3/5
Awards winner
Biography
British
Drama
Romance
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
W.E.
Overview
Jika Anda
pernah menonton The King’s Speech yang tahun 2011 lalu
memenangkan Best Picture di ajang Academy Awards, tentu Anda ingat
bahwa King George VI yang gagap menjadi kepala kerajaan monarki
Inggris setelah sang kakak, Prince Edward VIII, menyerahkan takhtanya
untuk menikahi janda asal Amerika Serikat, Wallis Simpson. Nah, W.E.
adalah film yang secara khusus menceritakan kisah cinta Prince Edward
dan Wallis Simpson dari sudut pandang Wallis. Lahir dari tangan ratu
kontroversi legendaris, Madonna, yang tak hanya bertindak sebagai
sutradara tapi juga menjadi salah satu penulis naskahnya, W.E.
adalah film dengan premise yang sangat menarik.
W.E.
tidak secara langsung bertutur tentang kehidupan Wallis Simpson,
tetapi melalui interpretasi dari benak seorang pengagumnya yang
bahkan memiliki nama depan yang sama, Wallis Winthrop. Tak hanya itu,
kehidupan Simpson tak pelak ikut mempengaruhi pandangan Winthrop
tentang relationship, terlebih ketika hubungannya dengan sang suami
mulai goyah. Gaya penceritaannya mirip dengan The Hours yang
bahkan menampilkan tiga karakter dari masa yang berbeda-beda namun
saling berkorelasi.
Di awal
film, W.E. agak membingungkan dalam menampilkan kehidupan
Simpson dan Winthrop, apalagi nama depannya sama. Untungnya, sejalan
dengan durasi semakin jelas perbedaan rentang waktunya. Namun sayang,
skrip belum mampu merangkai kedua cerita paralel ini menjadi kesatuan
yang padu, serasi, dan terasa berkorelasi. Malah mungkin beberapa
penonton akan berpikir kisah kehidupan Winthrop justru mengganggu
keindahan alur cerita tentang Simpson. Jika mau membuat plot yang
unik atau membuat dalih bahwa penggambaran kisah Simpson di sini
hanyalah ada di benak Winthrop, rasanya tidak perlu sampai sejauh itu
menggali kehidupan asmara Winthrop. Toh, maksud utama untuk
mengkorelasikan pengaruh Simpson terhadap relationship Winthrop
ternyata tidak tercapai dengan cukup kuat.
Ada
banyak plot yang tidak dijelaskan atau kurang dalam yang sebenarnya
membuat keseluruhan cerita menjadi menarik, misalnya tentang affair
William, suami Wallis Winthrop, alasannya apa dan dengan siapa saja,
atau bagaimana dilema antara Wallis Simpson dan suaminya, Ernest yang
harus di-“tengah”-i oleh Prince Edward.
Di luar
kurang kuatnya skrip dan penataan alur yang kurang rapi untuk bisa
dinikmati dengan enak, karya debut Madonna ini sesungguhnya jauh dari
kata buruk. Memang kemampuan menulis naskah yang kuat masih perlu
diasah lagi namun melihat karya tulisnya dalam bentuk dongeng
anak-anak, setidaknya ia tahu bagaimana menerjemahkan buah pikirannya
menjadi alur cerita dan visualisasi yang menarik. That’s a good
start.
The Casts
Sudut
pandang cerita yang diletakkan pada karakter Wallis Simpson membuat
penampilan Andrea Riseborough menjadi sorotan utama. Beruntung ia
berhasil menghidupkan karakter ini sehingga simpati penonton dapat
dengan mudah diraih olehnya.
Abbie
Cornish (Wallis Winthrop) tampil biasa saja. Bukan karena aktingnya
yang buruk, namun naskah tidak begitu banyak memberikan porsi bagi
karakternya untuk “bicara” lebih banyak. Sementara di lini
supporting actor, James D’Arcy (Prince Edward) dan Oscar Isaac
(Evgeni) mengisi perannya sesuai porsinya.
Technical
Sejak
awal terlihat sekali sisi artistik digarap dengan sangat serius.
Detail kostum, properti, set, serta make-up yang luar biasa.
Selain
score ala Eropa, satu hal yang saya apresiasi dari soundtracknya
adalah keberaniannya dalam memasukkan musik modern seperti Pretty
Vacant milik Sex Pistols untuk mengiringi adegan bersetting tahun
1930-an. Unique and very alive.
The Essence
Sejarah
mencatat Wallis Simpson adalah karakter antagonis yang menyebabkan
Prince Edward sampai rela melepaskan takhtanya. Apalagi statusnya
yang sudah dua kali bercerai, bahkan pernikahannya yang kedua dengan
Ernest masih dalam keadaan baik-baik saja ketika Prince Edward mulai
masuk dalam kehidupannya. Image yang tidak baik tentu langsung
dicapkan pada dirinya. W.E. mengajak penonton melihat sudut
yang berbeda; apa yang sebenarnya dirasakan oleh Wallis Simpson
sendiri.
Sama
seperti Simpson, media yang juga mempengaruhi pola pikir publik
tentang orang-orang di sekitarnya seringkali mudah menjatuhkan vonis
terhadap seseorang dari sudut pandangnya sendiri. Padahal publik
belum tentu tahu apa yang sebenarnya terjadi atau dirasakan oleh
orang tersebut. Entah kenapa manusia memang cenderung suka men-judge
orang lain. Maybe that’s what they want to see, that perfection
doesn’t exist. Maybe something to cover their own imperfection.
Di sisi
lain, kesempurnaan memang tidak pernah ada. Kisah cinta ala princess
yang happily ever after hanyalah fantasi semata. Wallis Winthrop yang
awalnya mempercayai indahnya hubungan Wallis Simpson dan Prince
Edward harus belajar bahwa itu semua tidak sesempurna kelihatannya.
Banyak kepedihan yang dialami terutama oleh Simpson dalam perjalanan
happily ever after tersebut. Yang paling penting, how you can cope
with every imperfections in life.
Lihat data film ini di IMDB.