, The Giver jelas lebih dari cukup dalam menampilkan desain produksi. Futuristik yet simple and elegant. Color tone yang saturasi rendah hingga colorful yang digunakan sepanjang film sesuai dengan konsep cerita, mampu terlihat pas dan sometimes, indah. Tentu saja ini juga berkat sinematografi dari Ross Emery.

Tata suara The Giver patut mendapatkan kredit tersendiri dalam menghidupkan adegan-adegan yang ada. Begitu juga dengan score dari Marco Beltrami yang terkesan minimalis tanpa mengurangi ke-elegan-an cerita. Tidak lupa theme song Only Human dari OneRepublic yang cukup ikonik dan catchy.

The Essence

Manusia selalu berusaha mencapai kesempurnaan, termasuk dalam hidup bermasyarakat. Berbagai upaya dilakukan, berbagai peraturan dibuat agar bisa mencapai tatanan hidup ideal nan sempurna itu. Tapi yang sering dilupakan adalah manusia dilahirkan dengan kodrat yang beragam dan dengan bekal kebebasan. Bagaimanapun kodrat individu yang alami tidak akan bisa begitu saja dikalahkan oleh peraturan yang dibuat manusia. What is perfection, anyway?

They who will enjoy this the most

  • Young adult dystopian’s fans
  • The novel’s fans
  • Audiences who love philosophical aspect in a movie
  • Audiences who enjoy analyzing humanity and social studies 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.