The Jose Movie Review
The Amazing SpiderMan


Overview

Semenjak kabar reboot Spider-Man, jujur saya agak mengernyitkan dahi. Perlukah dalam rentang waktu yang hanya lima tahun sejak seri terakhir? Apalagi versi yang sebelumnya sudah memberikan set yang sangat baik sebagai sebuah cerita superhero. One of the best ever malah. Setelah melihat trailernya saya semakin tidak tertarik. I didn’t find something new in this installment.

Namun review positif mulai bermunculan (bahkan tidak sedikit yang memberikan nilai 5/5) dari beberapa orang yang beruntung mendapatkan kesempatan menyaksikannya sehari sebelum tayang reguler. Berangkatlah saya menyaksikan installment kali ini dengan masih tanpa ekspektasi apa-apa dan beruntung saya berangkat dengan niat demikian. It’s not as good as people said.

Mari kita tinggalkan sejenak alasan-alasan shallow banyak orang yang lebih menyukai versi Webb ini ketimbang versi Raimi; para gadis remaja lebih menyukai Andrew Garfield yang sengaja dipasang untuk memenuhi tren cowok keren di mata gadis remaja saat ini : imut, para wanita lebih rela Peter berpacaran dengan gadis cerdas dan punya “fungsi” ketimbang sekedar jadi langganan sandera, dan para pria fanboy terpuaskan secara maksimal berkat kesetiaan terhadap versi komiknya yang lebih besar. Sayangnya di mata saya, formula-formula di atas seperti sengaja dipakai oleh produser, penulis naskah, dan sutradara untuk menutupi kelemahan demi kelemahan plot di sana-sini atau mungkin juga karena memang tidak punya sesuatu yang baru untuk ditawarkan tetapi masih merasa sayang franchise dengan kesuksesan sebesar itu harus berakhir.

Sebagai film superhero yang berdiri sendiri, dengan mengabaikan versi Raimi, TAS was a just-fine movie. Tentu saja masih unggul dalam hal pengembangan cerita dan karakter ketimbang film sejenis akhir-akhir ini. Akan tetapi dibandingkan versi Raimi, TAS masih terasa kurang. I know it sounds not fair to compare both of them but it’s unavoidable. Coba deh, ada tidak dari kalian yang hendak menyaksikan TAS tapi belum pernah menyaksikan versi Raimi? Ada tidak dari kalian yang sama sekali tidak membandingkan keduanya? Membuat reboot sebuah franchise yang sudah bagus dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, TAS harus mau (atau memang sengaja menantang) untuk dibandingkan dengan pendahulunya.

Hal yang paling kentara terasa adalah TAS tidak se-warm dan se-iconic versi Raimi. Jika versi Raimi mengajak penonton untuk begitu intim dengan karakter secara personal dan emosional beserta problematikanya, banyak adegan dari TAS yang terasa datar tapi malah banyak diartikan sebagai “dark” oleh penonton. Really? Beda-beda tipis sih, tapi definisi “dark” bagi saya memiliki detail adegan non-verbal yang seharusnya lebih banyak bercerita ketimbang dialog. Sementara di TAS tak banyak yang menggambarkan kepedihan hidup sang Peter Parker selain memamerkan memarnya kepada Aunt May dengan wajah memelas. Bandingkan dengan versi Raimi dimana satu per satu kemalangan terjadi pada diri Parker but he’s still trying to be tough. No, it’s not a poker face. He’s trying to look tough but actually fragile inside. Seperti itulah seharusnya sosok seorang superhero yang ideal namun masih dalam koridor manusiawi. Peter Parker yang hobby fotografi pun hanya ditunjukkan di awal-awal tapi sejak tengah hingga akhir film tidak dibahas sama sekali. Bahkan ia tidak merasa kehilangan apa-apa ketika kameranya hancur lebur. Mungkin bukan hal besar yang begitu penting bagi kesulurahan cerita, tapi bagi saya ini justru menjadi bukti betapa karakter Peter Parker di versi ini tidak punya kedalaman emosional apa-apa. Atau Peter Parker di sini memang digambarkan tidak punya masalah finansial sama sekali seperti di versi Raimi?

Tidak hanya kedalaman karakter yang terasa kurang, tapi juga relasi antar karakternya. Jika kita bisa melihat kedekatan emosi antara Peter Parker dengan para villainnya di versi Raimi, seperti Norman Osborn dan Dr. Otto Octavianus, sehingga menimbulkan dilema pribadi tersendiri bagi Peter, maka di sini kita hanya bisa melihat Peter yang seolah berpikir, “oh okay, so you’re the bad boy” dan langsung bag-big-bug seolah mereka tidak pernah kenal sebelumnya atau seolah Peter tidak butuh penjelasan lebih banyak tentang orang tuanya dari Connors.

Berbagai sub plot yang tidak jelas kepentingannya dengan problematika utama seorang Peter Parker ikut menambah kekurangan skrip TAS. Misalnya aksi Peter mencari-cari pria bertato di lengan yang saya rasa terlalu lama dan bertele-tele harus berujung pada ketidak jelasan kelanjutannya. Lagipula agak mustahil seorang remaja yang emosinya masih labil bisa melupakan begitu saja dendam pribadinya demi melawan penjahat utama yang tidak begitu mempengaruhi hidupnya tanpa motivasi yang kuat. Hal yang sama juga terjadi pada karakter Dr. Curt Connors dimana lebih masuk akal untuk terlebih dahulu menghabisi Norman Osborne dan Rajit Ratha yang jelas-jelas mempengaruhi kepribadiannya ketimbang menjalankan misi berbahayanya di puncak film.

Inti film yang pada versi Raimi cukup terangkum dalam satu kalimat sederhana, “with great power comes great responsibility”, ternyata butuh voice note panjang bagi Uncle Ben di TAS untuk menjabarkannya.

Adegan aksi yang sebenarnya menjadi alasan utama penonton berbondong-bondong ke bioskop hanya punya porsi sekitar 25% menjelang akhir film dengan intensitas yang cukup seru dan menegangkan namun tidak begitu memorable. I won’t be surprised if you’re already forgotten these action scene details by winter this year.

As conclusion, TAS terasa seperti memang ditargetkan hanya untuk usia remaja belasan tahun yang tidak begitu peduli dengan kedalaman karakter atau hubungan (singkatnya, generasi Twilight) dengan memperbanyak porsi romance antara Peter dan Stacy sehingga kurang bisa dinikmati (datar dan membosankan) oleh penonton yang lebih muda (anak-anak) namun juga terlalu picisan untuk golongan penonton yang lebih dewasa. Dengan intensi untuk menjejalkan terlalu banyak sub plot yang (diharapkan) membuat penonton berpikir “ah kaya sekali plotnya”, pada akhirnya masing-masing hanya tampil setengah-setengah, tanpa kedalaman apa-apa dan kebingungan untuk berfokus ke arah mana.

The Casts

Tidak ada yang salah dengan Andrew Garfield. Saya setuju jika perawakan dan kepribadian Peter Parker yang dibawakan Garfield lebih sesuai dengan versi komiknya. Sayang skrip lah yang tidak memberikan lebih banyak penggalian karakter untuknya. Semoga saja diperbaiki di sekuelnya nanti. I know Garfield can do better than this, he’s played many interesting characters so well before, such as in Imaginarium of Dr. Parnassus, Social Netwok, and Never Let Me Go.

Emma Stone… well, she’s the biggest reason I was interested to watch this installment and she played her role very well, as usual. I think there’s no one else fitter to Gwen’s role but her.

Dr. Curt Connors sebenarnya sama menariknya dengan karakter-karakter villain Spider-Man yang lain. Rhys Ifans (masih ingat teman seflat Hugh Grant di Notting Hill?) pun sangat pantas memerankan karakter ini. Sayang, lagi-lagi skrip tidak memberikan gradasi karakter yang cukup menarik dari seorang ilmuwan menjadi monster untuk Connors.

Technical

Tidak ada kendala berarti di teknis. Visual effects yang memanjakan mata, penuh dengan detail CGI. Walau desain karakter Lizard yang sedikit norak tapi detailnya cukup bagus. Sound effects cukup berhasil menghidupkan adegan-adegan aksi dan penghancuran dengan pemanfaatan efek surround yang juga efektif. Score-nya tidak se-iconic installment sebelumnya namun cukup variatif, termasuk dengan memasukkan score ala suspense-thriller di dalamnya.

Sinematografi yang indah turut memperindah visualisasi TAS. Lihat landscape kota New York dari sudut pandang SpiderMan yang sedang swinging around, lengkap dengan desain bangunan Oscorp yang futuristik dan megah, tak kalah dengan gedung Stark Industries.

Sayang efek Dolby Digital 3D-nya kurang begitu terasa signifkan depth of field maupun pop-out gimmick-nya. Padahal konon kabarnya adegan-adegan di film ini direkam denga kamera stereoscope 3D termutakhir. Entah dengan versi RealD 3D atau IMAX 3D-nya. Ada yang mau berbagi mungkin?

The Essence

Masih mengusung tema yang sama dengan installment sebelumnya, sebuah kekuatan memiliki dua sisi tergantung yang memanfaatkannya. Peter dan Connors memiliki nasib yang sama, genetik-nya termutasi oleh spesies lain sehingga menghasilkan spesies yang lebih kuat. Peter pun bisa saja menggunakan kekuatannya hanya untuk kepentingan pribadinya semata : balas dendam. Namun jika demikian ia tidak mempunyai peran apa-apa bagi masyarakat. Mungkin malah akan menjadi ancaman bagi publik. So, he has to do helping things rather than just fighting things. That’s what real hero does.


Lihat data film ini di IMDB.
Diberdayakan oleh Blogger.