Overview
Film
bertemakan Perang Dunia II sudah tak terhitung lagi banyaknya dan rata-rata
memang punya kualitas yang baik. Berbagai fokus dan pendekatan pun sudah
dilakukan untuk memberikan insight yang berbeda. Namun ketika sutradara sekelas
David Ayer mencoba untuk membuat film bertemakan PD II, jelas ini jadi sesuatu
yang menarik. Bukannya apa, selama ini Ayer dikenal spesialis film bertemakan
modern street violence dengan pendekatan personal antar karakter utama, seperti
Harsh Times, Street Kings, dan End of
Watch. Maka dengan memindahkan style yang serupa ke setting PD II pasti
bikin penasaran, terutama bagi fans Ayer.
What you do
expect from Ayer, that’s what you got from Fury.
Di tangan Ayer, Fury menggambarkan
neraka perang yang begitu mengerikan, tak hanya karena adegan-adegan sadisme
yang di atas rata-rata, tapi juga bangunan nuansanya yang bahkan lebih mencekam
daripada film horor. Namun kemudian ia mengontraskan nuansa mengerikan dengan
karakter-karakter yang masih punya hati tulus dan bersih, yang hidup di
tengah-tengah neraka. Karakter kharismatik Wardaddy dan Norman seolah sengaja
ditulis untuk menunjukkan kontras itu. Tak ketinggalan karakter-karakter
pendukung seperti Bible, Gordo, dan Grady, yang mengamini tipikal prajurit
perang: beringas dan tak berperikemanusiaan, sebagai kontras yang semakin
mencolok.
Seperti
biasa, tema bromance juga diselipkan sebagai nafas emosi dan dramatisasi dalam
cerita. Tak seperti Street Kings, End of Watch, dan Training Day yang menjadikan koneksi antar karakternya sebagai
penggerak cerita utama, kali ini Ayer membubuhkan dalam kadar secukupnya saja.
Tak begitu mendalam tergali, namun at some point berhasil menjadi adegan-adegan
yang cukup emosional dan memorable.
Overall, Fury menawarkan nuansa haunting dari
perang dengan kadar yang belum pernah dicapai film bertemakan serupa
sebelumnya, tanpa melupakan pure heart humanity yang ditampilkan dengan kadar
yang pas. Dari jajaran film yang pernah digarap Ayer, Fury mungkin jadi yang paling high profile dan dengan pencapaian
yang tertinggi dari berbagai aspek.
The Casts
Sekilas Brad
Pitt seolah memerankan karakter yang mirip dengan perannya di Inglourious Basterds. Namun ternyata di
sini ia tak hanya memerankan karakter yang berbeda, tapi juga dengan
kharismatik dan penghayatan yang jauh lebih hidup. Peningkatan kelas juga
dialami Logan Lerman yang sebelumnya memainkan karakter-karakter tipikal. Di
sini ia menunjukkan transformasi karakter yang hidup dan wajar sejak awal
hingga akhir film.
Shia LaBeouf
yang selama ini masih sering terjebak dalam karakter serupa (termasuk ketika di
Nymphomaniac sekalipun), kali ini
akhirnya berhasil keluar dan menampilkan karakter yang lebih dewasa dengan
penghayatan yang juga lebih baik. Sementara aktor langganan Ayer, Micael Peña, masih
tak jauh-jauh dari peran-peran yang diberikan Ayer kepadanya sebelum ini.
Scene
stealer? Tentu kecantikan dan keanggunan Alicia von Rittberg yang memukau meski
tanpa dialog dan porsi yang sedikit.
Technical
Seperti
film-film bertemakan perang lainnya, Fury
juga menyuguhkan tata suara yang menggelegar namun tetap terdengar jernih.
Mulai suara tembakan hingga dentuman peledak terdengar luar biasa.
Kekuatan
paling mencolok dari Fury adalah
scoring Steven Price yang tak hanya memberikan kesan grande tapi juga haunting
dan bernuansa okultisme. Benar-benar menghadirkan horor yang lebih mengerikan
dari film horor manapun.
Sementara
sinematografi Roman Vasyanov dan editing Jay Cassidy serta Dody Dorn membuat
pace Fury terasa begitu pas untuk
dinikmati dan sesuai dengan konsep secara keseluruhan.
The Essence
Even in the
deepest hell, you can create your own heaven by doing so and make everyting
felt better.
They who will enjoy this the most
- World War II themed fans
- Brotherhood themed fans
- Gore and graphic violence enthusiasts
- General audiences who seek for thrilling and exciting entertainment