4/5
Action
Adventure
Bromance
Comedy
Crime
Franchise
Hollywood
Martial Art
Pop-Corn Movie
Summer Movie
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Expendables 3
Overview
Di atas kertas, ide mengumpulkan
bintang-bintang film action legendaris lawas ke dalam satu layar adalah ide
yang menarik. Sayang konsep besar installment The Expendables pertama kurang digarap dengang kuat, ditambah
dengan style serta nuansa ala film action 80-an yang sudah tidak begitu relevan
dengan selera penonton saat ini. Beruntung installment ke-dua memiliki style
yang lebih ‘ramah’ dengan selera penonton saat ini sehingga lebih bisa
dinikmati lebih banyak penonton, meski secara keseluruhan masih terasa seperti
film action kelas B (straight to video) karena belum punya pijakan konsep dasar
yang cukup kuat. Maka installment ke-tiga (seharusnya) menjadi kesempatan untuk
menyempurnakan elemen-elemen yang disukai dari installment-installment sebelumnya.
Dan rupanya PR besar itu cukup mampu dipenuhi oleh hampir seluruh tim yang
terlibat.
Sejak adegan pembuka, saya cukup
terkesan dengan improvement yang dibuat di The
Expendables 3 (Ex3) ini. Hampir semua elemen-nya digarap dengan treatment
yang selayaknya didapatkan dari konsep semenarik all-action-stars-packed
seperti The Expendables ini. Dimulai
dari pijakan konsep besar yang akhirnya cukup matang: action heroes’ post-power
syndrome. Plotnya pun dikembangkan secara menarik dengan memasukkan karakter-karakter
baru yang secara generasi memang lebih muda, persiapan sebagai bridging ke
installment-installment berikutnya jika berniat dibuat. Skrip pun diperkuat
dengan koneksi antar karakter yang jauh terasa lebih nyata dan berkembang
ketimbang installment-installment sebelumnya, terutama karakter Barney Ross dan
Lee Christmas. Klise sih, tapi siapa yang peduli? Franchise pop seperti ini tak
butuh skrip yang orisinal atau rumit. Konsep besar yang matang, jelas, dan
terarah sudah lebih dari cukup untuk membangun elemen-elemen hiburannya menjadi
renyah di atasnya, bukan? Toh, skrip juga menyelipkan cukup banyak dialog yang
quotable dan punchline humor yang masih mempan.
Adegan-adegan action yang
digelar, baik yang hanya dengan tangan kosong, senjata api, maupun ledakan, pun
semuanya ditata dengan rapi, pace yang tepat, serta takaran yang pas.
Menjadikan saya merasakan excitement yang cukup membuat beberapa kali berteriak
“gila” secara spontan. Mulai aksi penyelamatan Doc sebagai pembuka film, hingga
pertarungan one-on-one tanpa senjata Sylvester Stallone vs Mel Gibson yang
mungkin menjadi impian penggemar film action pop-corn sejak lama. Kelonggaran
rating dari R (Restricted) menjadi PG-13 agaknya hanya untuk menjaring penonton
muda yang lebih banyak. Toh Ex3 masih menyisakan adegan-adegan sadis khasnya.
Hanya minus darah yang bermuncratan dan detail adegan yang diambil secara
longshot saja. Sound effect-nya masih tetap dimunculkan untuk tetap memberikan
kesan ‘greget’. Tak ketinggalan karakterisasi tokoh-tokoh yang sengaja dibuat
mirip dengan karakter legendaris yang pernah diperankan si aktor sebelumnya,
seperti gesture dan signatural quote, untuk menambah sisi fun bagi yang
familiar.
In the end tentu semuanya kembali
kepada selera penonton masing-masing yang impresinya bisa berbeda-beda,
tergantung dari seberapa jauh elemen-elemen yang ada relate dengan penonton.
Tapi dengan dukungan yang serba mumpuni, serta hasil akhir yang jelas tampak
digarap dengan treatment kelas A, The
Expendables akhirnya menemukan ‘identitas’ yang pas dan setara dengan
jajaran cast-nya. That’s why sayang sekali jika faktor-faktor luar (seperti kasus
kebocoran copy di internet sebelum rilis di bioskop) sampai merusak hasil box
office dan menghambat penggarapan kelanjutan franchise. Tentu Anda berharap
melihat lebih banyak aktor-aktor action di satu layar kan seperti ini kan?
The Casts
Meski mendapatkan koneksi antar
karakter yang lebih baik, penampilan gang asli Expendable masih tak beda dengan
installment-installment sebelumnya. Stallone masih dingin meski kadang sisi
kesepian dan lemahnya terlihat cukup jelas, sesuai dengan kebutuhan cerita. Lee
Christmas masih yang paling bad-ass. Dolph Lundgren masih saja tampak dungu dan
menyebalkan. Untung saja porsinya sudah jauh berkurang. Jet Li juga masih saja
diberi porsi yang super minim jika tak ingin disebut sebagai sekedar kubu “penghibur”.
Di jajaran cast baru namun masih
dari kubu ‘tua’, penampilan Harrison Ford (yang mengingatkan karakter Han
Solo), Wesley Snipes (bak Simon Phoenix dari Demolition Man), Antonio Banderas (seperti gabungan karakter Puss
in Boots dan Miguel dari Assassins),
dan tentu saja Mel Gibson yang berkontribusi cukup banyak dalam menaikkan
‘kelas’ franchise The Expendables.
Setidaknya Mel tampak menarik memerankan karakter villain.
Sayangnya di jajaran cast baru
generasi muda, hanya nama Kellan Lutz dan Ronda Rousey yang punya nama. Sisanya
tidak begitu dikenal sekaligus tidak begitu memorable. Meski memberikan
performa akting yang tak jauh beda dari sebelumnya, setidaknya tampilan Kellan
terlihat sedikit lebih berkelas. Sementara Ronda yang populer lewat ajang UFC
jelas sosok yang pas untuk mengisi karakter wanita perkasa pun juga punya daya
tarik seksual cukup tinggi.
Technical
Sebagai sebuah film action
pop-corn, Ex3 punya tingkat keindahan sinematografi di atas rata-rata berkat
angle-angle menarik dan komposisi frame yang cantik dari Peter Menzies Jr.
Kredit berikutnya yang menonjol adalah score Brian Tyler yang membuat
adegan-adegan aksi terasa lebih seru dan tetap terkesan elegan.
Pilihan soundtrack-soundtrack
pengiring yang lebih bervariatif dalam hal genre sehingga mampu memberi warna
yang juga beragam, terutama pada adegan perkenalan karakter-karakter muda.
Untuk tata suara tidak perlu
diragukan lagi. Semuanya terdengar cukup detail dan juga memanfaatkan fasilitas
surround dengan cukup maksimal.
The Essence
Post power syndrome jelas menjadi
garis besar cerita franchise The
Expendables. Jika yang pertama para jagoan-jagoan tua ini masih ‘hidup
dalam fantasi’ mereka sebagai badass, maka di installment ke-dua, mereka mulai
realistis dan mengolok-olok diri sendiri. Di installment ke-tiga ini, Barney
sebagai ketua tim akhirnya membuka diri untuk meregenerasi timnya demi
tercapainya tujuan. Well, in this case, mengkolaborasikan kekuatan dari kedua generasi, lebih
tepatnya. Seperti salah satu dialog Barney Ross, “Nothing lasts forever. We're
part of the past. If we keep this up, the only way this ends for any of us is
in a hole in the ground, and no one will give a shit.”
They who will enjoy this the most
- Fans of each legendary action hero played in this installment
- Those who are familiar with previous iconic roles of each action hero
- General audiences who seek for an exciting and fun pop-corn action movie