Overview
Senang
rasanya mengetahui ada film Indonesia yang mendapatkan perhatian dari negara
lain hingga direstorasi dengan biaya penuh. Senang karena ini merupakan satu
bukti bahwa Indonesia punya sejarah perfilman yang panjang dan memiliki nilai
sejarah yang penting bagi dunia. Tapi saya tidak bisa bohong
untuk juga merasa miris karena ternyata pemerintah sama sekali tidak ambil
bagian dari proses penyelamatan karya budaya ini. Yah saya mengerti lah, di
kondisi negara yang seperti ini, apa kata rakyat kecil yang merasa lebih butuh
bantuan dana ketika mengetahui besar dana yang dikeluarkan untuk melakukan
restorasi tersebut. Saya harus memaklumi bangsa ini yang kurang (atau malah
tidak sama sekali) bisa menghargai karya budaya yang dimilikinya (tapi nanti
kalau diklaim negara lain baru protes).
Melihat
langsung hasil restorasi Lewat Djam Malam
(LDM) merupakan suatau kesempatan yang tidak boleh saya sia-siakan begitu saja
sebagai pecinta film (dan semoga juga kelak menjadi bagian dari perfilman Indonesia). Seberapa sering sih ada kesempatan menyaksikan film klasik di layar lebar? Toh
dari sini saya juga bisa belajar, tidak hanya tentang sejarah perfilman
Indonesia, tetapi juga banyak hal teknis dan esensi yang membuatnya layak
dipilih untuk direstorasi dan menjadi bagian dari warisan budaya dunia.
At first,
LDM memiliki jalinan cerita yang cukup sederhana; bagaimana seorang mantan
pejuang beradaptasi dengan lingkungan masyarakat. Meski demikian, sama seperti
kebanyakan film pada masa itu (’50-an), alur LDM sangat menarik untuk disimak dan
yang pasti tanpa terasa draggy. Namun tentu saja membahas LDM tak bisa hanya
cerita luarnya saja. Jika kita mau menganalisa lebih dalam cerita dan karakter
yang ada, LDM menampilkan representasi-representasi karakter bangsa ini saat
itu (atau malah sampai sekarang). Misalnya karakter Gunawan yang memanfaatkan
momen revolusi demi kepentingan ekonomisnya sendiri, Pujo yang masih terbuai
oleh jasa-jasanya sebagai pahlawan sehingga enggan untuk ikut membangun, Laila
yang hanya bisa mengumpulkan mimpi sambil menanti keadaan menjadi lebih baik
baginya, dan pegawai-pegawai kantor pemerintahan yang sinis dengan kehadiran
Iskandar, sang karakter utama. Kesemuanya ini menjadi sebuah cermin besar
tentang kondisi bangsa ini saat itu. Sebuah kritikan tajam sekaligus renungan
tak hanya untuk pemerintah, tapi juga masyarakat luas. Itulah yang membuat LDM
sangat menarik untuk disimak dan juga direnungkan.
Tak perlu
khawatir LDM akan menjadi sebuah film yang berat karena bapak perfilman nasional,
Usmar Ismail, mengemasnya dalam sebuah film drama dengan sedikit thriller dan
juga beberapa joke. Well, bagi penonton masa kini mungkin bisa juga menganggap
kosa kata-kosa kata jaman itu sebagai joke. Namun bagi Anda yang terbiasa untuk
menganalisis film lebih dalam daripada apa yang tersaji di layar, Anda akan
menemukan a very valuable and precious gems yang jarang didapat dari film-film
era kini.
The Casts
Sebagai film
yang digarap serius, tentu LDM memiliki cast yang kuat. Sebagai pemeran utama, AN
Alcaff berhasil mencampur adukkan pergulatan psikologis yang dialami Iskandar
berkat tekanan yang tak hanya dari luar tapi juga dari dalam dirinya. Sementara
sang screen stealer tentu saja Dhalia yang memerankan karakter sang pelacur,
Laila. Karakter Laila-lah yang menurut saya memegang kunci kesimpulan dari
keseluruhan cerita LDM dan mampu dibawakan denga baik oleh Dhalia. Sekilas
menggoda dan tingkahnya mungkin akan membuat penonton tertawa, namun jelas
sekali terasa luka batin yang dideritanya walau ia berusaha menutup-nutupinya.
A very remarkable character.
Technical
Tak sia-sia
Usmar Ismail melakukan pembelajaran hingga ke Hollywood sehingga menghasilkan
film yang kuat di berbagai aspek. Lihat saja tata sinematografi yang menawan, ditambah
hasil restorasi yang menghasilkan kontras hitam dan putih yang cukup tinggi,
menjadikan visualisasi yang menakjubkan.
Sementara
audio terdengar sangat jelas walau (nampaknya) masih menggunakan track mono.
Kejelasan dialog, musik, dan efek suara berpadu dengan seimbang. Memang, tentu
saja suara tembakan tidak bisa terdengar dahsyat seperti film-film masa kini.
Namun terlepas dari itu semua dan teknik editing yang masih sederhana sesuai
dengan jamannya, LDM memiliki production value yang setara dengan Hollywood
saat itu.
The Essence
LDM
menggambarkan bagaimana aneka reaksi bangsa ini pasca kemerdekaan. Ada yang
menganggap perjuangan belum usai karena bangsa ini masih harus membangun, ada
pula yang masa bodoh dengan perjuangan para pahlawan dan mengisinya dengan
bersantai-santai. Namun yang paling banyak adalah seperti karakter Laila.
Laila
seperti terjebak pada masa lalu-kini-dan sekarang. Ia mengumpulkan
gambar-gambar dari masa lalu (majalah lama) sebagai persiapan menghadapi masa
depan; ketika ada pria yang datang meminangnya, ia tahu apa yang harus
dimintanya. Sampai pada masa depan itu datang, ia justru memilih kembali ke
masa lalu dengan barang-barang yang diinginkannya namun sudah ketinggalan jaman
itu. Sebuah metafora keadaan bangsa ini yang suka mengarsipkan sejarah dan
mengaku harus belajar dari sejarah untuk membangun masa depan. Namun ketika
masa depan itu tiba, bangsa ini lebih memilih seperti masa lalu. Misalnya
ketika kita berada pada orde baru, bangsa ini memilih untuk memiliki kebebasan
berpolitik. Namun ketika reformasi itu datang, bangsa ini ternyata lebih
membutuhkan stabilitas negara yang menjadi ciri khas orde baru. Mungkin hingga
kini pun negara kita masih meraba-raba masa depan seperti apa yang ingin
dicapai, sama seperit Laila.