The Jose Movie Review
The Expendables 3

Overview

Di atas kertas, ide mengumpulkan bintang-bintang film action legendaris lawas ke dalam satu layar adalah ide yang menarik. Sayang konsep besar installment The Expendables pertama kurang digarap dengang kuat, ditambah dengan style serta nuansa ala film action 80-an yang sudah tidak begitu relevan dengan selera penonton saat ini. Beruntung installment ke-dua memiliki style yang lebih ‘ramah’ dengan selera penonton saat ini sehingga lebih bisa dinikmati lebih banyak penonton, meski secara keseluruhan masih terasa seperti film action kelas B (straight to video) karena belum punya pijakan konsep dasar yang cukup kuat. Maka installment ke-tiga (seharusnya) menjadi kesempatan untuk menyempurnakan elemen-elemen yang disukai dari installment-installment sebelumnya. Dan rupanya PR besar itu cukup mampu dipenuhi oleh hampir seluruh tim yang terlibat.

Sejak adegan pembuka, saya cukup terkesan dengan improvement yang dibuat di The Expendables 3 (Ex3) ini. Hampir semua elemen-nya digarap dengan treatment yang selayaknya didapatkan dari konsep semenarik all-action-stars-packed seperti The Expendables ini. Dimulai dari pijakan konsep besar yang akhirnya cukup matang: action heroes’ post-power syndrome. Plotnya pun dikembangkan secara menarik dengan memasukkan karakter-karakter baru yang secara generasi memang lebih muda, persiapan sebagai bridging ke installment-installment berikutnya jika berniat dibuat. Skrip pun diperkuat dengan koneksi antar karakter yang jauh terasa lebih nyata dan berkembang ketimbang installment-installment sebelumnya, terutama karakter Barney Ross dan Lee Christmas. Klise sih, tapi siapa yang peduli? Franchise pop seperti ini tak butuh skrip yang orisinal atau rumit. Konsep besar yang matang, jelas, dan terarah sudah lebih dari cukup untuk membangun elemen-elemen hiburannya menjadi renyah di atasnya, bukan? Toh, skrip juga menyelipkan cukup banyak dialog yang quotable dan punchline humor yang masih mempan.

Adegan-adegan action yang digelar, baik yang hanya dengan tangan kosong, senjata api, maupun ledakan, pun semuanya ditata dengan rapi, pace yang tepat, serta takaran yang pas. Menjadikan saya merasakan excitement yang cukup membuat beberapa kali berteriak “gila” secara spontan. Mulai aksi penyelamatan Doc sebagai pembuka film, hingga pertarungan one-on-one tanpa senjata Sylvester Stallone vs Mel Gibson yang mungkin menjadi impian penggemar film action pop-corn sejak lama. Kelonggaran rating dari R (Restricted) menjadi PG-13 agaknya hanya untuk menjaring penonton muda yang lebih banyak. Toh Ex3 masih menyisakan adegan-adegan sadis khasnya. Hanya minus darah yang bermuncratan dan detail adegan yang diambil secara longshot saja. Sound effect-nya masih tetap dimunculkan untuk tetap memberikan kesan ‘greget’. Tak ketinggalan karakterisasi tokoh-tokoh yang sengaja dibuat mirip dengan karakter legendaris yang pernah diperankan si aktor sebelumnya, seperti gesture dan signatural quote, untuk menambah sisi fun bagi yang familiar.

In the end tentu semuanya kembali kepada selera penonton masing-masing yang impresinya bisa berbeda-beda, tergantung dari seberapa jauh elemen-elemen yang ada relate dengan penonton. Tapi dengan dukungan yang serba mumpuni, serta hasil akhir yang jelas tampak digarap dengan treatment kelas A, The Expendables akhirnya menemukan ‘identitas’ yang pas dan setara dengan jajaran cast-nya. That’s why sayang sekali jika faktor-faktor luar (seperti kasus kebocoran copy di internet sebelum rilis di bioskop) sampai merusak hasil box office dan menghambat penggarapan kelanjutan franchise. Tentu Anda berharap melihat lebih banyak aktor-aktor action di satu layar kan seperti ini kan?

The Casts

Meski mendapatkan koneksi antar karakter yang lebih baik, penampilan gang asli Expendable masih tak beda dengan installment-installment sebelumnya. Stallone masih dingin meski kadang sisi kesepian dan lemahnya terlihat cukup jelas, sesuai dengan kebutuhan cerita. Lee Christmas masih yang paling bad-ass. Dolph Lundgren masih saja tampak dungu dan menyebalkan. Untung saja porsinya sudah jauh berkurang. Jet Li juga masih saja diberi porsi yang super minim jika tak ingin disebut sebagai sekedar kubu “penghibur”.

Di jajaran cast baru namun masih dari kubu ‘tua’, penampilan Harrison Ford (yang mengingatkan karakter Han Solo), Wesley Snipes (bak Simon Phoenix dari Demolition Man), Antonio Banderas (seperti gabungan karakter Puss in Boots dan Miguel dari Assassins), dan tentu saja Mel Gibson yang berkontribusi cukup banyak dalam menaikkan ‘kelas’ franchise The Expendables. Setidaknya Mel tampak menarik memerankan karakter villain.

Sayangnya di jajaran cast baru generasi muda, hanya nama Kellan Lutz dan Ronda Rousey yang punya nama. Sisanya tidak begitu dikenal sekaligus tidak begitu memorable. Meski memberikan performa akting yang tak jauh beda dari sebelumnya, setidaknya tampilan Kellan terlihat sedikit lebih berkelas. Sementara Ronda yang populer lewat ajang UFC jelas sosok yang pas untuk mengisi karakter wanita perkasa pun juga punya daya tarik seksual cukup tinggi.

Technical

Sebagai sebuah film action pop-corn, Ex3 punya tingkat keindahan sinematografi di atas rata-rata berkat angle-angle menarik dan komposisi frame yang cantik dari Peter Menzies Jr. Kredit berikutnya yang menonjol adalah score Brian Tyler yang membuat adegan-adegan aksi terasa lebih seru dan tetap terkesan elegan.

Pilihan soundtrack-soundtrack pengiring yang lebih bervariatif dalam hal genre sehingga mampu memberi warna yang juga beragam, terutama pada adegan perkenalan karakter-karakter muda.
Untuk tata suara tidak perlu diragukan lagi. Semuanya terdengar cukup detail dan juga memanfaatkan fasilitas surround dengan cukup maksimal.

The Essence

Post power syndrome jelas menjadi garis besar cerita franchise The Expendables. Jika yang pertama para jagoan-jagoan tua ini masih ‘hidup dalam fantasi’ mereka sebagai badass, maka di installment ke-dua, mereka mulai realistis dan mengolok-olok diri sendiri. Di installment ke-tiga ini, Barney sebagai ketua tim akhirnya membuka diri untuk meregenerasi timnya demi tercapainya tujuan. Well, in this case, mengkolaborasikan kekuatan dari kedua generasi, lebih tepatnya. Seperti salah satu dialog Barney Ross, “Nothing lasts forever. We're part of the past. If we keep this up, the only way this ends for any of us is in a hole in the ground, and no one will give a shit.”

They who will enjoy this the most

  • Fans of each legendary action hero played in this installment
  • Those who are familiar with previous iconic roles of  each action hero
  • General audiences who seek for an exciting and fun pop-corn action movie
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.