4/5
Asia
Based on a Play
Comedy
Dance
Drama
Pop-Corn Movie
South Korea
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Swing Kids
[스윙키즈]
Ragam sinema Korea Selatan semakin berani untuk menggabung-gabungkan berbagai genre. Akhir tahun 2018 lalu, sutradara blockbuster, Kang Hyeong-cheol (Scandal Makers, Sunny, Tazza: The Hidden Card) mencoba mengadaptasi drama panggung musikal berjudul Rho Ki-soo karya Jang Woo-sung yang menggabungkan tema tap dance dengan latar Perang Korea tahun 1951. Film bertajuk Swing Kids ini mempercayakan vokalis utama boyband Exo, Do Kyung-soo atau yang lebih dikenal dengan nama panggung D.O. (Unforgettable, My Annoying Brother, dan duologi Along with the Gods. Didukung pula oleh Park Hye-soo (serial Hello, My Twenties! dan Introverted Boss), Oh Jung-se (Tazza: The Hidden Card, The Accidental Detective, Fabricated City), dan pendatang baru Kim Min-ho. Meski sempat menjadi kontroversi karena temanya yang mengungkit-ungkit sentimen terhadap Korea Utara di tengah kondisi keduanya yang tengah akur, Swing Kids (SK) masih sempat mampu menjadi jawara box office di minggu pertama penayangannya di negara asal, melewati penjualan tiket Aquaman dan berhasil mengumpulkan sejuta penonton hingga minggu berikutnya. Penonton (dan tentu saja penggemar berat D.O. Exo) tak perlu menunggu lama menantikan SK karena Feat Pictures menayangkannya di bioskop-bioskop non-XXI mulai 9 Januari 2019.
Tahun 1951 Sekutu memindahkan semua tawanan komunis Perang Korea ke Pulau Geoje. Salah satu tawanan yang berasal dari tentara pemberontak Korea Utara, Ro Ki-soo, tiba-tiba jatuh cinta pada tap dance setelah melihat aksi seorang prajurit Sekutu kulit hitam bernama Jackson. Ritme dan gerakan tap dance seolah menghipnotisnya tiap waktu. Ketika Jackson ditugaskan membentuk grup tari untuk tampil di pertunjukan Natal, beberapa orang terkumpul; Yang Pan-rae, seorang gadis muda yang menguasai empat bahasa dan rela menjadi penerjemah Jackson demi uang, Oh Jung-se, seorang Korea Selatan yang kerap dituduh simpatisan komunis dan percaya grup tarinya akan terkenal sehingga memudahkannya mencari sang istri, serta Xiao Fang, prajurit Cina yang punya bakat tari luar biasa tapi mengidap anima yang membuatnya tak bisa ‘beraksi’ lama. Melihat latihan mereka, Ro Ki-soo akhirnya memberanikan diri untuk mengikuti nalurinya dan ikut berlatih. Tentu saja ia sangat merahasiakannya mengingat statusnya yang anti-Sekutu. Setelah seorang pemimpin pemberontak komunis merencanakan serangan rahasia terhadap Sekutu yang berniat memanfaatkannya, Ro Ki-soo semakin dihadapkan pada pilihan yang teramat sangat sulit dan bisa membahayakan nyawanya serta rekan-rekannya dari kedua belah pihak.
Dengan formula menggabungkan tap dance dan tema perang, Kang Hyeong-cheol tampak berusaha ‘mengawinkannya’ sebaik mungkin. Setelah pengenalan singkat latar belakang Perang Korea hingga para tawanan bisa sampai di Pulau Geoje, paruh pertama film menyajikan pengenalan karakter-karakter ‘eksentrik’-nya dengan begitu stylish, mengikuti ritmik yang asyik, dan tentu saja humor-humor yang menggelitik, terutama dari segi kesalah-pahaman bahasa yang dimanfaatkan semaksimal mungkin. Berkat pilihan track list (mulai warna soul seperti Caldonia dari Louis Jordan, pop ’50-an macam If I Knew You Were Comin’ I’d’ve Baked a Cake dari Eileen Barton dan Shout dari The Isley Brothers, jazz yang diwakili Sing Sing Sing dari Benny Goodman, hingga rock ’80-an seperti Modern Love dari David Bowie dan Free As a Bird dari The Beatles) yang ritmenya dimanfaatkan maksimal lewat sinematografi Kim Ji-Yong yang mengeksplorasi angle dan pergerakan kameran hingga penonton seolah mendapatkan detail tarian sedekat mungkin, serta editing Nam Na-yeong yang dinamis dan asyik, seirama dengan ritme musik.
Paruh film berikutnya terasa mengalami turnover yang sangat drastis. Apalagi transisi antara yang nuansanya asyik, tiba-tiba dihantamkan pada nuansa teror dan berapi-api yang terlepas dari golongan ideologi apapun Anda, akan merasakan ketegangannya. Di satu sisi ini mungkin terasa seperti kelemahan yang ‘mengganggu’ kenikmatan menonton. Namun jika mau dianalisis lebih jauh, bisa jadi ini sengaja merupakan pilihan Kang Hyeong-cheol dalam menyampaikan idealisme ‘Fuck Ideology’ (yang sekaligus menjadi tajuk pertunjukan grup tari Jackson di klimaks)-nya lewat ‘rasa’, bukan arah plot semata. Kang seolah ingin menyampaikan, “nggak enak kan keasyikan hidup lo terusik oleh perang ideologi?”. Untuk tujuan tersebut, misi Kang Hyeong-cheol bisa dianggap berhasil. Apalagi dengan pengenalan karakter yang membuat mereka begitu dekat dengan penonton, tapi kemudian sekali lagi ‘dihantam’ oleh pilihan arah plot yang membuat penonton semakin ‘terprovokasi’ secara emosional.
Secara kualitas akting, Do Kyung-soo menunjukkan range emosi yang lebih lebar dan performa akting secara keseluruhan yang jauh lebih baik dari peran-peran sebelumnya di balik ekspresi wajahnya yang khas. Park Hye-soo pun menunjukkan kharisma serta pesona akting yang dengan mudah memikat simpati penonton. Keeleganan, kecerdasan, keberanian, sekaligus ketulusan ditunjukkan dengan sangat bold dan seimbang olehnya. Begitu juga Jared Grimes yang di beberapa bagian menyumbangkan emosi yang paling penting sepanjang film. Terakhir, tentu susah bagi perhatian penonton untuk tak teralihkan oleh performa Mim Min-ho yang menggelitik sekaligus tersentuh.
Sebagai sajian perkawinan antara tap dance dan perang, bagi beberapa penonton mungkin paduannya masih kurang nge-blend dengan sempurna. Namun di sisi lain, justru menjadi sebuah punch yang powerful terhadap persepsi penonton terhadap ‘perang ideologi’ yang memuakkan di tengah bangunan film yang fun dan mengasyikkan. Bagaimana pun persepsi Anda terhadap racikannya ini, tidak mempengaruhi kedigdayaan SK sebagai sajian yang mengasyikkan, ‘menonjok’, pilu, sekaligus menutupnya sebagai sebuah kenangan yang indah. Tak hanya menjadi salah satu film Korea Selatan paling berkesan yang pernah saya saksikan, siapa sangka pula ia bisa menjadi film Natal yang hangat untuk dinikmati bersama keluarga atau sahabat tiap tahunnya?