3/5
Based on Book
Drama
Friendship
Indonesia
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Rumah di Seribu Ombak
Overview
Ketika berada
di dalam tahanan yang akhirnya membebaskan ia dari segala tuduhan, Erwin Arnada
“membalaskan dendam” dengan menunjukkan betapa indahnya hidup berdampingan
dalam keragaman, dengan setting Bali yang memang lebih terbuka terhadap pluralisme,
isu yang dalam sepuluh tahun belakangan mendadak menjadi sorotan di negeri ini.
Tak hanya menulis novel, pria yang pernah memproduseri Jakarta Undercover,
Cinta Silver, Alexandria, dan Catatan Akhir Sekolah ini
menyutradarai sendiri film yang diadaptasi dari novel tersebut.
Saya membaca
versi novelnya dan menyukai detail cerita yang mengalir natural dan penuh
makna. Namun ketika mendengar kabar akan diangkat dalam bentuk film layar
lebar, kekhawatiran menghampiri benak saya karena saya merasa detail cerita
yang demikian akan susah diadaptasi ke layar lebar tanpa perubahan yang cukup
signifikan dari versi novelnya. Menurut saya, akan lebih baik jika Rumah di
Seribu Ombak (RdSO) diangkat dalam bentuk mini seri dimana detail adegan
dapat tetap dipertahankan tanpa menjadikan durasi sebagai kendala.
RdSO seolah
terbagi menjadi dua babak, yaitu ketika Yanik-Samihi masih SD dan ketika sudah
dewasa. Babak pertama yang mengambil lebih dari tiga perempat durasi keseluruhan
berlangsung dengan cukup baik. Persahabatan yang melibatkan canda dan duka
terasa begitu manis, terutama berkat chemistry dan akting yang sangat baik dari
aktor-aktornya. Sementara paruh kedua yakni ketika Yanik dan Samihi dewasa
terasa bertele-tele dan semakin picisan ketika subplot asmara antara Yanik dan
Samimi diangkat lebih banyak. Ada bagian-bagian yang terasa lebih efektif jika
hanya berupa narasi Yanik tanpa detail adegan yang lengkap dengan
dialog-dialognya.
Secara garis
besar unsur-unsur penting dari novel seperti metajen, latihan mekidung, lomba
qiraah, puisi Jalaluddin Rumi, bom Legian, dan pedophilia ditampilkan di versi
filmnya. Namun karena keterbatasan durasi, masing-masing unsur serasa lewat
begitu saja, tanpa makna yang begitu berarti apalagi mendalam. Andai saja skrip
menggarap masing-masing unsur tersebut dengan detail adegan yang lebih, tentu
RdSO dapat menjadi suguhan yang jauh lebih menarik. Misalnya adegan metajen
yang akan terasa lebih seru jika disertai score yang thrilling dan detail
adegan pertarungan ayam jago (metajen) atau adegan penyelundupan Yanik dan
Samihi ke rumah Andrew yang juga berpotensi menjadi adegan breathtaking. Belum
lagi korelasi antar adegan yang kurang begitu terasa dan ada pula yang tanpa
penyelesaian, apalagi jika Anda belum pernah membaca novelnya. Bukan salah
editingnya yang masih mampu memoles rangkaian antar plot menjadi terasa halus,
namun tetap saja terasa ada lompatan antar subplot yang mengurangi kenikmatan
menontonnya. Tak heran jika pada akhirnya fokus cerita menjadi samar. Apakah
tentang persahabatan, percintaan, atau perkembangan psikologis Yanik.
Dengan aura
cerita yang memang cenderung lebih banyak ke mellow, pace lambat bagi saya
bukan menjadi masalah. Film drama yang bisa memanfaatkan pace lambat dengan
baik tentu mampu men-deliver cerita sekaligus emosi ke penonton dengan baik
pula. Alur lambat RdSO bagi saya masih acceptable dan tidak membosankan, tapi
menurut saya ada beberapa bagian yang jika diperbaiki pace-nya sehingga tidak
merata sepanjang film, hasil akhirnya akan jauh lebih baik.
Selebihnya,
jika Anda santai mengikuti ceritanya hingga akhir dan mau meruntut
masing-masing subplot menjadi sebuah kesimpulan, maka Anda akan menemukan
keindahan dari cerita besar RdSO serta tersentuh oleh ending yang depresif
namun indah itu. Jauh dari buruk sebagai karya debut penyutradaraan dari
seorang Erwin Arnada, namun saya mengharapkan kemampuannya membangun emosi dan
pace bisa berkembang di proyek-proyek berikutnya. Om Swastiastu!
The Casts
RdSO
melibatkan aktor-aktor yang belum pernah berakting sebelumnya untuk mengisi
peran-peran utamanya. Terutama Dedey Rusma yang berhasil menghidupkan karakter
Yanik menjadi begitu lovable. Aktingnya sebagai anak yang terkesan berandalan
namun baik hati dan menyimpan luka batin yang dalam ini terlihat sangat natural
dan lovable. Penonton tentu dengan mudah bersimpatik pada karakter Yanik karena
telah berhasil membuat tertawa dan juga terharu. A very good job as a debut.
Sementara Risjad Aden (Samihi kecil) dan Bianca Oleen (Syamimi kecil) cukup
berhasil mengimbangi akting Dedey meski masih kalah pesona.
Kualitas yang
berbanding terbalik ditunjukkan oleh Riman Jayadi yang memerankan Yanik dewasa.
Di samping suara vokalnya yang cempreng, kualitas aktingnya juga jauh dari
Dedey dan masih canggung di mana-mana. Alhasil kepribadian Yanik dewasa seolah
berubah sama sekali. Hanya kemiripan fisik dengan Yanik kecil lah yang
membuatnya pantas mendapat peran ini. Untunglah kehadiran Andiana Suri sebagai
Syamimi dewasa tampil lebih baik dari segi akting dan berhasil mengalihkan
perhatian penonton di babak kedua berkat parasnya yang cantik.
Terakhir,
pemeran pendukung seperti Lukman Sardi, Jerinx SID, dan Andre Julian tampil
memikat walau porsinya tidak begitu banyak.
Technical
Siapa pun yang
menonton RdSO, bahkan yang susah menikmati alur ceritanya akan mengakui
keindahan gambar yang ditawarkan Padri Nadeak. Alam Singaraja yang indah dan
masih natural berhasil ditangkap dengan luar biasa, seiring dengan aspek-aspek
budaya yang juga ditampilkan di beberapa bagian. Berbeda dengan wajah Bali yang
selama ini seringkali ditampilkan dalam berbagai media. Tone warna memainkan
mood yang berbeda pada dua bagian babak cerita. Cenderung sephia ketika kecil
dan lebih berwarna-warni ketika dewasa. Permainan tone warna ini ter-blended baik
dengan setting yang ditampilkan. Marvelously beautiful!
Score yang
banyak mengusung nuansa etnik memainkan mood dengan sangat baik pula di banyak
adegan walau menurut saya ada banyak adegan yang seharusnya bisa diiringi
dengan score yang kuat agar terasa lebih hidup.
The Essence
Sebenarnya
persahabatan dengan latar belakang agama yang berbeda hanya menjadi background
cerita, bukanlah konflik utama. Namun isu toleransi antar umat beragama yang
beberapa tahun belakangan menjadi sensitif berkat pandangan segelintir kelompok
agama, menjadikan sedikit saja isu toleransi antar umat beragama sebuah
“perhiasan” berharga, yang menjadi langka di masyarakat kita akhir-akhir ini.
Tema utama
RdSO sebenarnya adalah sebuah persahabatan yang tulus. Dalam konteks RdSO adalah
persahabatan yang saling menyembuhkan. Yanik menyembuhkan trauma Samihi untuk
berada di air (berenang dan kegiatan-kegiatan di air lainnya) sementara Samihi
berusaha menyembuhkan berbagai luka batin Yanik. Walau pada akhirnya Yanik
mendapati bahwa Samihi tidak sepenuhnya berhasil menjalankan perannya sebagai
sahabat yang menyembuhkan, ia tetap tulus dan senang melakukannya, tanpa
penyesalan apa-apa.