3.5/5
Artistic
Based on Book
Box Office
Drama
Indonesia
Romance
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Overview
Keluarga
Soraya dengan Soraya Intercine Films-nya boleh berbangga karena pernah sukses
di masa lalu, baik secara komersil maupun kualitas. Namun beberapa karya
lebarnya di era 2000-an kurang begitu berhasil mengimpresi saya. Mungkin secara
komersial selalu berhasil, seperti Eiffel
I’m in Love dan Apa Artinya Cinta.
Bahkan yang terbaru, 5cm. sama sekali
bukan karya yang saya anggap bagus. Memang secara production value, film-film
produksi Soraya tidak perlu diragukan lagi totalitasnya. Namun seringkali
mengabaikan sisi kenyamanan untuk ditonton karena sifat sok-grande-nya. Maka
meski digembar-gemborkan secara epic, Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck (TKVDW) tidak berhasil membuat saya tertarik untuk
menyaksikannya. Apalagi trailernya yang dengan terang-terangan “terinspirasi”
nafas The Great Gatsby versi Baz
Luhrmann. Bahkan kata seorang teman yang mengerti gaya hidup era setting waktu
dan tempatnya, jelas-jelas salah. Tapi akhirnya saya memberi kesempatan juga
untuk menyaksikan TKVDW.
Di luar
dugaan, ternyata TKVDW jauh lebih nyaman disaksikan dan diikuti kisahnya dari
yang saya duga. Berbeda dengan produksi-produksi Soraya sebelumnya, alur TKVDW
berjalan dengan sangat mulus, tidak terasa draggy maupun sok-grande, meski
durasinya nyaris mencapai 3 jam. Let’s not talk about how it interpreted the
real source. Secara saya sendiri belum pernah membaca versi novel karya Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Hamka ini. Dari
teman-teman yang membaca novelnya sih terbagi dalam dua kubu. Ada yang menilai
filmnya berhasil menyampaikan apa yang dicapai novelnya, tetapi ada juga yang
menganggap versi filmnya terlalu modern dan pop. Well untuk alasan terakhir,
saya tidak akan keberatan mengingat jika digunakan pendekatan yang sesuai
aslinya mungkin penontonnya tidak akan sebanyak ini.
Jika Anda
tidak mengenal sama sekali kisah aslinya dan berpendapat bahwa kisahnya “terlalu
sinetron”, Anda juga tidak salah karena materi aslinya sudah seperti itu.
Itulah mungkin gambaran keadaan masyarakat kita jaman dulu, hingga sampai
mempengaruhi ranah sinetron kita sampai saat ini. Tetapi tentu saja dengan
production value, termasuk tata kamera dan alur yang jauh lebih sinematik.
Jangan
tertipu pula oleh judul TKVDW dengan menganggap akan seperti Titanic. Tidak, adegan di kapal hanya
menjadi satu bagian kecil cerita namun memiliki impact bagi keseluruhan cerita.
Itulah sebabnya Kapal Van der Wijck dijadikan sebagai judul.
The Casts
Anda ingin
tahu apa yang paling mengganggu saya di tengah-tengah berbagai kelebihan
TKVDW? Jawabannya adalah akting Herjunot Ali. Paruh awal film, aktingnya masih
sangat alami, termasuk dalam membawakan aksen Makassar. Namun mendadak menjadi
berlebihan dan sangat terasa dibuat-buat di pertengahan hingga akhir. Alih-alih
menyentuh penonton, dia lah yang membuyarkan suasana haru yang sudah dibangun
secara baik, termasuk oleh akting Pevita Pearce, dan mengubahnya menjadi bahan
tertawaan. He’s just trying too hard to be as tough as Reza Rahadian, and he
failed.
Untung saja
the rest of the casts have given their best performances. Pevita Pearce
menunjukkan progress akting yang luar biasa setelah di 5cm. Meski terkadang aksen Minang-nya bercampur dengan aksen
Jakarta, tetapi secara keseluruhan patut diacungi jempol. Sementara Reza
Rahadian, seperti biasa memberikan performa akting yang sangat prima.
Penampilannya di TKVDW berhasil mengobati kerinduan saya akan peran antagonis
yang dilakoninya seperti di Perempuan
Berkalung Sorban.
Kejutan lain
datang dari Randy Nidji yang ternyata berakting baik untuk seorang pemula.
Meski karakternya hanya sekedar pelengkap dan bertugas menjadi sumber kelucuan,
namun ia membawakannya dengan tetap elegan, tanpa terkesan terlalu slapstick.
Technical
Yang paling
saya kagumi dari TKVDW adalah tata kamera Yudi Datau yang tak hanya
menjadikannya indah secara sinematik, namun berhasil menangkap gambar sesuai
dengan kepentingan adegan. Editing Sastha Sunu juga berhasil merangkai gambar
secara efektif dan elegan. Editing favorit saya adalah adegan housekeeper
berjalan. Sangat elegan dan pace-nya sangat terjaga.
Soal production value, terutama
kostum, make up, dan property memang harus diakui sebagai keunggulannya dan
patut diapresiasi. Meski mau tidak mau memang sangat terasa sekali aura The Great Gatsby-nya, terutama untuk
adegan di Padangpanjang dan Surabaya. Tak hanya kostum dan property, bahkan
sampai aransemen musik seperti saat pesta di rumah Zainuddin di Surabaya yang
mirip A Little Party Never Killed Nobody
dan tune jazz yang sangat Crazy in Love.
Sekali lagi menurut teman saya yang mengerti trend busana era itu, yang
ditampilkan di layar adalah kostum era 30-an di New York, bukan di Indonesia.
Di beberapa adegan, seperti misalnya saat di Batavia dan Surabaya, latarnya
terlihat kosong, kurang hidup. Seolah-olah hanya karakter-karakter yang ada di
layar saja yang ada di situ.
Tampilan special effect untuk adegan
di Kapal Van Der Wijk juga tidak buruk. Memang belum sempurna, namun setidaknya
tidak terlihat kasar. Visual effectnya masih terlihat agak blur untuk
menyamarkan. Special effect untuk adegan kapal tenggelam pun cukup baik dalam
menyiasati angle kamera.
Hal yang paling mengganggu dari
TKVDW adalah penempatan lagu tema Sumpah
dan Cinta Matiku milik Nidji pada beberapa adegan. Kenapa harus
diulang-ulang dan di adegan yang tidak sesuai? Untungnya masih ada score-score
lain yang masih blended dengan adegan, dan versi instrumental dari lagu tema
tersebut yang jauh lebih sesuai dengan konteks adegan.
The Essence
Novel Hamka jelas-jelas mengkritik
keadaan sosial keadatan jaman dulu yang menilai seseorang dengan parameter yang
dangkal. Cinta adalah dasar manusia yang paling berharga, di atas perkawinan
uang dan kecantikan.
They who will enjoy this the most
- Penyuka drama romantis yang menguras air mata
- Penonton yang menyukai film berdurasi di atas rata-rata