2.5/5
Blockbuster
Box Office
Drama
Franchise
Hollywood
Mystery
Pop-Corn Movie
SciFi
sequel
Superheroes
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Glass
Sejak kesuksesan The Sixth Sense (1999), baik secara komersial maupun kritik, nama M. Night Shyamalan di mata dunia pernah begitu bersinar dan melekat pada image ateur director dengan visi istimewa dan piawai menggarap twist ending di film-filmnya. Namun sepanjang karirnya ada pula batu sandungan seperti ketika menggarap Lady in the Water (2006), The Last Airbender (2010), dan After Earth (2013). Reputasinya perlahan mulai pulih sejak The Visit (2015) dan kembali mencapai puncak lewat sukses Split (2016). Kesuksesan yang membuatnya kembali dinanti-nantikan penggemar lama maupun baru lewat film yang ‘dijual’ sebagai penutup dari sebuah trilogi setelah Unbreakable (2000) dan Split. Tajuk Glass jelas merujuk pada karakter Elijah Price alias Mr. Glass (karena tulangnya yang serapuh kaca) yang sudah diperkenalkan di Unbreakable sebagai karakter antagonis kebalikan dari David Dunn. Siapapun yang sudah pernah menyaksikan kedua film pertamanya pasti tak sabar membayangkan apa jadinya jika karakter David Dunn dan Kevin Wendell Crumb dengan ke-23 kepribadiannya dipertemukan dengan Mr. Glass. Awal tahun 2019 menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak meski tanggapan awal dari kritikus lewat situs Rotten Tomatoes yang kurang menggembirakan. Bagaimanapun kolaborasi dua studio besar, Buena Vista (anak perusahaan Disney, pemegang IP - Intelectual Property- Unbreakable) dan Universal (pemegang IP Split) yang biasanya seringkali bersaing di berbagai lini, mulai produksi film hingga taman hiburan, merupakan cinematic event yang langka.
Melanjutkan ending Split, David Dunn yang punya kekuatan super berupa stamina, kekuatan, tak terlukakan, dan bisa melihat kejadian di masa lampau hanya dengan menyentuh sebuah objek kini memilih menjadi vigilante berkedok pria berjas hujan dengan julukan Sang Pengawas (The Overseer) bersama sang putra yang kini telah dewasa, Joseph, sebagai penunjuk arahnya. Target mereka kali ini adalah sosok The Beast yang telah secara misterius menculik dan menyekap empat orang anggota pemandu sorak. Tentu saja sosok The Beast tak lain dan tak bukan adalah salah satu dari 23 kepribadian Kevin Wendell Crumb. Ketika akhirnya saling berkonfrontasi, keduanya malah berhasil dibekuk pihak berwajib. Anehnya mereka justru dibawa ke sebuah fasilitas institusi jiwa yang dikepalai oleh Dokter Ellie Staple. Ia sedang melakukan penelitian terhadap fenomena kekuatan super yang dimiliki mereka berdua dan Elijah Price yang sudah terlebih dulu berada di institusi jiwa tersebut. Dokter Ellie percaya kekuatan superhero itu tidak benar-benar ada dan bahwa apa yang dialami oleh ketiga pasiennya ini adalah delusi hasil pengalaman masa lalu dan sosok yang pernah mereka temui. Sementara Elijah Price yang selama ini terlihat diam tak sadarkan diri ternyata sudah menyiapkan rencana besar yang melibatkan mereka semua.
Unbreakable dan Split adalah dua produk yang sama sekali berbeda dari M. Night Shyamalan. Jika Unbreakable lebih unggul dalam pengembangan plot (termasuk plot twist yang masih menjadi khas Shyamalan saat itu), sementara Split lebih menonjol dalam hal pembangunan tensi dan teror yang konsisten sepanjang durasi. Ketika disatukan, wajar jika penggemar mengharapkan perpaduan dari dua hal (yang seharusnya menjadi) keahlian Shyamalan. Dengan pembuka yang termasuk ‘to the point’, saya sempat optimis dengan konsep serta nuansa khas Split yang intens. Namun rupanya optimisme saya hanya terpenuhi hingga sekitar 45 menit awal saja. Setelah David dan Kevin tertangkap, tone film mendadak berubah menjadi sangat lambat dan minim pengembangan plot selain apa yang disampaikan lewat dialog Dokter Ellie Staple saja. Menjelang klimaks barulah dimunculkan (so-called) plot-twist yang menurut saya tak benar-benar mengejutkan karena sudah diungkap di Unbreakable. ‘Plot twist’ berikutnya mengenai sosok Dokter Ellie Staple juga bukan sesuatu yang ‘mind-blowing gimana gitu’. Selain gelagatnya memang sudah terbaca sejak ‘ceramah’ pertamanya, isu demikian juga sudah bukan hal baru di ranah superhero, terutama sekali paling kencang didengungkan oleh franchise X-Men di layar lebar. Lantas hal menarik lain yang ditawarkan Glass adalah ‘janji’ akan sebuah klimaks yang dahsyat ketika ketiga sosok sentralnya benar-benar dikonfrontasikan. Apalagi berkali-kali di-tease adanya klimaks di sebuah gedung pencakar langit yang baru akan diresmikan. Sebuah ‘janji’ yang ternyata diingkari begitu saja, digantikan adegan konfrontasi yang so-so di halaman parkir institusi jiwa. Well….
Lalu sebuah kesimpulan di adegan penutup yang… Tanpa bermaksud spoiler, tapi hallo, secara logika adegan penutup itu sangat meragukan kekuatannya. Di tengah masyarakat yang apatis seperti saat ini, menurut saya tidak ada yang peduli atas apa yang ditampilkan sebagai adegan penutup. Ketika dihadapkan pada hal yang sama, reaksi saya mungkin akan merasa “oh, so?” Entahlah bagi penonton yang belum pernah menyaksikan film-film superhero sebelumnya.
Selain pengembangan plot yang nyatanya tak terlalu banyak, apalagi untuk durasi yang mencapai 129 menit, sehingga film terasa bergerak begitu lambat tanpa tujuan yang substansial, Glass masih memiliki sejumlah masalah ‘semangat’. Tak hanya Bruce Willis dan Sarah Paulson yang terasa tampil ‘ogah-ogahan’, tapi juga story-telling spirit Shyamalan yang terasa begitu rendah. Lihat saja bagaimana berbagai kamera Mike Gioulakis yang kerap gagal mengikuti gerakan dan meleset dari point of interest-nya pada adegan-adegan fighting-nya. Termasuk juga angle first person yang bukannya menambah keseruan tapi malah menyamarkan detail adegan. Bahkan West Dylan Thordson terdengar kebingungan harus memasukkan ilustrasi musik yang bagaimana di berbagai adegan, khususnya ‘ceramah’ Ellie yang cukup mendominasi film. Alhasil jumpscare music yang generik saja yang beberapa kali masih berhasil sementara yang lain terdengar seperti sekedar iringan agar tidak semakin tenggelam dalam kesunyian.
Dari segi penampilan aktor, James McAvoy terasa menjadi satu-satunya yang masing mengusung spirit setara dengan di Split. Sayang, jelas itu saja belum cukup untuk membuat keseluruhan film menjadi hidup. Samuel L. Jackson pun sebenarnya tak tampil buruk sebagai sosok villain, Elijah Price. Hanya saja porsinya yang tergolong sedikit (meski karakternya menjadi titular) dan tak banyak diberi perkembangan, sehingga masih sangat kurang untuk memberi kesan yang eksepsional. Sementara aktor-aktor di lini pendukung berikutnya, mulai Anya Taylor-Joy, Spencer Treat Clark, dan Charlayne Woodard, tak lebih dari sekedar pelengkap yang baik porsi maupun sumbangsih perannya sangat terbatas.
Pada akhirnya, meski saya sudah menjadi penggemar berat Shyamalan sejak The Sixth Sense, kali ini saya harus setuju pada kritikus dan rating Rotten Tomatoes. Glass tak hanya menjadi film terlemah dari trilogi tersebut, tapi salah satu yang terlemah (oke, terburuk!) dari semua film yang pernah ia garap. Memang mungkin ada yang masih bisa ‘menerimanya’ dengan alasan ‘memang slow-paced tapi not that bad kok. I can still enjoy it.’ Okay, whatever. I can’t. It’s not only super slow but boring without certain purpose. It’s just weak. Very little development and definitely not enough offering for a theatrical release. It’s like the Paradox to Cloverfield. Maybe even worse.
Lihat data film ini di IMDb.