3.5/5
Asia
Comedy
Drama
Family
Indonesia
Pop-Corn Movie
satire
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Orang Kaya Baru

Selain dikenal sebagai sutradara sekaligus penulis naskah dari film-film bergenre tak jauh-jauh dari thriller, misteri, horor, dan yang terkesan serius-serius, sebenarnya Joko beberapa kali juga menulis naskah komedi. Bahkan namanya pertama kali dikenal di perfilman Indonesia lewat naskah Arisan! (2003) yang disusunnya bersama Nia Dinata. Sayang paska Janji Joni (2005) yang ia sutradarai sendiri untuk pertama kalinya, Joko lebih mempercayakan naskah-naskah komedinya ke sutradara lain. Seperti Quickie Express (2007) kepada Dimas Djayadiningrat dan Stip & Pensil (2017) kepada Ardy Octaviand. Awal tahun 2019 ini satu lagi naskah komedinya yang diangkat ke layar lebar dan dipercayakan kepada Ody C. Harahap yang memang dikenal piawai membesut genre komedi, seperti Kawin Kontrak, Punk in Love, Kapan Kawin?, Me vs Mami, dan Sweet 20. Adalah Orang Kaya Baru (OKB) yang dari judulnya saja sudah bisa ditebak kaum mana yang coba disentil lewat komedi satir khas Joko. Dengan menggandeng nama-nama populer seperti Raline Shah, Cut Mini, Lukman Sardi, Derby Romero, Fatih Unru, serta sederet nama-nama populer lain di lini pendukung, ditambah trailer yang cukup ‘menggigit’, jelas OKB menawarkan suatu kesegaran tersendiri di awal tahun.
Keluarga Tika sejak dulu hidup pas-pasan. Sang Ayah bekerja sebagai montir di bengkel sementara Sang Ibu membantu dengan berjualan kue di pasar. Sementara ia sendiri sedang kuliah arsitek, sang adik, Duta, terobsesi menjadi sutradara teater, dan si bungsu, Dodi, masih duduk di bangku sekolah. Impian-impian mereka selalu terbentur oleh urusan dana. Termasuk Dodi yang bahkan harus terbiasa diejek teman-temannya lantaran memakai sepatu yang sudah ‘mangap’. Sang Ayah hanya bisa tersenyum sambil mengatakan bahwa ‘uang kalau sedikit cukup, kalau banyak kurang’ dan ‘yang terpenting adalah keluarga dan sahabat’ tiap kali anak-anaknya mengeluh soal kondisi mereka. Keadaan berbalik 180 derajat ketika Ayah tiba-tiba meninggal dunia dan ternyata meninggalkan warisan bermilyar-milyar yang bisa mereka gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Kalau habis, tinggal cairkan lagi. Jumlah yang bisa dicairkan berlipat-lipat pula. Sebagaimana orang kaya baru lainnya, mereka berempat mulai menghambur-hamburkan harta mereka sebagai pelampiasan selama ini. Namun tak ada yang abadi di dunia, apalagi harta warisan dari orang yang sudah meninggal, bukan?
Meski siapapun bisa membaca ‘pesan moral’ apa yang hendak disampaikan lewat film, OKB sebenarnya menawarkan ide yang lebih dari sekedar menarik untuk membungkusnya. Penonton masih bisa terus diajak menebak-nebak ada rencana besar apa yang telah dipersiapkan Ayah untuk keluarganya. I mean, nothing comes out of nowhere without consequences, does it? Selagi diajak untuk terus menebak-nebak arah film, penonton disuguhi berbagai tingkah menggelikan Ibu, Tika, Duta, dan Dodi sebagai orang kaya baru. Banyak yang sifatnya repetitif dan the best parts-nya sudah ditampilkan semua di trailer, tapi setidaknya tidak sampai berlarut-larut dan masih terkontrol sehingga tak sampai pada titik ‘mengganggu’. Terutama sekali lewat performa Cut Mini yang paling menonjol sebagai lini terdepan tujuan komedinya. Memang bukan sekali ini saja kita melihat tingkah kocak Cut Mini yang setara. Penampilannya di Koala Kumal dan terutama, Me vs Mami sudah menunjukkan tipikal komedi yang setara tapi tak sama. Namun Cut Mini tetaplah pilihan terbaik untuk peran tersebut. Terbukti ia tetap menjadi pusat perhatian sepanjang durasi film.
Sayang, OKB seolah bingung bagaimana hendak menyudahi alur yang sudah tersusun baik dan konklusi yang (seharusnya) juga sangat baik. Bagi sebagian penonton ending-nya bisa jadi ambigu (membingungkan), sementara yang bisa menangkap ending-nya dengan jelas mungkin juga akan kesulitan merasakan emosi yang (seharusnya) ada. Ya, semua penonton memang bisa menangkap ‘pesan moral’-nya dengan mudah bahkan sejak sebelum Ayah meninggal dunia, tapi apakah benar-benar bisa merasakan dan merasuk? Sayangnya, bagi saya pribadi, tidak.
Saya lantas mencoba menganalisis apa yang menjadi penyebabnya selain ending yang terkesan terlalu ‘main-main’ dan kelewat hanyut dalam kemasan ‘komedi’ sementara di genre dan tema seperti ini jelas perlu juga keseimbangan untuk menghadirkan momentum hangat sebagai klimaksnya. Saya menemukan editing yang sejak adegan pertama saja sudah terasa jauh dari mulus. Setup-setupnya bak fragmen yang berdiri sendiri-sendiri, sekedar untuk memberikan gambaran betapa ‘mengenaskan’-nya nasib keluarga Tika. Meski memang sengaja dikemas sebagai komedi, tampilan pengenalan karakter yang bak berdiri sendiri-sendiri ini membuatnya terkesan kelewat dibuat-buat dan satirnya menjadi terasa preachy. Editing lagi-lagi terasa sering jumping bahkan di pergantian shot atau angle. Editing yang terlalu berusaha membuat film menjadi dinamis pula lah yang membuat momentum-momentum dramatis pentingnya menjadi lewat begitu saja. Jika mau dirasa-rasakan secara keseluruhan, tiga perempat pertama film dibombardir komedi dengan pace dinamis, sementara seperempat film yang seharusnya menjadi momen titik balik penting yang kuat di sisi dramanya, dikemas dalam pace yang masih setara bagian awal. Alhasil tak salah jika ada yang berpendapat seperempat bagian terakhir (justru momen-momen terpenting) OKB terasa terlalu terburu-buru.
Saya tak mau serta merta menyalahkan Aline Jusria yang sebenarnya punya track record baik, baik untuk komedi maupun drama. Mungkin cut versi Aline sudah mampu membuat flow emosi yang enak diikuti sepanjang film, tapi kemudian terasa kepanjangan sehingga harus dipangkas di sana-sini. Well, kalau melihat porsi antara komedi dan drama sepanjang film, ini adalah probabilitas yang paling masuk akal. In this case, adalah tanggung jawab sutradara untuk menjaga pace di tiap adegan ketika pengambilan gambar.
Editing juga bisa menjadi faktor yang membuat porsi karakter-karakter yang ada terasa kurang untuk benar-benar menarik simpati penonton. Baik dari karakter Tika, Ibu, Duta, dan Dodi, penonton hanya disuguhi adegan sebab-akibat secara general saja, tanpa proses perkembangan secara personal yang lebih spesifik. Atau jika memang sejak dari naskah sudah demikian, naskah OKB bisa dikatakan yang paling berbeda dari naskah-naskah Joko sebelumnya. Jika biasanya naskah Joko lebih kuat ke penokohan, OKB justru lebih fokus pada runtutan kejadian saja.
Don’t get me wrong. Bukan berarti penampilan para aktornya gagal mengisi peran masing-masing. Selain Cut Mini yang jelas menjadi pusat perhatian utama, Raline Shah masih menunjukkan range emosi yang jelas di atas rata-rata penampilannya sebelum ini. Jika tampilan luarnya bagi beberapa penonton kurang meyakinkan sebagai orang miskin, setidaknya ia masih berusaha menampilkan ekspresi wajah yang sesuai dengan kebutuhan perannya. Begitu juga transisi dari miskin ke kaya lewat gesture tanpa terasa berlebihan. Bagi saya pribadi, Raline tampil cukup meyakinkan dengan perannya mengingat kondisi perekonomian keluarganya digambarkan tidak semiskin itu juga. Toh saya juga mengenal beberapa orang dengan tampilan fisik setara dirinya meski secara ekonomi juga tak jauh berbeda dari yang digambarkan di film. Jadi, ini jelas soal lingkungan sekitar dan circle pergaulan masing-masing penonton saja. Derby Romero tak terlalu tampil istimewa selain sesuai dengan karakter yang mungkin memang tak jauh berbeda dari biasanya. Sementara Fatih Unru membawakan kompleksitas karakter yang lebih daripada di Seputih Cinta Melati maupun Petualangan Menangkap Petir dengan sangat baik. Lukman Sardi lebih menonjol sisi komikalnya dan memang sudah cukup sering membawakan peran serupa dengan baik. Terakhir, sayang sekali Refal Hady tak diberi porsi lebih sehingga terasa seperti ‘tempelan’ yang kurang meyakinkan untuk dipasangkan dengan Raline.
Meski masih ada beberapa dialog yang terdengar kurang jelas, bahkan agak ‘mengambang’ (terutama di awal-awal film), tak ada kendala berarti di lini teknis. Padri Nadeak masih mampu memperkuat momen-momen komikal secara dinamis maupun dramatisnya. Ilustrasi musik oleh Joseph S Djafar, didukung Rooftop Sound, dan barisan soundtrack berkelas, termasuk dari Saykoji, mendukung nuansa komikal maupun berkelas. Pilihan artistik dari Vida Sylvia dan kostum dari Dara Asvia lebih dari cukup untuk meyakinkan tiap kebutuhan gaya hidup yang ingin ditampilkan. Pada akhirnya, OKB memang masih bisa jadi sajian yang menghibur dengan ‘pesan moral’ baik dan kualitas komedi di atas rata-rata, meski seharusnya bisa jadi sajian yang jauh lebih solid di berbagai kebutuhannya, baik komedi maupun drama, dan dengan momen-momen kekeluargaan yang jauh lebih ‘terasa’ sekaligus memorable (lihat saja bagaimana momen-momen penting serupa ditampilkan di Keluarga Cemara, misalnya). Well at least, bagi Anda yang sudah cukup merasa puas dengan sekedar adanya lusinan komedi satir yang ‘terkesan cerdas’, OKB masih menjadi film yang pas untuk Anda.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.