4/5
Biography
Documentary
German Cinema
History
Musical
Psychological
Socio-cultural
Spiritual
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Journey to Jah
Kita
mengenal ada cukup banyak frase yang menggambarkan musik. Ada yang mengatakan
musik adalah bahasa universal yang bisa dipahami oleh berbagai bangsa meski
memiliki bahasa yang berbeda-beda. Ada pula yang mengatakan musik adalah salah
satu bentuk ekspresi jiwa, yang tentu saja erat kaitannya dengan spiritualisme.
Tentu saja setiap orang punya impresi dan referensi masing-masing tentang musik
dan berbagai jenis aliran dan genre yang disukainya, terlepas dari apa pun
teorema-teorema tentang hubungan musik dengan manusia.
Journey to Jah (JtJ) adalah salah satu film
dokumenter yang berusaha menelusuri seberapa jauh pengaruh musik, dalam konteks
ini musik reggae, terhadap berbagai aspek manusia, salah satunya spiritualitas,
serta bagaimana musik bisa menjadi ekspresi budaya suatu masyarakat. Bukan
tanpa alasan mengapa dipilih judul Journey
to Jah yang juga merupakan judul single dari Gentleman, salah satu tokoh
utama di film. Jah pada judul adalah istilah kaum Rastafari untuk menyebut kata
Tuhan. Berasal dari kata Yahwe atau bisa juga kependekan dari istilah
“Halelluyah”. Di Indonesia, paham Rastafari dan musik reggae memang bukan
termasuk hal populer. Oke, kita mungkin punya beberapa nama artis reggae yang
sempat populer, namun jumlahnya sangat sedikit dibandingkan genre-genre
lainnya. Maka nama tokoh-tokoh utama yang diperkenalkan di JtJ; Tilman Otto
alias Gentleman dan Alberto D’Ascola alias Alborosie, masih terdengar asing di
telinga penonton Indonesia. Tak masalah, untungnya JtJ cukup jelas
memperkenalkan keduanya di awal film.
Rupanya
sebagai sebuah dokumenter, JtJ tak mau hanya berfokus dari kacamata perjalanan
Gentleman dan Alborosie saja. Atas nama memberikan gambaran yang konkret
tentang musik reggae dan Rastafari, serta sejarahnya yang akurat, muncul pula
Prof. Dr. Carolyn Cooper, yang menjelaskan dengan detail keadaan sosial
masyarakat Jamaika dan kaitannya dengan musik reggae serta ajaran Rastafari.
Menarik dan sangat memperkaya wawasan penontonnya, bahkan bagi yang benar-benar
awam tentang musik reggae.
Film
dokumenter bergaya reportase, lengkap dengan interview-interview seperti ini
bisa jadi lebih membosankan ketimbang mengambil salah satu karakter sebagai
sudut pandang dan dengan satu fokus subjek. Namun rupanya duet sutradara Noël
Dernesch dan Moritz Springer tak ingin hanya memberikan sepotong-sepotong
informasi tentang subjeknya. Hasil kerja keras selama 7 tahun demi memberikan
gambaran lengkap tentang kultur Jamaika, terutama reggae dan kaitannya dengan
berbagai variabel kondisi sosial asal negaranya.
Awalnya
penonton seolah diajak untuk berpikir bahwa musik tidak mengenal batasan
wilayah dan kultur, lewat sosok Gentleman. Pemuda Jerman yang memiliki
“kelebihan” dalam berbicara dengan bahasa dan logat Jamaika, padahal ia asli
kaukasian Jerman. Keajaiban inilah yang menjadi modal kesuksesannya di scene
musik reggae. Masyarakat Jamaika pun mengelu-elukannya. Di Jamaika, dengan
bantuan produser musik Jack Radics dan sopirnya, Natty, Gentleman mengenal
lebih dalam makna di balik musik reggae dan dogma Rastafari. Kemudian penonton
diajak untuk mengenal Rastafari sebagai spiritual atau semacam “agama” seperti
yang dirasakan oleh Alborosie. Serupa dengan Gentleman, Alborosie adalah pemuda
Italia yang besar di lingkungan mafia dan juga sukses sebagai artis reggae.
Bedanya, di satu titik Alborosie memutuskan untuk meninggalkan Italia untuk
lebih mendalami akar musik yang ia bawakan di kampung halamannya: Jamaika.
Alborosie justru menemukan spiritualitas lewat musik reggae dan Rastafari di
Jamaika setelah bertahun-tahun mempertanyakan berbagai hal dalam hidupnya lewat
agama.
Lantas
keberadaan Gentleman dan Alborosie dikontraskan dengan kehadiran Terry Lynn,
artis wanita yang dibesarkan di lingkungan ghetto di Kingston, kota terbesar di
Jamaika. Uniknya, meski lahir dan besar di Jamaika, ia justru jauh dari musik
reggae maupun ajaran Rastafari. Aliran musik yang dibawakan nya pun beragam,
mulai pop rock hingga techno-dance. Namun lirik-liriknya berisi tentang kritik
sosial, kekerasan, dan seks. Tiga hal yang tak jauh-jauh dari lingkungan tempat
ia dibesarkan. Dalam satu adegan Terry digambarkan sedang mengadakan konser di
Berlin. Seolah Gentleman dan Terry Lynn ‘bertukar’ ruang namun memiliki kultur
yang sama.
Kemudian
satu per satu, Jack Radics dan Prof. Dr. Carolyn Cooper, seorang profesor asli
Jamaika yang menjelaskan pengalamannya serta sejarah kultur dan sosial
masyarakat Jamaika. Bahkan sampai menjelaskan sejarah bagaimana tari erotis
menjadi bagian dari musik mereka. Unik, namun terkesan acak dan rakus ingin
menceritakan semua tentang musik reggae, dari A sampai Z. Bisa jadi literatur
yang komprehensif dan akurat, namun potensinya adalah membuat penonton bosan.
Untung
saja kemasan JtJ sangat indah, baik secara visual maupun audio. Malah untuk
ukuran sebuah dokumenter, kualitas gambar JtJ setara dengan film feature fiksi
narasi Hollywood. Belum lagi dukungan shot-shot cantik, termasuk untuk
stock-stock footage yang hanya digunakan sebagai filler, dan juga color grading
yang warm khas Jamaika, bak filter Instagram. Tak ada yang istimewa di editing.
Cukup mampu membuat flow yang enak dinikmati meski strukturnya agak random dan
terkesan jumbled. Sementara secara audio, beruntung ia punya ‘koleksi’
lagu-lagu reggae yang tak hanya asyik didengarkan, namun lirik-liriknya juga
mampu memberikan narasi tersendiri di setiap adegan.
JtJ
sungguh bak sajian lengkap from A to Z tentang musik pada umumnya, dan reggae
pada khususnya. Saya mendapatkan cukup banyak hal baru dan semangat-semangat
positif darinya, baik itu dari segi spiritualitas maupun segi sosial. Saya
yakin siapa pun yang menonton juga punya kesempatan menemukan hal yang sama.
Lihat data film ini di IMDb.