3.5/5
Action
Adventure
Disaster
Family
Humanity
Mockumentary
Pop-Corn Movie
Summer Movie
Teen
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Into the Storm
Overview
Era trend disaster movie sudah
lama lewat. Tak heran saat ini ketika ada satu saja disaster movie yang muncul,
bisa dengan mudah menarik perhatian. Tapi jangan salah, tak mudah membuat
disasater movie menjadi memorable. Karena pada banyak kasus, tak sedikit
disaster movie yang jatuh menjadi film kelas B yang lebih layak diedarkan
langsung dalam format home video atau FTV. Sebenarnya kunci keberhasilannya
hanya dua: membuat penontonnya merasakan teror seperti benar-benar berada di
situasi bencana dan menyentuh sisi kemanusiaan penonton. Mau didaur ulang
berkali-kali pun, asal dua kunci itu terpenuhi, tetap akan berhasil memenangkan
hati penonton dengan mudah. Berbeda dengan kasus Roland Emmerich yang memang
spesialis membuat penonton berekspektasi terpukau hanya oleh efek CGI, tanpa
perlu menyentil sisi emosi manusiawinya secara mendalam. Seperti yang sudah
pernah ia tunjukkan lewat The Day After
Tomorrow dan 2012.
Dari sekian banyak disaster
movie, badai atau tornado atau angin ribut, atau apalah sebutannya termasuk
jarang dilirik. Mungkin selama ini hanya Twister
yang berhasil menempel di benak kita sampai sekarang. Sementara badai di tengah
laut masih lebih banyak dibuat, seperti The
Perfect Storm atau Life of Pi
yang sebenarnya lebih berfokus pada perjalanan spiritual ketimbang sekedar
disaster movie. Maka apa yang dilakukan Warner Bros. di tengah bulan yang termasuk
sepi sepanjang musim panas 2014 ini cukup mengejutkan. Promonya baru gencar
beberapa minggu sebelum rilis, dengan aktor-aktris yang belum begitu dikenal di
layar lebar meski sangat familiar di layar kaca, serta sutradara dan penulis
naskah yang juga belum punya terlalu banyak pengalaman. Intinya, dengan
treatment yang sama sekali jauh dari film kelas A atau blockbuster, sejak awal
jelas Warner Bros. tidak mensetting Into
the Storm (ITS) sebagai film blockbuster yang akan meraup ratusan juta
dolar atau akan dikenang selama berpuluh-puluh tahun ke depan. Tapi tentu bukan
berarti hasil akhir filmnya bakal buruk, bukan?
Menurut saya bisa dibilang
sebagai sedikit kejutan di tengah musim panas yang dikenal persaingan paling
keras sepanjang tahun, meski termasuk rilis di bulan sepi, ia masih harus
bersaing dengan Marvel’s Guardians of the
Galaxy dan Teenage Mutant Ninja
Turtles yang tergolong franchise kuat. ITS memang tak didukung skrip yang
cukup memadai sehingga tak akan menjadi disaster movie yang akan masih terus
dikenang selama beberapa tahun ke depan. Malah jika mau dianalisa lebih dalam,
skrip ITS sangatlah dangkal. Dengan pengenalan karakter-karakter yang terlalu
banyak namun sebenarnya tak terlalu penting nantinya, ITS kurang mulus dalam
mengajak penonton masuk ke dalam cerita. Memang pada akhirnya ada beberapa
karakter yang menarik untuk disimak dan setiap karakter sebenarnya mewakili
karakter-karakter manusia dalam menghadapi bencana, namun tetap saja
ujung-ujungnya masih termasuk dangkal. Simpati penonton tetap akan muncul,
namun lebih karena faktor sesama manusia, bukan kedekatan penonton dengan
karakter-karakter di layar. Justru menurut saya ada beberapa karakter, seperti
Pete yang sebenarnya menarik jika dikembangkan lebih dalam, namun skrip membiarkannya
menjadi karakter yang misterius, jika tidak mau disebut kurang jeli dalam
mengembangkan karakter yang menarik. Penulis naskah John Swetnam memang
tergolong kurang begitu berpengalaman dan melihat karya terakhirnya, Step Up All In, maka tak heran jika
hasilnya masih seperti demikian.
Untunglah di bangku sutradara
dipilih Steven Quale yang sedikit lebih berpengalaman dalam meramu pengadeganan
dan timing yang pas untuk memainkan adrenalin penonton. Berbekal pengalaman
yang serupa ketika menyutradarai Final
Destination 5, Steven sekali lagi berhasil membuat penonton merasakan
seolah benar-benar berada di tengah badai, atau yang disebut di dalam filmnya,
in the eye of the storm. Pretty intense, sesekali berhasil membuat saya spontan berteriak atau sekedar memegang erat pegangan kursi bioskop. Skalanya mungkin
tak sebesar Twister, The Day After Tomorrow, atau 2012, namun formula thriller-nya sebagai
disaster movie sangat efektif dan berhasil.
Well, dengan ekspektasi yang
tepat dan cukup, sebenarnya ITS masih termasuk film ringan yang sangat
menghibur dan yang terpenting, sudah berhasil menjalankan misi utamanya sebagai
disaster movie yang efektif.
The Casts
Aktor-aktris utamanya sebenarnya
bermain dengan pas dan baik meski tak diberi perkembangan yang berarti oleh skrip.
Saya menyukai akting Matt Walsh sebagai Pete, Richard Armitage sebagai Gary,
dan tentu saja Sarah Wayne Callies sebagai Allison yang paling mencuri layar,
baik karena pesona fisiknya maupun karakternya yang memang menarik.
Di deretan pemeran pendukung,
Alycia Debnam Carey sebagai Kaitlyn bermain paling baik. Goodbye speech-nya di saat genting mampu membuat saya
sedikit merinding oleh aktingnya. Sementara Max Deacon sebagai Donnie terasa
yang paling lemah di balik kecanggungan karakternya.
Technical
Konsistensi gaya visual memang
yang paling banyak dikeluhkan dari ITS. Jika sengaja ingin teliti, konsistensi
visual antara found footage dan sudut pandang orang ketiga konvensional memang
terasa sangat mengganggu. Kualitas gambar ala digital yang super tajam untuk
adegan ala found footage dengan kamera biasa juga terasa janggal. Tetapi jika
Anda lebih suka fokus mengikuti storyline-nya ketimbang meneliti detail-detail
tersebut, maka seharusnya gaya visual ITS tidak menjadi permasalahan yang
begitu berarti.
Visual effect dan sound effect
untuk adegan badai adalah tonggak utama disaster movie manapun. Dan untuk
tujuan tersebut, ITS termasuk yang sangat berhasil menghidupkan adegan badai
sehingga mampu memompa adrenalin penonton secara maksimal. Termasuk efek surround
yang dimanfaatkan dengan maksimal di sini. Sayang untuk melewatkannya di layar
lebar dengan dukungan tata suara yang memadai.
Terakhir, score dari Brian Tyler
juga termasuk megah dan layak diberi apresiasi kredit khusus untuk tipikal
disaster movie sejenis.
The Essence
Setiap orang punya pola pikir dan
cara yang berbeda dalam menghadapi situasi bencana. Miris rasanya melihat
perubahan karakter manusia jaman sekarang yang rela mengancam nyawanya sendiri
demi kekayaan dan popularitas di dunia maya yang belum tentu berhasil.
Karakter Pete dan timnya menurut saya menjadi menarik, karena memunculkan
dilema antara hati nurani kemanusiaan atau obsesi yang sebenarnya juga penting
atas nama perkembangan iptek. Meski tidak digali lebih dalam, ITS memunculkan
potret-potret yang menarik dari manusia dalam menghadapi bencana alam yang tak
terelakkan.
They who will enjoy this the most
- Disaster movie enthusiast
- Thriller movie fans
- General audience who seek for light and terrifying entertainment