4.5/5
Asia
Based on Book
Based on TV show
Blockbuster
Box Office
Comedy
Drama
Family
Father-and-Daughter
Indonesia
Mother-and-Daughter
Parenting
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Keluarga Cemara

Keluarga Cemara (KC) memang layak dinobatkan sebagai salah satu acara TV paling populer dan ikonik di Indonesia era ’90-an. Coba tanya siapa saja yang pernah hidup di era ’90-an, khususnya tahun 1996 hingga 2005. Niscaya pasti setidaknya pernah mendengar nama-nama karakter KC seperti Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Sinetron yang diangkat dari seri novel karya Arswendo Atmowiloto (diterbitkan sejak 1981 dan sudah ada enam buku) ini begitu legendaris sehingga sangat sayang jika belum pernah diangkat ke layar lebar. Adalah Visinema yang pernah menelurkan karya-karya berkualitas seperti Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Filosofi Kopi, Wonderful Life, Surat dari Praha, Bukaan 8, dan Love for Sale yang kemudian tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar. Pasangan Angga Dwimas Sasongko dan Anggia Kharisma yang menggawangi Visinema Pictures mempercayakan naskahnya disusun oleh Yandy Laurens dan Gina S. Noer (Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Habibie & Ainun, Posesif, dan Kulari ke Pantai), sementara bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Yandy Laurens sebagai debut film panjang/layar lebar pertamanya. Nama Yandy sendiri sebenarnya sudah cukup populer sebagai sutradara film pendek dengan reputasi sangat baik, seperti Wan An yang memperoleh penghargaan di mana-mana, termasuk XXI Short FIlm pertama. Dengan filmografi yang selalu hangat lewat tema keluarganya, ekspektasi saya langsung melambung tinggi ketika mendengar kabar ia yang dipercaya menanganinya. Pilihan cast pun tak main-main. Memasangkan Nirina Zubir dan Ringgo Agus Rahman (setelah Kamulah Satu-Satunya dan Get Married), ditambah Adhisty Zara JKT48 (setelah debut sebagai adik Dilan, Disa, di Dilan 1990) dan putri bungsu pasangan Dwi Sasono-Widi Mulia yang sempat muncul di 3 Dara 2, Widuri Sasono. KC versi layar lebar pun siap mencoba peruntungan di awal tahun 2019, memanfaatkan sisa liburan sekolah pergantian semester/akhir tahun.
Kondisi perekonomian Abah runtuh seketika setelah bisnis kontraktor bangunan yang dikelolanya bersama sang kakak ipar ditipu dan kesulitan membayar hutang dengan nilai yang sangat besar kepada debt collector. Rumah tempatnya tinggal bersama sang istri, Emak, beserta kedua putrinya, Euis dan Ara, disita. Abah dan Emak memutuskan untuk pindah ke sebuah desa di Sukabumi dimana masih ada rumah warisan dari sang ayah. Kehidupan mereka yang sebelumnya tergolong mewah pun terpaksa harus menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang baru. Terutama Euis yang menginjak remaja dan Ara yang masih terlalu kecil untuk memahami titik balik keluarganya. Berbekal pengalamannya, Abah berusaha mencari pekerjaan di proyek bangunan. Namun rupanya masih ada cobaan yang harus membuat mereka sekali lagi memutar otak untuk bertahan dan membangun kehidupan lagi.
Satu hal yang paling dikhawatirkan dari film sejenis KC adalah jatuh ke dalam eksploitasi kemiskinan dan suffering-porn yang berlebihan dan berlarut-larut hanya demi sekedar menguras air mata penonton. Berpuluh-puluh film dengan tema sejenis akhirnya terjerumus dalam pemahaman tersebut. Namun saya percaya Gina S. Noer dan Yandy Laurens punya misi dan kualitas yang jauh lebih baik dari itu. Benar saja, dari hasil akhirnya saya bisa memahami betapa Gina dan Yandy telah menemukan silver lining terpenting dari materi aslinya. Bukan sekedar eksploitasi kemiskinan, tapi bagaimana sebagai suatu keluarga belajar saling memahami dan sama-sama bertahan serta berjuang.
Jika sekedar ingin mengeksploitasi kemiskinan, bisa saja sekedar asal memasukkan bencana demi bencana menimpa keluarga Abah, karakter Euis dibuat egois dan ‘durhaka’ karena malu keluarganya bangkrut. Tidak, sudah bukan jamannya lagi sekedar menyelipkan pesan moral dengan cara-cara dangkal seperti itu. Gina dan Yandy tahu betul bagaimana mengolah materi aslinya menjadi jauh lebih mendalam, dengan pemikiran-pemikiran yang lebih modern, tanpa melupakan sisi manusiawinya. Lihat saja karakter Euis yang masih terlihat malu harus berjualan opak di sekolah. Bahkan beberapa kali ia terlihat berkonfrontasi dengan Abah. Namun naskah tak melulu membuatnya karakter ‘hitam’. Penonton tetap dibuat memahami kondisi psikologis Euis. Lantas pengembangan karakternya mengarah ke resolusi yang mendamaikan dengan kondisi maupun karakter-karakter lain. Bahkan karakter Abah yang sekilas serba putih karena semua yang dilakukan atas nama ‘demi keluarga’, juga digambarkan punya kelemahan, terutama dari segi pola pikir yang ternyata hanya satu sisi saja, bahkan kadang otoriter tanpa alasan yang cukup rasional. Detail-detail karakter yang dibangun dengan dimensi lebih mendalam inilah yang menurut saya merupakan kekuatan utama KC.
Lihat juga bagaimana bisa saja teman-teman Euis digambarkan selalu mem-bully kondisi perekonomian keluarga Euis sehingga membuatnya tak nyaman bergaul dan balik menyalahkan keluarganya. KC tak terjebak dalam klise tersebut. Justru masih ada teman-teman baru yang justru mendukung dan membantu Euis berjualan opak. Selain menghindari klise sekaligus membuat film menjadi terasa lebih hangat dan menyenangkan (bahkan ada nomor musikal-nya!), ini juga bisa menjadi sub-plot tersendiri tentang Euis yang menemukan makna persahabatan yang sebenarnya, dibandingkan geng dance-nya ketika di kota.
Detail naskah yang dengan sangat baik, rapi, saling koheren, dan sangat solid, masih ditambah skill directing Yandy yang tak perlu dipertanyakan lagi, terutama dari segi story telling, sense momentum, serta emosional yang powerful tanpa harus terasa over-dramatic. Ada cukup banyak adegan sederhana yang menjadi begitu emosional, powerful, dan memorable di tangan Yandy. Lihat saja adegan ketika Abah, Emak, Euis, dan Ara bersitegang di klimaks dan ketika Euis berekonsiliasi dengan Abah paska klimaks.
Pemilihan para cast nyatanya serba tepat. Di lini terdepan, baik Ringgo maupun Nirina menghadirkan performa terbaiknya. Lihat saja Nirina yang seringkali tak perlu berdialog tapi sudah cukup untuk menyampaikan maksud dan tujuannya lewat ekspresi wajah. Begitu juga Ringgo yang sekali ini terasa begitu mendalam membawakan peran Abah. Chemistry yang dibangunnya, baik bersama Nirina, maupun kedua pemeran karakter anaknya pun begitu meyakinkan. Adhisty Zara secara mengejutkan tampil memukau dengan dimensi emosi yang terasa mendalam. Jauh lebih baik dari karakter adik Dilan yang ‘cengengesan doang’ dan agak hiperaktif di Dilan 1990. Sementara Widuri Puteri tampil menggemaskan di balik kepolosan sekaligus mampu mengundang keharuan di beberapa momen meski hanya gara-gara celetukannya. Di lini peran pendukung lainnya, Asri Welas seperti biasa menghadirkan karakter komikal Ceu’ Salma yang gokil (bahkan ketika hanya melihat pose fotonya di papan reklame propertinya), Maudy Koesnaedi yang elegan, Abdurrahman Arif yang juga gokil, serta Kafin Sulthan yang cukup mencuri perhatian terutama di nomor-nomor musikal.
Divisi teknis mungkin sekilas tak tampak begitu menonjol selain sekedar tampak aman. Namun coba diperhatikan lagi maka hampir semua elemen teknis tertata dengan sangat baik. Mulai kamera Robie Taswin yang membuat staging apik Yandy terekam dengan baik lewat pemilihan angle yang efektif dan pergerakan kamera yang tepat guna. Editing Hendra Adhi Susanto menyusun adegan dengan runtut, koherensi antar adegan yang tertata baik, serta pace keseluruhan film yang terjaga pas. Artistik Eros Eflin menawarkan detail yang realistis tanpa meninggalkan kesan estetis, bahkan lewat item-item sederhana. Terakhir, musik dari Ifa Fachir semakin mendukung tiap adegan menjadi lebih ‘mengena’ tanpa harus terkesan kelewat dramatis. Penempatan soundtrack utama, Harta Berharga, di momen terpentingnya pun tidak terjebak untuk menjadi overused. Tak boleh melupakan lagu Karena Kita Bersama yang tak kalah berkesan ketika diletakkan pada adegannya. Suara lembut BCL jelas pilihan paling tepat untuk semakin ‘menenggelamkan’ penonton dalam kehangatan dan suasana feel-good yang diusung KC.
Dengan keunggulan mencolok di hampir semua elemennya, tak berlebihan jika saya menobatkan KC tak hanya sebagai film Indonesia terbaik di awal 2019 ini tapi juga untuk rentang waktu beberapa tahun terakhir. Sebuah momentum mengajak seluruh anggota keluarga menonton bersama di bioskop yang sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Percayalah, KC adalah tipe feel-good movie yang akan Anda rindukan untuk ditonton ulang sendirian (apalagi ketika sedang jauh dari keluarga dan merindu) maupun bersama seluruh anggota keluarga. Membuat penonton menitikkan air mata? Kemungkinan besar, iya, tapi bukan karena menjual kesedihan, melainkan tangis harus penuh kebanggaan dan kebahagiaan (kecuali Anda menangis sedih karena tidak pernah merasakan punya keluarga yang sehangat dan sebaik mereka, itu lain cerita).
Lihat data film ini di IMDb.