The Jose Movie Review
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


Overview

Keluarga Soraya dengan Soraya Intercine Films-nya boleh berbangga karena pernah sukses di masa lalu, baik secara komersil maupun kualitas. Namun beberapa karya lebarnya di era 2000-an kurang begitu berhasil mengimpresi saya. Mungkin secara komersial selalu berhasil, seperti Eiffel I’m in Love dan Apa Artinya Cinta. Bahkan yang terbaru, 5cm. sama sekali bukan karya yang saya anggap bagus. Memang secara production value, film-film produksi Soraya tidak perlu diragukan lagi totalitasnya. Namun seringkali mengabaikan sisi kenyamanan untuk ditonton karena sifat sok-grande-nya. Maka meski digembar-gemborkan secara epic, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVDW) tidak berhasil membuat saya tertarik untuk menyaksikannya. Apalagi trailernya yang dengan terang-terangan “terinspirasi” nafas The Great Gatsby versi Baz Luhrmann. Bahkan kata seorang teman yang mengerti gaya hidup era setting waktu dan tempatnya, jelas-jelas salah. Tapi akhirnya saya memberi kesempatan juga untuk menyaksikan TKVDW.
Di luar dugaan, ternyata TKVDW jauh lebih nyaman disaksikan dan diikuti kisahnya dari yang saya duga. Berbeda dengan produksi-produksi Soraya sebelumnya, alur TKVDW berjalan dengan sangat mulus, tidak terasa draggy maupun sok-grande, meski durasinya nyaris mencapai 3 jam. Let’s not talk about how it interpreted the real source. Secara saya sendiri belum pernah membaca versi novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Hamka ini. Dari teman-teman yang membaca novelnya sih terbagi dalam dua kubu. Ada yang menilai filmnya berhasil menyampaikan apa yang dicapai novelnya, tetapi ada juga yang menganggap versi filmnya terlalu modern dan pop. Well untuk alasan terakhir, saya tidak akan keberatan mengingat jika digunakan pendekatan yang sesuai aslinya mungkin penontonnya tidak akan sebanyak ini.
Jika Anda tidak mengenal sama sekali kisah aslinya dan berpendapat bahwa kisahnya “terlalu sinetron”, Anda juga tidak salah karena materi aslinya sudah seperti itu. Itulah mungkin gambaran keadaan masyarakat kita jaman dulu, hingga sampai mempengaruhi ranah sinetron kita sampai saat ini. Tetapi tentu saja dengan production value, termasuk tata kamera dan alur yang jauh lebih sinematik.
Jangan tertipu pula oleh judul TKVDW dengan menganggap akan seperti Titanic. Tidak, adegan di kapal hanya menjadi satu bagian kecil cerita namun memiliki impact bagi keseluruhan cerita. Itulah sebabnya Kapal Van der Wijck dijadikan sebagai judul.

The Casts

Anda ingin tahu apa yang paling mengganggu saya di tengah-tengah berbagai kelebihan TKVDW? Jawabannya adalah akting Herjunot Ali. Paruh awal film, aktingnya masih sangat alami, termasuk dalam membawakan aksen Makassar. Namun mendadak menjadi berlebihan dan sangat terasa dibuat-buat di pertengahan hingga akhir. Alih-alih menyentuh penonton, dia lah yang membuyarkan suasana haru yang sudah dibangun secara baik, termasuk oleh akting Pevita Pearce, dan mengubahnya menjadi bahan tertawaan. He’s just trying too hard to be as tough as Reza Rahadian, and he failed.
Untung saja the rest of the casts have given their best performances. Pevita Pearce menunjukkan progress akting yang luar biasa setelah di 5cm. Meski terkadang aksen Minang-nya bercampur dengan aksen Jakarta, tetapi secara keseluruhan patut diacungi jempol. Sementara Reza Rahadian, seperti biasa memberikan performa akting yang sangat prima. Penampilannya di TKVDW berhasil mengobati kerinduan saya akan peran antagonis yang dilakoninya seperti di Perempuan Berkalung Sorban.
Kejutan lain datang dari Randy Nidji yang ternyata berakting baik untuk seorang pemula. Meski karakternya hanya sekedar pelengkap dan bertugas menjadi sumber kelucuan, namun ia membawakannya dengan tetap elegan, tanpa terkesan terlalu slapstick.

Technical

Yang paling saya kagumi dari TKVDW adalah tata kamera Yudi Datau yang tak hanya menjadikannya indah secara sinematik, namun berhasil menangkap gambar sesuai dengan kepentingan adegan. Editing Sastha Sunu juga berhasil merangkai gambar secara efektif dan elegan. Editing favorit saya adalah adegan housekeeper berjalan. Sangat elegan dan pace-nya sangat terjaga.
Soal production value, terutama kostum, make up, dan property memang harus diakui sebagai keunggulannya dan patut diapresiasi. Meski mau tidak mau memang sangat terasa sekali aura The Great Gatsby­­-nya, terutama untuk adegan di Padangpanjang dan Surabaya. Tak hanya kostum dan property, bahkan sampai aransemen musik seperti saat pesta di rumah Zainuddin di Surabaya yang mirip A Little Party Never Killed Nobody dan tune jazz yang sangat Crazy in Love. Sekali lagi menurut teman saya yang mengerti trend busana era itu, yang ditampilkan di layar adalah kostum era 30-an di New York, bukan di Indonesia. Di beberapa adegan, seperti misalnya saat di Batavia dan Surabaya, latarnya terlihat kosong, kurang hidup. Seolah-olah hanya karakter-karakter yang ada di layar saja yang ada di situ.
Tampilan special effect untuk adegan di Kapal Van Der Wijk juga tidak buruk. Memang belum sempurna, namun setidaknya tidak terlihat kasar. Visual effectnya masih terlihat agak blur untuk menyamarkan. Special effect untuk adegan kapal tenggelam pun cukup baik dalam menyiasati angle kamera.
Hal yang paling mengganggu dari TKVDW adalah penempatan lagu tema Sumpah dan Cinta Matiku milik Nidji pada beberapa adegan. Kenapa harus diulang-ulang dan di adegan yang tidak sesuai? Untungnya masih ada score-score lain yang masih blended dengan adegan, dan versi instrumental dari lagu tema tersebut yang jauh lebih sesuai dengan konteks adegan.

The Essence

Novel Hamka jelas-jelas mengkritik keadaan sosial keadatan jaman dulu yang menilai seseorang dengan parameter yang dangkal. Cinta adalah dasar manusia yang paling berharga, di atas perkawinan uang dan kecantikan.

They who will enjoy this the most

  • Penyuka drama romantis yang menguras air mata
  • Penonton yang menyukai film berdurasi di atas rata-rata
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id


Diberdayakan oleh Blogger.