The Jose Flash Review
Preman Pensiun

Acara TV yang diangkat ke layar lebar agaknya akan semakin marak paska kesuksesan Si Doel The Movie tahun lalu dan baru saja, Keluarga Cemara. Di bulan yang sama, kita kembali disuguhi film layar lebar yang diangkat dari sinetron berating tinggi sejak 2015 silam (hingga 3 season atau total 120 episode), Preman Pensiun (PP). Sinetron komedi ini menitik-beratkan pada lika-liku Muslihat, tangan kanan pemimpin geng preman di Bandung ketika sang pemimpin, Bahar, menyatakan pensiun. Tema yang berat tapi disampaikan dengan kemasan komedi dan ‘pesan moral’ yang sederhana sekaligus mudah dicerna oleh masyarakat luas membuatnya begitu sukses menapaki rating pertelevisian Indonesia yang dikenal kejam dan ketat. Kini MNC Pictures membawanya ke layar lebar dengan formula yang sama, termasuk sutradara/penulis naskah Aris Nugraha, aktor Epy Kusnandar sebagai Muslihat, dan sebagian besar anggota preman dari sinetronnya. Dengan track record sinetronnya, PP versi layar lebar seharusnya juga bisa mengekor kesuksesan yang sama. Terbukti hingga tulisan ini diturunkan, ia telah berhasil menggaet lebih dari 500.000 penonton pada pekan pertamanya.

Setelah tiga tahun pensiun sebagai kepala preman dan memilih terjun ke bisnis kecimpring (semacam jajanan pasar) yang dianggap bisnis yang baik dan benar, masalah mulai melanda Muslihat. Kesusahan ekonomi ternyata dialami pula mantan anak-anak buahnya yang juga memilih beralih ke bisnis yang baik dan benar. Tak hanya itu, putri semata wayang yang sudah beranjak dewasa, Safira, mulai menjalin hubungan dengan seorang pria. Ia bingung bagaimana cara menyikapinya. Konflik semakin memuncak ketika ia mendapati salah satu mantan anak buahnya, Dikdik, terlibat pengeroyokan yang tak disengaja kepada sanak mantan anggota yang lain hingga menyebabkan kematian. Diam-diam ternyata tak semua mantan anak buahnya benar-benar pensiun dari masa lalu mereka. 
Dari berbagai konflik yang disodorkan, sebenarnya bisa dengan mudah membaca ke mana arah PP versi layar lebar ini hendak dibawa. Berbagai konflik batin antara tetap pensiun atau kembali ke lembah hitam premanisme, serta bagaimana menyikapi berbagai kejadian yang mendadak muncul, tak hanya dari sisi Muslihat sebagai karakter utama, tapi juga beberapa karakter anak buahnya. Sebuah konsep cerita yang bagus dan tetap menarik untuk disimak. Sayang, PP versi layar lebar tampak kesulitan untuk menyampaikan maksud baik tersebut dengan tetap mempertahankan kemasan khas sinetronnya, terutama gaya match editing yang menjalankan lebih dari satu adegan secara bersamaan dengan memotong-motong dialog dari adegan-adegan yang ada secara bergantian sehingga terkesan saling nyambung. Gaya editing yang pernah begitu populer digunakan oleh salah satu film Warkop DKI, Sama Juga Bohong, dan seri-seri Austin Powers. Match editing seperti ini sebenarnya lebih untuk tujuan komedik, bagaimana dialog yang sebenarnya tak berhubungan bisa jadi lucu ketika disambung-sambung. Teknik yang lumrah saja dilakukan pada kadar yang pas dan tahu betul kapan momentum yang tepat untuk mengeluarkan punchline-nya. Sementara PP tampaknya kekeuh menggunakan teknik ‘signatural’ dari sinetronnya ini untuk sekitar 90% film. Alhasil mungkin sesekali masih berhasil menjadi lucu, tapi tak jarang pula lama-kelamaan menjadi kehilangan kelucuannya. Malah, saya yang berusaha mengikuti alur plot lewat tiap adegan yang dihadirkan dibuat bingung oleh maksud serta tujuan dari beberapa adegan. Beberapa adegan bak terputus tanpa follow-up yang jelas, sementara banyak dari adegan yang ternyata hanya dialog basa-basi, seperti janjian bertemu atau pengulangan labrakan dengan kecurigaan yang sama. Pendeknya, pengembangan plot yang tak terlalu banyak seperti ‘diplintir-plintir’ dengan teknik match editing hingga mencapai durasi total 94 menit. Ok, mungkin ’hanya’ 94 menit tapi karena konsep penceritaan, pengembangan yang minim, dan disampaikan lewat adegan-adegan yang tidak substansial (cenderung basa-basi semata), jadi terasa panjang dan melelahkan.
Tak hanya laju plot yang terhambat gara-gara gaya match editing ini, tapi juga perkembangan karakter, terutama karakter utama, Muslihat, yang seharusnya memikul beban paling banyak. Ketika konflik-konflik (yang relatif lebih) kecil seperti bisnis kecimpring dan urusan asmara Safira dibiarkan tanpa follow up, apalagi solusi, saya lagi-lagi dibuat mengernyitkan dahi oleh keputusan adegan penutupnya. I mean, ngapain Anda perlu kaget mendengar kabar yang sebenarnya sudah disadari sejak awal konsekuensinya, bahkan sempat memperingatkan pihak yang bersangkutan secara langsung, hingga ‘drama-drama’ sendiri bertanya-tanya kepada langit? Ya, saya tahu ia sebenarnya ingin menyampaikan perasaan kegagalan diri Muslihat dalam banyak hal, sebagai mantan pemimpin, bos bisnis, dan seorang ayah. Saya melihat setup menuju sana, tapi saya sama sekali tidak melihat apalagi merasakan proses emosi yang layak untuk bisa berempati kepada karakter Muslihat. Mungkin memang bukan sepenuhnya salah Epy Kusnandar dalam membawakan karakter Muslihat, tapi memang tidak memberikan porsi yang layak untuk menyampaikannya kepada penonton.
Di sisi lain, meski saya menyadari segala upaya menyuguhkan humornya tapi gagal membuat saya spontan tertawa (soal gaya guyonan yang memang kurang relate saja dengan saya secara pribadi), saya masih mengakui PP mampu membuat penontonnya, terutama dari penonton sinetronnya, tertawa terbahak-bahak, terutama lewat tingkah laku slapstick para karakter nyeleneh-nya, seperti duet Pipit-Murad (Ica Naga dan Deny Firdaus) dan tentu saja, Mang Uu. Tentu bagi penonton sinetronnya, itu saja sudah lebih dari cukup untuk berbondong-bondong ke bioskop, bukan?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.