The Jose Movie Review
Journey to Jah



Kita mengenal ada cukup banyak frase yang menggambarkan musik. Ada yang mengatakan musik adalah bahasa universal yang bisa dipahami oleh berbagai bangsa meski memiliki bahasa yang berbeda-beda. Ada pula yang mengatakan musik adalah salah satu bentuk ekspresi jiwa, yang tentu saja erat kaitannya dengan spiritualisme. Tentu saja setiap orang punya impresi dan referensi masing-masing tentang musik dan berbagai jenis aliran dan genre yang disukainya, terlepas dari apa pun teorema-teorema tentang hubungan musik dengan manusia.

Journey to Jah (JtJ) adalah salah satu film dokumenter yang berusaha menelusuri seberapa jauh pengaruh musik, dalam konteks ini musik reggae, terhadap berbagai aspek manusia, salah satunya spiritualitas, serta bagaimana musik bisa menjadi ekspresi budaya suatu masyarakat. Bukan tanpa alasan mengapa dipilih judul Journey to Jah yang juga merupakan judul single dari Gentleman, salah satu tokoh utama di film. Jah pada judul adalah istilah kaum Rastafari untuk menyebut kata Tuhan. Berasal dari kata Yahwe atau bisa juga kependekan dari istilah “Halelluyah”. Di Indonesia, paham Rastafari dan musik reggae memang bukan termasuk hal populer. Oke, kita mungkin punya beberapa nama artis reggae yang sempat populer, namun jumlahnya sangat sedikit dibandingkan genre-genre lainnya. Maka nama tokoh-tokoh utama yang diperkenalkan di JtJ; Tilman Otto alias Gentleman dan Alberto D’Ascola alias Alborosie, masih terdengar asing di telinga penonton Indonesia. Tak masalah, untungnya JtJ cukup jelas memperkenalkan keduanya di awal film.

Rupanya sebagai sebuah dokumenter, JtJ tak mau hanya berfokus dari kacamata perjalanan Gentleman dan Alborosie saja. Atas nama memberikan gambaran yang konkret tentang musik reggae dan Rastafari, serta sejarahnya yang akurat, muncul pula Prof. Dr. Carolyn Cooper, yang menjelaskan dengan detail keadaan sosial masyarakat Jamaika dan kaitannya dengan musik reggae serta ajaran Rastafari. Menarik dan sangat memperkaya wawasan penontonnya, bahkan bagi yang benar-benar awam tentang musik reggae.
Film dokumenter bergaya reportase, lengkap dengan interview-interview seperti ini bisa jadi lebih membosankan ketimbang mengambil salah satu karakter sebagai sudut pandang dan dengan satu fokus subjek. Namun rupanya duet sutradara Noël Dernesch dan Moritz Springer tak ingin hanya memberikan sepotong-sepotong informasi tentang subjeknya. Hasil kerja keras selama 7 tahun demi memberikan gambaran lengkap tentang kultur Jamaika, terutama reggae dan kaitannya dengan berbagai variabel kondisi sosial asal negaranya.

Awalnya penonton seolah diajak untuk berpikir bahwa musik tidak mengenal batasan wilayah dan kultur, lewat sosok Gentleman. Pemuda Jerman yang memiliki “kelebihan” dalam berbicara dengan bahasa dan logat Jamaika, padahal ia asli kaukasian Jerman. Keajaiban inilah yang menjadi modal kesuksesannya di scene musik reggae. Masyarakat Jamaika pun mengelu-elukannya. Di Jamaika, dengan bantuan produser musik Jack Radics dan sopirnya, Natty, Gentleman mengenal lebih dalam makna di balik musik reggae dan dogma Rastafari. Kemudian penonton diajak untuk mengenal Rastafari sebagai spiritual atau semacam “agama” seperti yang dirasakan oleh Alborosie. Serupa dengan Gentleman, Alborosie adalah pemuda Italia yang besar di lingkungan mafia dan juga sukses sebagai artis reggae. Bedanya, di satu titik Alborosie memutuskan untuk meninggalkan Italia untuk lebih mendalami akar musik yang ia bawakan di kampung halamannya: Jamaika. Alborosie justru menemukan spiritualitas lewat musik reggae dan Rastafari di Jamaika setelah bertahun-tahun mempertanyakan berbagai hal dalam hidupnya lewat agama.

Lantas keberadaan Gentleman dan Alborosie dikontraskan dengan kehadiran Terry Lynn, artis wanita yang dibesarkan di lingkungan ghetto di Kingston, kota terbesar di Jamaika. Uniknya, meski lahir dan besar di Jamaika, ia justru jauh dari musik reggae maupun ajaran Rastafari. Aliran musik yang dibawakan nya pun beragam, mulai pop rock hingga techno-dance. Namun lirik-liriknya berisi tentang kritik sosial, kekerasan, dan seks. Tiga hal yang tak jauh-jauh dari lingkungan tempat ia dibesarkan. Dalam satu adegan Terry digambarkan sedang mengadakan konser di Berlin. Seolah Gentleman dan Terry Lynn ‘bertukar’ ruang namun memiliki kultur yang sama.

Kemudian satu per satu, Jack Radics dan Prof. Dr. Carolyn Cooper, seorang profesor asli Jamaika yang menjelaskan pengalamannya serta sejarah kultur dan sosial masyarakat Jamaika. Bahkan sampai menjelaskan sejarah bagaimana tari erotis menjadi bagian dari musik mereka. Unik, namun terkesan acak dan rakus ingin menceritakan semua tentang musik reggae, dari A sampai Z. Bisa jadi literatur yang komprehensif dan akurat, namun potensinya adalah membuat penonton bosan.

Untung saja kemasan JtJ sangat indah, baik secara visual maupun audio. Malah untuk ukuran sebuah dokumenter, kualitas gambar JtJ setara dengan film feature fiksi narasi Hollywood. Belum lagi dukungan shot-shot cantik, termasuk untuk stock-stock footage yang hanya digunakan sebagai filler, dan juga color grading yang warm khas Jamaika, bak filter Instagram. Tak ada yang istimewa di editing. Cukup mampu membuat flow yang enak dinikmati meski strukturnya agak random dan terkesan jumbled. Sementara secara audio, beruntung ia punya ‘koleksi’ lagu-lagu reggae yang tak hanya asyik didengarkan, namun lirik-liriknya juga mampu memberikan narasi tersendiri di setiap adegan.

JtJ sungguh bak sajian lengkap from A to Z tentang musik pada umumnya, dan reggae pada khususnya. Saya mendapatkan cukup banyak hal baru dan semangat-semangat positif darinya, baik itu dari segi spiritualitas maupun segi sosial. Saya yakin siapa pun yang menonton juga punya kesempatan menemukan hal yang sama.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.