4/5
Artistic
Drama
Feel-good
Indonesia
Psychological
Road Trip
Romance
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Rayya - Cahaya di Atas Cahaya
Overview
Film
bertemakan road trip selalu menarik perhatian saya. Mungkin karena saya sendiri
memang lebih menikmati jalan darat jika bepergian ke kota lain. Saya sangat
menikmati melihat-lihat sekeliling, melihat hal-hal baru, kebiasaan-kebiasaan
dan budaya-budaya baru. Sungguh menyenangkan. Bukan tidak mungkin pula ada
banyak yang bisa saya renungkan, analisis, maupun pelajari dari perjalanan
tersebut. Dalam film, road trip kerap diangkat untuk mengembangkan hubungan
antar karakter, misalnya di Little Miss
Sunshine dan dari dalam negeri ada Punk
in Love, atau untuk menemukan jati diri, misalnya 3 Hari untuk Selamanya. Tema road trip memang masih sangat jarang
diangkat oleh sineas kita. Padahal dengan modal kekayaan alam maupun budaya
yang dimiliki bangsa ini, tema road trip seharusnya menarik untuk selalu
diangkat. Meski dengan premise yang mirip atau sama, dengan background lokasi
yang berbeda jatuhnya masih bisa menarik.
Rayya – Cahaya di Atas Cahaya (RCAC)
adalah tipikal film road trip yang menggabungkan dua tujuan tersebut. Rayya, seorang
bintang papan atas yang bisa dibilang memiliki segalanya namun tidak merasakan
kebahagiaan. Rayya lantas dipertemukan dengan karakter wise-ass yang ternyata
juga memiliki problematika hidup sendiri, Arya. Sepanjang perjalanan
Jakarta-Bali, terjadilah perang mulut dan adu argumentasi tentang berbagai
aspek kehidupan, misalnya tentang asmara, agama yang dianalogikan dengan menanak nasi di rice cooker, dan kebahagiaan. Dialog-dialog di antara keduanya menjadi menarik karena
masing-masing memiliki tingkat intelijensia yang sama tingginya. Viva Westi,
penulis skenario sekaligus sutradara RCAC dengan piawai menyusun topik-topik
yang dibahas sehingga sepanjang film tidak pernah menyentuh titik jenuh.
Ditambah dengan pemilihan kalimat-kalimat bersajak khas Emha Ainun Najib
semakin memperindah tiap dialog yang terucap dari karakter-karakternya. Tidak
perlu takut RCAC menjadi tontonan yang berat dengan dialog yang susah dicerna.
Meski bergaya sajak namun dialog-dialog yang ada sangat mudah dimengerti dan
tidak berusaha sok puitis. Bahkan terbaiknya, melalui bibir Rayya dan Arya,
dialog-dialog yang teatrikal tersebut sangat terdengar wajar sebagai percakapan
sehari-hari, kadang menohok, kadang kocak. Mungkin susah untuk mengingat persis
semua dialog-dialog yang digelar, tapi setidaknya Anda akan terus mengingat
esensi-esensinya.
Selain
dialog antara Rayya dan Arya yang menjadi nyawa utama RCAC, Viva tak lupa
membubuhkan adegan-adegan interaksi antara Rayya dan penduduk setempat dari
tiap lokasi yang dilewatinya, yang semakin menguatkan jawaban tentang apa yang
dicari oleh Rayya dalam hidup. Memang, masing-masing adegan interaksi
Rayya-penduduk ini tidak langsung mengena dalam benak saya. Namun ketika Rayya
menyampaikan epilog dimana ia mengkompilasi semua pengalaman-pengalamannya
tersebut, menjadi sebuah perenungan yang menggugah hati saya sekaligus menjadi
potret watak bangsa kita yang tinggal di luar kota besar.
Bagi yang
mengharapkan keindahan panorama-panorama sepanjang perjalanan, tentu saja Anda
akan sangat dimanjakan. Tetapi Viva hanya secukupnya saja mengeksploitasi keindahan
panorama-panorama tersebut. Dalam satu wawancara, Viva mengaku memiliki
banyak sekali stock gambar yang menonjolkan keindahan panorama namun tidak memasukkan semuanya agar fokus pada perkembangan cerita, baik perkembangan kepribadian Rayya
maupun hubungan antara Rayya dan Arya tetap terjaga. Harus diakui Viva memang berhasil
mencapai tujuan tersebut tanpa mengorbankan keindahan panorama yang mau tak mau
juga ikut menjadi daya tarik RCAC.
Tentu
keberhasilan di berbagai aspek tidak lantas membuat RCAC tampil sempurna. Satu
hal yang janggal adalah urutan lokasi yang dilewati sepanjang alur film.
Misalnya ketika sudah sampai di Kawah Ijen, di beberapa adegan berikutnya
ternyata kembali berpindah ke Jawa Tengah dengan adegan di pabrik rokok kretek. Bagi yang tidak mengerti rute
Jakarta-Bali yang sebenarnya tidak akan jadi masalah. Toh, sepanjang film juga
tidak ditampilkan keterangan tempat dan waktunya. Akan tetapi bagi yang
mengerti rutenya, apalagi yang seringkali menempuh rute tersebut tentu cukup
mengganggu kenyamanan menonton meski tidak akan mengganggu alur cerita sama
sekali.
The Casts
Sepanjang
film tentu chemistry yang terjalin antara Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo sangat
terasa nyata dan konstan. Penonton dapat merasakan kedekatan secara bertahap
antara keduanya, entah itu sebagai dua pribadi yang saling menemukan apa yang
dicari dalam hidup maupun sebagai pasangan asmara. Sebagai Rayya, Titi Sjuman
yang memiliki kecantikan unik khas Indonesia terasa sangat pas sekali. Emosinya
yang meledak-ledak mungkin terasa berlebihan dan seringkali dialog yang
disampaikannya ketika puncak emosi tidak terdengar jelas, namun secara
keseluruhan berhasil menghidupkan karakter Rayya yang cerdas, labil, dan
dalam tahap menemukan kebahagiaan hidup. Sementara Tio Pakusadewo sudah tidak
perlu diragukan lagi dalam menampilkan kharisma kedewasaan yang di satu sisi
terkesan wise-ass dan mellow di sisi yang lain.
Di lini
pemeran pendukung, terutama tim di balik pembuatan biografi Rayya juga cukup
berhasil memberi warna tersendiri. Lucu, unik, namun tidak berlebihan. Ada nama
Verdi Solaiman, Tino Saroengallo, Sapto Sutarjo, dan lain-lain. Cameo-cameo
yang turut meramaikan juga tampil cukup mencuri perhatian, terutama Christine Hakim
yang kharismanya tetap bersinar meski hanya punya satu scene.
Technical
Sebagai
sebuah film road trip, tentu sinematografi menjadi kekuatan yang haram untuk
diabaikan. Beruntung Rachmat Syaiful berhasil
menangkap aneka keindahan panorama maupun budaya di kota-kota yang dilewati dan
dikunjungi. Jangan terkecoh oleh posternya yang ala instagram karena sepanjang
film, tone warna yang digunakan justru cukup kontras dan berwarna-warni tajam.
Contoh yang paling jelas adalah kostum merah Titi Sjuman yang disandingkan di
belantara hijau sawah. Penggunaan medium rekam seluloid 35 mm di tengah tren
digital menjadikan gambar-gambar RCAC lebih membumi dan alami meski harus
mengorbankan munculnya noise di beberapa adegan gelap.
Keindahan juga
menjadi milik tata artistik termasuk tata kostum Titi oleh Musa Widyatmodjo yang terkesan sangat couture
dan stylish, sesuai dengan profesi Rayya yang seorang model.
Terakhir, score
yang digubah oleh Aksan Sjuman (suami Titi Sjuman yang sekaligus turut menjadi
cameo di film) mampu menyatu dengan adegan-adegan, misalnya melalui alunan
country sederhana yang sangat cocok untuk tema road trip meski tidak begitu memorable.
The Essence
Hidup adalah
sebuah perjalanan dimana manusia akan menjumpai banyak hal yang mempengaruhi
pola pikir dan perilaku. Sama seperti sebuah perjalanan darat dari satu tempat
ke tujuan lain, terutama yang melewati jalan darat yang memungkinkan kita untuk berhenti dan
melihat banyak hal di sepanjang jalan. Kita tidak perlu sengaja mencari (apa
yang dicari dalam hidup/dalam perjalanan) karena dengan sendirinya kita akan
selalu menemukan hal baru, “bunuh diri”, dan menjadi pribadi yang baru, begitu seterusnya.
They who will enjoy this the most
- Road trip enthusiast dan traveller
- Penggemar sastra, teater, dan semiotika
- Pecinta sacasm
- Fotografer, terutama panorama dan outdoor
- Individu galau yang baru putus dan belum bisa move on/let go
Lihat situs resmi film ini.