The Jose Movie Review
Rayya - Cahaya di Atas Cahaya



Overview

Film bertemakan road trip selalu menarik perhatian saya. Mungkin karena saya sendiri memang lebih menikmati jalan darat jika bepergian ke kota lain. Saya sangat menikmati melihat-lihat sekeliling, melihat hal-hal baru, kebiasaan-kebiasaan dan budaya-budaya baru. Sungguh menyenangkan. Bukan tidak mungkin pula ada banyak yang bisa saya renungkan, analisis, maupun pelajari dari perjalanan tersebut. Dalam film, road trip kerap diangkat untuk mengembangkan hubungan antar karakter, misalnya di Little Miss Sunshine dan dari dalam negeri ada Punk in Love, atau untuk menemukan jati diri, misalnya 3 Hari untuk Selamanya. Tema road trip memang masih sangat jarang diangkat oleh sineas kita. Padahal dengan modal kekayaan alam maupun budaya yang dimiliki bangsa ini, tema road trip seharusnya menarik untuk selalu diangkat. Meski dengan premise yang mirip atau sama, dengan background lokasi yang berbeda jatuhnya masih bisa menarik.
Rayya – Cahaya di Atas Cahaya (RCAC) adalah tipikal film road trip yang menggabungkan dua tujuan tersebut. Rayya, seorang bintang papan atas yang bisa dibilang memiliki segalanya namun tidak merasakan kebahagiaan. Rayya lantas dipertemukan dengan karakter wise-ass yang ternyata juga memiliki problematika hidup sendiri, Arya. Sepanjang perjalanan Jakarta-Bali, terjadilah perang mulut dan adu argumentasi tentang berbagai aspek kehidupan, misalnya tentang asmara, agama yang dianalogikan dengan menanak nasi di rice cooker, dan kebahagiaan. Dialog-dialog di antara keduanya menjadi menarik karena masing-masing memiliki tingkat intelijensia yang sama tingginya. Viva Westi, penulis skenario sekaligus sutradara RCAC dengan piawai menyusun topik-topik yang dibahas sehingga sepanjang film tidak pernah menyentuh titik jenuh. Ditambah dengan pemilihan kalimat-kalimat bersajak khas Emha Ainun Najib semakin memperindah tiap dialog yang terucap dari karakter-karakternya. Tidak perlu takut RCAC menjadi tontonan yang berat dengan dialog yang susah dicerna. Meski bergaya sajak namun dialog-dialog yang ada sangat mudah dimengerti dan tidak berusaha sok puitis. Bahkan terbaiknya, melalui bibir Rayya dan Arya, dialog-dialog yang teatrikal tersebut sangat terdengar wajar sebagai percakapan sehari-hari, kadang menohok, kadang kocak. Mungkin susah untuk mengingat persis semua dialog-dialog yang digelar, tapi setidaknya Anda akan terus mengingat esensi-esensinya.
Selain dialog antara Rayya dan Arya yang menjadi nyawa utama RCAC, Viva tak lupa membubuhkan adegan-adegan interaksi antara Rayya dan penduduk setempat dari tiap lokasi yang dilewatinya, yang semakin menguatkan jawaban tentang apa yang dicari oleh Rayya dalam hidup. Memang, masing-masing adegan interaksi Rayya-penduduk ini tidak langsung mengena dalam benak saya. Namun ketika Rayya menyampaikan epilog dimana ia mengkompilasi semua pengalaman-pengalamannya tersebut, menjadi sebuah perenungan yang menggugah hati saya sekaligus menjadi potret watak bangsa kita yang tinggal di luar kota besar.
Bagi yang mengharapkan keindahan panorama-panorama sepanjang perjalanan, tentu saja Anda akan sangat dimanjakan. Tetapi Viva hanya secukupnya saja mengeksploitasi keindahan panorama-panorama tersebut. Dalam satu wawancara, Viva mengaku memiliki banyak sekali stock gambar yang menonjolkan keindahan panorama namun tidak memasukkan semuanya agar fokus pada perkembangan cerita, baik perkembangan kepribadian Rayya maupun hubungan antara Rayya dan Arya tetap terjaga. Harus diakui Viva memang berhasil mencapai tujuan tersebut tanpa mengorbankan keindahan panorama yang mau tak mau juga ikut menjadi daya tarik RCAC.
Tentu keberhasilan di berbagai aspek tidak lantas membuat RCAC tampil sempurna. Satu hal yang janggal adalah urutan lokasi yang dilewati sepanjang alur film. Misalnya ketika sudah sampai di Kawah Ijen, di beberapa adegan berikutnya ternyata kembali berpindah ke Jawa Tengah dengan adegan di pabrik rokok kretek. Bagi yang tidak mengerti rute Jakarta-Bali yang sebenarnya tidak akan jadi masalah. Toh, sepanjang film juga tidak ditampilkan keterangan tempat dan waktunya. Akan tetapi bagi yang mengerti rutenya, apalagi yang seringkali menempuh rute tersebut tentu cukup mengganggu kenyamanan menonton meski tidak akan mengganggu alur cerita sama sekali.

The Casts

Sepanjang film tentu chemistry yang terjalin antara Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo sangat terasa nyata dan konstan. Penonton dapat merasakan kedekatan secara bertahap antara keduanya, entah itu sebagai dua pribadi yang saling menemukan apa yang dicari dalam hidup maupun sebagai pasangan asmara. Sebagai Rayya, Titi Sjuman yang memiliki kecantikan unik khas Indonesia terasa sangat pas sekali. Emosinya yang meledak-ledak mungkin terasa berlebihan dan seringkali dialog yang disampaikannya ketika puncak emosi tidak terdengar jelas, namun secara keseluruhan berhasil menghidupkan karakter Rayya yang cerdas, labil, dan dalam tahap menemukan kebahagiaan hidup. Sementara Tio Pakusadewo sudah tidak perlu diragukan lagi dalam menampilkan kharisma kedewasaan yang di satu sisi terkesan wise-ass dan mellow di sisi yang lain.
Di lini pemeran pendukung, terutama tim di balik pembuatan biografi Rayya juga cukup berhasil memberi warna tersendiri. Lucu, unik, namun tidak berlebihan. Ada nama Verdi Solaiman, Tino Saroengallo, Sapto Sutarjo, dan lain-lain. Cameo-cameo yang turut meramaikan juga tampil cukup mencuri perhatian, terutama Christine Hakim yang kharismanya tetap bersinar meski hanya punya satu scene.

Technical

Sebagai sebuah film road trip, tentu sinematografi menjadi kekuatan yang haram untuk diabaikan.  Beruntung Rachmat Syaiful berhasil menangkap aneka keindahan panorama maupun budaya di kota-kota yang dilewati dan dikunjungi. Jangan terkecoh oleh posternya yang ala instagram karena sepanjang film, tone warna yang digunakan justru cukup kontras dan berwarna-warni tajam. Contoh yang paling jelas adalah kostum merah Titi Sjuman yang disandingkan di belantara hijau sawah. Penggunaan medium rekam seluloid 35 mm di tengah tren digital menjadikan gambar-gambar RCAC lebih membumi dan alami meski harus mengorbankan  munculnya noise di beberapa adegan gelap.
Keindahan juga menjadi milik tata artistik termasuk tata kostum Titi oleh  Musa Widyatmodjo yang terkesan sangat couture dan stylish, sesuai dengan profesi Rayya yang seorang model.
Terakhir, score yang digubah oleh Aksan Sjuman (suami Titi Sjuman yang sekaligus turut menjadi cameo di film) mampu menyatu dengan adegan-adegan, misalnya melalui alunan country sederhana yang sangat cocok untuk tema road trip meski tidak begitu memorable.

The Essence

Hidup adalah sebuah perjalanan dimana manusia akan menjumpai banyak hal yang mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Sama seperti sebuah perjalanan darat dari satu tempat ke tujuan lain, terutama yang melewati jalan darat yang memungkinkan kita untuk berhenti dan melihat banyak hal di sepanjang jalan. Kita tidak perlu sengaja mencari (apa yang dicari dalam hidup/dalam perjalanan) karena dengan sendirinya kita akan selalu menemukan hal baru, “bunuh diri”, dan menjadi pribadi yang baru, begitu seterusnya.

They who will enjoy this the most

  • Road trip enthusiast dan traveller
  • Penggemar sastra, teater, dan semiotika
  • Pecinta sacasm
  • Fotografer, terutama panorama dan outdoor
  • Individu galau yang baru putus dan belum bisa move on/let go

 Lihat situs resmi film ini. 
Diberdayakan oleh Blogger.