2/5
Action
Adventure
Based on a Game
Blockbuster
Franchise
Gore
Horror
SciFi
The Jose Movie Review
Thriller
Zombie
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Resident Evil - Retribution
Overview
Who has
started to get bored with the Resident Evil (RE)’s
franchise? I have! Semenjak Afterlife, storyline-nya sudah
terasa dipanjang-panjangkan (atau lebih tepat diirit-irit
perkembangannya). Untung saja masih punya daya tarik dari sepak
terjang Alice (Milla Jovovich) yang super kick-ass. Belum lagi efek
3D yang ternyata cukup baik. Maka ketika Resident Evil Retribution
(RER) dirilis, jujur sangat sedikit sekali rasa ketertarikan saya
untuk menyaksikannya. Baiklah, kalau ada yang ngajak ayo saja. At
least saya rasa saya masih bisa terhibur dengan adegan-adegan aksi
yang keren dan tampilan seksi dari Milla Jovovich. Soal jalan cerita,
saya sudah menutup ekspektasi rapat-rapat, termasuk dari segi logika.
Let's just have some fun and kick some asses!
Awalnya
saya optimis ketika film dibuka dengan adegan thriller horror klasik
dengan tampilan Milla Jovovich yang menjanjikan variasi cerita. Wah
bakal ada perkembangan cerita yang asyik nih, begitu pikir saya.
Namun rupanya hal tersebut tak berlangsung lama karena yang terjadi
berikutnya sangat berbanding terbalik. Penonton dibawa kepada
petualangan Alice dari satu site ke site lain, kembali ke site
sebelumnya, begitu seterusnya. Memang, adegan aksi bertaburan tanpa
henti di setiap menitnya namun bagi Anda yang mengikuti franchise RE
sejak awal, semuanya terlihat seperti kilas balik atau malah mungkin
sekedar copy-paste adegan aksi dari installment-installment
sebelumnya, hanya saja kostum dan setting lokasi yang diganti secara
digital. Tidak ada yang baru dan dengan porsi yang demikian... sangat
membosankan! Saya sampai pada titik dimana saya malah sering
bergumam, “Sudah, matikan saja Alice. Saya sudah tidak peduli lagi
dengan nasibnya!” Siapa bilang hanya film drama yang bisa
bertele-tele? RER membuktikan film aksi pun bisa jatuh demikian jika
tidak digarap dengan kadar dan intensitas keseruan yang pas.
Kemunculan zombie-zombie dan karakter-karakter yang pernah muncul di
installment-installment sebelumnya semakin menguatkan bahwa RER
hanyalah sebuah pengulangan serta rangkuman yang tak perlu.
Ada
perubahan gaya penceritaan yang lebih mirip seperti game-play di
sini. Lihat saja karakter Ada Wong dengan gaya bicara yang super kaku
dan terkesan sangat instruktif seperti halnya penunjuk arah di
game-game RPG (untung saja tidak sampai ada running text dialog di
layar). Alur ceritanya pun dibuat seperti misi-misi di game, pergi
kesana-kemari, mengalahkan 'raja monster' ini-itu, ke level
berikutnya, begitu seterusnya. Bagi saya, gaya seperti ini justru
malah memperburuk semuanya. Well, film bukanlah game dimana
'penonton' yang mengarahkan gerak karakternya sendiri. Duduk manis
menonton 'orang lain main game' yang sudah diatur alurnya selama satu
setengah jam? I'd rather gone sleeping.
Promosi
yang menggembar-gemborkan kemunculan karakter-karakter lama dan
variasi setting lokasi cerita yang meliputi Tokyo, New York, dan
Russia memang berhasil membuat penonton penasaran berbondong-bondong
nonton di bioskop, tetapi ternyata hasilnya sangat mengecewakan.
Mungkin bisa disebut sedikit penipuan publik.
The Casts
Paul W.
S. Anderson masih terlalu sibuk untuk menjadikan Milla Jovovich
one-woman-show di tengah lautan karakter yang sebenarnya tak kalah
menarik jika diberi porsi setidaknya seperti di installment pertama.
Untung saja Jovovich sudah menyatu dengan image Alice sehingga
setidaknya menjadi alasan terakhir untuk terus menyaksikan franchise
RE. By the way, she looked fabulous in blonde.
Kemunculan
karakter-karakter lama yang pernah tampil menarik dan mencuri layar
seperti Rain (Michelle Rodriguez), Carlos (Oded Fehr), One (Colin
Salmon), dan Jill Valentine (Sienna Guillory) nyatanya hanya tempelan
semata. Kesemuanya tidak diberikan porsi yang cukup untuk kembali
memperkaya film. Begitu pula karakter-karakter baru yang sebenarnya
punya potensi untuk menjadi sama menariknya, seperti Leon (Johann
Urb) dan Barry (Kevin Durand). Ada Wong (Bingbing Li) menjadi
karakter baru palng menonjol berkat aksen dan akting kaku seolah
sebenarnya bukan manusia. Entah cyborg atau hanya program Red Queen.
Hanya penampilan aktris cilik yang pernah tampil di Orphan,
Aryana Engineer sebagai Becky, “anak” Alice, yang cukup
mengesankan in a positive way. I hope she will have more role in the
next (and thank God, according to Anderson, it seems to be the
finale) installment, if it is made.
Technical
Tampilan
visual effect-nya masih tak jauh berbeda dengan
installment-installment sebelumnya. Tak banyak hal baru tapi cukup
memuaskan, termasuk tampilan ‘zombie ber-otak’ yang tergolong
lebih keren ketimbang ‘zombie berpalu raksasa’ dari Afterlife.
Sementara
beberapa score berhasil terdengar elegan dan membangun suasana
ketegangan dengan alunan menyayat khas horror thriller 80-an, score
untuk hampir semua adegan aksinya sama melelahkan dan membosankannya
dengan adegan-adegan itu sendiri.
The Essence
Lupakan
zombie-zombie dan fakta bahwa populasi manusia terus menurun, karena
ada satu hal yang lebih menarik di installment ini yang datang dari
diri karakter Alice.
Meski
sudah termutasi virus T yang membuatnya lebih dari sekedar manusia,
Alice rela berkorban dan terus berupaya menyelamatkan seseorang meski
ia sadar tak ada alasan rasional untuk itu selain orang tersebut
menyayanginya. Now we know that Alice is basically still a human
because of that.
They who will enjoy this the most
- Fanboy setia who will still watch and love it so much no matter how terrible the movie is.
- Penonton umum yang sudah merasa sangat puas hanya dengan sekedar disuguhi adegan aksi tanpa henti dan special visual fx.