4/5
Based on a True Event
Comedy
Drama
Family
Feel-good
Hollywood
Pop-Corn Movie
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Instant Family
Meski sudah dipuji banyak pihak sejak Sex Drive, Hot Tub Time Machine, We’re the Millers, dan Horrible Bosses 2, bakat penulis naskah/sutradara Sean Anders di jalur komedi baru benar-benar dikenal luas lewat Daddy’s Home dan sekuelnya. Kesuksesan franchise Daddy’s Home-lah yang membuat Mark Wahlberg tertarik untuk ikut mendukung project Anders berikutnya; Instant Family (IF), baik sebagai aktor utama maupun salah satu produser. Ditulis bersama koleganya sejak awal karir di Never Been Thawed, John Morris, Anders mengangkat pengalaman pribadinya ketika terlibat proses adopsi yang ternyata tak semudah maupun semembahagiakan kelihatannya dari luar. Selain Wahlberg, IF didukung Rose Byrne (franchise Insidious dan Neighbors), Isabela Moner (masih ingat si cilik Izabella di Transformers: The Last Knight, Sicario: Day of the Soldado, dan kelak pemeran Dora the Explorer versi live action), dan Octavia Spencer.
Merasa sudah cukup bahagia bertahun-tahun menikah tanpa anak, pasangan suami-istri, Pete dan Ellie Wagner tertantang ketika disindir tidak akan pernah punya anak oleh keluarga jauh mereka. Alih-alih melahirkan anak sendiri, keduanya sepakat untuk mencoba mengadopsi dari panti asuhan. Setelah sukses menjalani kursus orang tua angkat, tibalah saat memilih anak angkat yang sesuai dengan keinginan mereka. Ketika kebanyakan orang tua angkat menghindari remaja karena cenderung lebih sulit diatur dengan berbagai problematika pendewasaan yang lebih kompleks, hati mereka berdua justru jatuh kepada Lizzy, gadis remaja berdarah Latin yang terlihat cerdas. Siapa sangka ternyata mengadopsi Lizzy berarti juga mengadopsi kedua adiknya sekaligus, Juan dan Lita. Meski awalnya menolak, tapi hati mereka luluh juga begitu melihat foto dan bertemu ketiganya secara langsung. Awalnya berjalan baik-baik saja hingga perlahan ketika sudah mulai terbiasa, permasalahan-permasalahan menjadi orang tua yang sebenarnya muncul. Kemampuan dan keseriusan Pete dan Ellie untuk menjadi orang tua angkat terus diuji, tentu saja hingga puncaknya segala upaya mereka harus dipertaruhkan ketika orang tua kandung mereka keluar dari penjara dan siap untuk mengasuh ketiganya kembali.
Secara garis besar, plot IF sebenarnya cukup bisa ditebak arahnya, termasuk juga konflik-konflik generik dari tema adopsi. Namun bukan itu titik berat utama yang ingin ditawarkan Anders. Ia benar-benar membangun emosi lewat pasangan Pete dan Ellie dari pondasi terdasar; latar belakang mengadopsi yang bisa jadi semuanya begitu basic hingga dipertanyakan lagi ketika dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan kenyataan yang tak semudah konsep ‘apa yang seharusnya benar’, kursus orang tua angkat yang menjadi tahap pertama dari uji keyakinan pilihan, hingga proses terpanjang yang paling penting; ‘praktik lapangan’. Sebuah proses panjang yang tak hanya membangun simpati penonton (character investment) terhadap pasangan Pete dan Ellie, tapi juga mengajak penonton terlibat langsung dalam proses parenting yang disuguhkan.
Meski membungkusnya lewat kemasan komedi khasnya yang kadang slapstick, kadang sedikit berlebihan, ‘nakal’, ofensif, dan kasar tapi tetap tahu betul batas-batas yang masih aman untuk konsumsi seluruh keluarga, Anders bak memberikan ‘konseling’ melalui sosok pekerja sosial, Karen dan Sharon yang tak kalah menggelitiknya di balik esensi-esensi bijaknya, terutama dalam hal parenting (tapi sebenarnya bisa relevan juga untuk berbagai keperluan) kepada penonton untuk lebih memahami kondisi psikologis tiap orang (dalam hal ini, anak-anak) serta pelampiasan yang sehat, bukan hanya soal sikap apa yang seharusnya dilakukan anak terhadap orang tua secara formalitas di luar. Sebuah pandangan yang bisa jadi kontroversial bagi masyarakat budaya Timur yang lebih mengutamakan tata krama dan sopan santun ketimbang memahami kondisi psikologis maupun emosi tiap individu, tapi justru solutif, realistis, dan sehat. Tidak sekedar ‘bagus’ dari luar tapi ternyata di dalamnya memendam beban tak tersalurkan yang terus-terusan ditimbun, tanpa tahu suatu saat bisa sejauh apa akan meledak. Sebuah perenungan sekaligus pelajaran parenting yang sangat positif, terutama bagi orang tua, tak hanya yang statusnya ‘angkat’ tapi juga ‘kandung’.
Dengan pendekatan-pendekatan parenting yang personal dan menggali dalam persoalannya, proses upaya Pete dan Ellie untuk merengkuh hati Lizzy, Juan, dan Lita yang bumpy tapi realistis terasa begitu dekat dengan penonton. Bagi penonton orang tua akan dibuat ingin menjadi orang tua seperti Pete dan Ellie, sementara bagi penonton anak akan dibuat ingin memiliki orang tua seperti mereka. In the end, mengalami film ini bersama seluruh keluarga adalah sebuah momen kebersamaan yang bisa semakin mempererat kekerabatan lewat kehangatan chemistry antar karakter, tak hanya antara Wahlberg dan Byrne, tapi juga antara keduanya dengan masing-masing anak angkat lewat momen-momen tersendiri, naskah yang tersusun rapi, realistis, serta mengeksplor permasalahan secara menyeluruh sekaligus mendalam, serta pengarahan Anders yang membuat berbagai adegan penting (bahkan untuk adegan sederhana sekalipun) terasa dibuat dengan hati yang besar dan kehangatan cinta. Tentu saja pilihan track pengiring yang serba tepat momentum, seperti It Don’t Matter to the Sun dari Rosie Thomas, We’re Going Home dari Vance Joy, serta I’ll Stay dari Isabela Moner sendiri, semakin memperkuat adegan-adegan dramatis menjadi kian memorable. Sungguh sebuah pengalaman feel-good movie yang sayang untuk dilewatkan bersama keluarga di bioskop.