The Jose Movie Review
American Reunion

Overview

Franchise American Pie (AP) berawal pas dengan masa remaja saya. Seri pertama dirilis ketika saya masih duduk di bangku SMP dan sejak itu menjadi film remaja favorit saya. AP berhasil menjadi film komedi seks yang tidak hanya jualan boobies and asses, tapi juga memiliki a lot of hearts. Semenjak kesuksesan seri pertamanya, booming film komedi seks remaja merebak namun tidak ada yang memiliki hati sebesar AP. Kesuksesannya dilanjutkan dengan AP2 dan American Wedding yang sebenarnya memiliki formula (lebih tepatnya template) yang sama namun selalu berhasil tampil segar.
Kini setelah sembilan tahun berselang sejak seri terakhir (dan aneka spin-off direct-to-video - seperti Band Camp, Naked Mile, dan Book of Love- tanpa value yang sama dengan the original AP series), AP kembali merilis kelanjutan kisah Jim dan ganknya. Tentu saja keadaan sudah banyak berubah; ada yang sudah menikah dan punya anak, ada yang karirnya menanjak, tapi ada pula yang masih terjebak pada jiwa remajanya. Premise yang sebenarnya menarik untuk diangkat namun berpotensi untuk mengubah image gokil franchise AP selama ini menjadi lebih serius. Tentu saja bukan itu yang diharapkan oleh fans AP dan penonton umum kan?
Untunglah AP tidak memilih keseriusan premise. American Reunion (AR) masih memiliki aura keceriaan, kegilaan, serta keseruan yang sama dengan seri-seri sebelumnya. Tentu beberapa masih mengikuti template yang ada, seperti adegan bertema get busted, public humiliating sexual experience, dan chaotic-potential-thrilling moment. Namun AR masih mampu menyajikan kesemuanya dengan segar dan menggelitik, termasuk memasukkan generation-gap sebagai salah satu issue. Ada sih becandaan yang gagal membuat saya terbahak-bahak, tapi most of them worked koq. Thanks to the screenwriter yang kreatif menggelar situasi-situasi serta adegan-adegan yang gokil.
Mempertahankan ciri khas AP tentu membawa resiko tersendiri. Seperti yang bisa diduga sebelumnya, kelogisan cerita harus dikorbankan. Bukan sesuatu yang esensial sih, tapi banyak konflik diberi penyelesaian yang terlalu mudah dan tampak seperti tidak begitu penting. Mungkin bukan menjadi suatu masalah bagi Anda yang hanya mengharapkan hiburan menggelitik, tapi bukankah akan menjadi lebih menarik jika plot-plot yang sudah dibangun dengan baik sejak awal memiliki penyelesaian yang lebih logis?
Anyway, tentu bagi penggemar yang telah tumbuh bersama franchise ini, AR seperti sebuah reuni wajib yang menyenangkan; meet and catch up dengan karakter-karakter lawas dan kembali bersenang-senang dan seru-seruan seperti masa muda dulu.

The Casts

Semua cast dari seri pertamanya kembali muncul di sini, termasuk mereka-mereka yang sempat absen di seri kedua dan ketiganya, dan karakter-karakter pendukung seperti Sherman, Jessica, dan Nadia. Senang rasanya kembali melihat kecanggungan diskusi antara Jim (Jason Biggs) dan ayahnya (Eugene Levy) yang alamiah, bahkan ketika Jim sendiri sudah menjadi seorang ayah. Begitu pula melihat Alyson Hannigan (yang masih) dengan gaya bicara geek-nya, Stifler (Seann William Scott) yang begitu legendaris dan iconic, dan tentu saja Stifler’s mom (Jennifer Coolidge) yang juga sudah menjadi icon MILF paling terkenal.
Di jajaran cast baru, Ali Cobrin (Kara) dan Dania Ramirez (Selena) dengan keseksian tubuh mereka berhasil mencuri perhatian dan cukup lovable.

Technical

Hal yang paling membuat saya kagum adalah menjaga keaslian set kamar Jim yang sama persis dengan di seri pertamanya yang begitu iconic. Begitu pula dengan set rumah Stifler yang sering dijadikan pusat pesta, lengkap dengan foto-foto asli dari seri-seri sebelumnya. Tema ‘reuni’ terasa dengan sangat kental berkat setting dan properti tersebut.
Seperti seri-seri sebelumnya, AR masih dihiasi single-single terkini dengan energi yang sama, seperti Good Charlotte yang seolah menjadi langganan AP, Cobra Starship, LMFAO, dan 3OH!3. Tak ketinggalan hits-hits era ’90-an seperti Spice Girls dan Montell Jordan. Lengkap sudah elemen untuk membangkitkan kembali kenangan-kenangan indah masa remaja.

The Essence

Waktu seolah menjadi momok bagi siapa saja, dimana ia lah yang merubah semuanya. Perubahan yang dilabeli oleh banyak orang sebagai ‘kedewasaan’, baik secara fisik maupun attitude. Namun ada pula orang yang berharap keadaan tidak pernah berubah, masih seperti ‘masa bersenang-senang’ dimana mereka menjadi ‘penguasanya’. But changes are unavoidable karena dunia pun berubah, lingkungan pun ikut berubah. Jika Anda seorang yang populer saat remaja, bisa jadi malah menjadi loser ketika dewasa. Penyebab utamanya? Anda enggan beranjak dari comfort zone –zona bersenang-senang- yang sebenarnya sudah tidak lagi pantas dengan usia Anda. Jadi benarlah tagline sebuah iklan, "menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan”.


Lihat data film ini di IMDB.
Diberdayakan oleh Blogger.