The Jose Movie Review
Resident Evil - Retribution

Overview

Who has started to get bored with the Resident Evil (RE)’s franchise? I have! Semenjak Afterlife, storyline-nya sudah terasa dipanjang-panjangkan (atau lebih tepat diirit-irit perkembangannya). Untung saja masih punya daya tarik dari sepak terjang Alice (Milla Jovovich) yang super kick-ass. Belum lagi efek 3D yang ternyata cukup baik. Maka ketika Resident Evil Retribution (RER) dirilis, jujur sangat sedikit sekali rasa ketertarikan saya untuk menyaksikannya. Baiklah, kalau ada yang ngajak ayo saja. At least saya rasa saya masih bisa terhibur dengan adegan-adegan aksi yang keren dan tampilan seksi dari Milla Jovovich. Soal jalan cerita, saya sudah menutup ekspektasi rapat-rapat, termasuk dari segi logika. Let's just have some fun and kick some asses!
Awalnya saya optimis ketika film dibuka dengan adegan thriller horror klasik dengan tampilan Milla Jovovich yang menjanjikan variasi cerita. Wah bakal ada perkembangan cerita yang asyik nih, begitu pikir saya. Namun rupanya hal tersebut tak berlangsung lama karena yang terjadi berikutnya sangat berbanding terbalik. Penonton dibawa kepada petualangan Alice dari satu site ke site lain, kembali ke site sebelumnya, begitu seterusnya. Memang, adegan aksi bertaburan tanpa henti di setiap menitnya namun bagi Anda yang mengikuti franchise RE sejak awal, semuanya terlihat seperti kilas balik atau malah mungkin sekedar copy-paste adegan aksi dari installment-installment sebelumnya, hanya saja kostum dan setting lokasi yang diganti secara digital. Tidak ada yang baru dan dengan porsi yang demikian... sangat membosankan! Saya sampai pada titik dimana saya malah sering bergumam, “Sudah, matikan saja Alice. Saya sudah tidak peduli lagi dengan nasibnya!” Siapa bilang hanya film drama yang bisa bertele-tele? RER membuktikan film aksi pun bisa jatuh demikian jika tidak digarap dengan kadar dan intensitas keseruan yang pas. Kemunculan zombie-zombie dan karakter-karakter yang pernah muncul di installment-installment sebelumnya semakin menguatkan bahwa RER hanyalah sebuah pengulangan serta rangkuman yang tak perlu.
Ada perubahan gaya penceritaan yang lebih mirip seperti game-play di sini. Lihat saja karakter Ada Wong dengan gaya bicara yang super kaku dan terkesan sangat instruktif seperti halnya penunjuk arah di game-game RPG (untung saja tidak sampai ada running text dialog di layar). Alur ceritanya pun dibuat seperti misi-misi di game, pergi kesana-kemari, mengalahkan 'raja monster' ini-itu, ke level berikutnya, begitu seterusnya. Bagi saya, gaya seperti ini justru malah memperburuk semuanya. Well, film bukanlah game dimana 'penonton' yang mengarahkan gerak karakternya sendiri. Duduk manis menonton 'orang lain main game' yang sudah diatur alurnya selama satu setengah jam? I'd rather gone sleeping.
Promosi yang menggembar-gemborkan kemunculan karakter-karakter lama dan variasi setting lokasi cerita yang meliputi Tokyo, New York, dan Russia memang berhasil membuat penonton penasaran berbondong-bondong nonton di bioskop, tetapi ternyata hasilnya sangat mengecewakan. Mungkin bisa disebut sedikit penipuan publik.

The Casts

Paul W. S. Anderson masih terlalu sibuk untuk menjadikan Milla Jovovich one-woman-show di tengah lautan karakter yang sebenarnya tak kalah menarik jika diberi porsi setidaknya seperti di installment pertama. Untung saja Jovovich sudah menyatu dengan image Alice sehingga setidaknya menjadi alasan terakhir untuk terus menyaksikan franchise RE. By the way, she looked fabulous in blonde.
Kemunculan karakter-karakter lama yang pernah tampil menarik dan mencuri layar seperti Rain (Michelle Rodriguez), Carlos (Oded Fehr), One (Colin Salmon), dan Jill Valentine (Sienna Guillory) nyatanya hanya tempelan semata. Kesemuanya tidak diberikan porsi yang cukup untuk kembali memperkaya film. Begitu pula karakter-karakter baru yang sebenarnya punya potensi untuk menjadi sama menariknya, seperti Leon (Johann Urb) dan Barry (Kevin Durand). Ada Wong (Bingbing Li) menjadi karakter baru palng menonjol berkat aksen dan akting kaku seolah sebenarnya bukan manusia. Entah cyborg atau hanya program Red Queen. Hanya penampilan aktris cilik yang pernah tampil di Orphan, Aryana Engineer sebagai Becky, “anak” Alice, yang cukup mengesankan in a positive way. I hope she will have more role in the next (and thank God, according to Anderson, it seems to be the finale) installment, if it is made.

Technical

Tampilan visual effect-nya masih tak jauh berbeda dengan installment-installment sebelumnya. Tak banyak hal baru tapi cukup memuaskan, termasuk tampilan ‘zombie ber-otak’ yang tergolong lebih keren ketimbang ‘zombie berpalu raksasa’ dari Afterlife.
Sementara beberapa score berhasil terdengar elegan dan membangun suasana ketegangan dengan alunan menyayat khas horror thriller 80-an, score untuk hampir semua adegan aksinya sama melelahkan dan membosankannya dengan adegan-adegan itu sendiri.

The Essence

Lupakan zombie-zombie dan fakta bahwa populasi manusia terus menurun, karena ada satu hal yang lebih menarik di installment ini yang datang dari diri karakter Alice.
Meski sudah termutasi virus T yang membuatnya lebih dari sekedar manusia, Alice rela berkorban dan terus berupaya menyelamatkan seseorang meski ia sadar tak ada alasan rasional untuk itu selain orang tersebut menyayanginya. Now we know that Alice is basically still a human because of that.

They who will enjoy this the most

  • Fanboy setia who will still watch and love it so much no matter how terrible the movie is.
  • Penonton umum yang sudah merasa sangat puas hanya dengan sekedar disuguhi adegan aksi tanpa henti dan special visual fx.
Lihat data film ini di IMDB.
Diberdayakan oleh Blogger.