4/5
Action
Adventure
Based on Themed Park
Blockbuster
Box Office
Family
Fantasy
Futuristic
Hollywood
Humanity
Investigation
SciFi
Summer Movie
The Jose Flash Review
Time Travel
Twisted History
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Tomorrowland
Masih ingat bagaimana gambaran masa depan dari film-film
bertemakan futuristik ketika kita masih kecil dulu? Yang saya ingat adalah
serba indah, canggih, imajinatif, dan semuanya tampak luar biasa menyenangkan.
Sebuah gambaran yang membuat kita optimis kalau masa depan bakal jauh lebih
baik daripada sekarang. Tapi
beberapa tahun belakangan gambaran masa depan bumi dibuat suram oleh
berbagai media, terutama film. Ini tak lepas dari fakta bahwa bumi kita
sebenarnya semakin lama semakin sekarat. Manusia perlu wake up call untuk
mencegahnya. Kemudian muncullah kisah-kisah young adult bertemakan dystopian,
seperti The Hunger Games, Divergent, The Maze Runner. Kesemuanya menyajikan petualangan yang seru sih,
tapi tidak lagi semengasyikkan dan se-fun dulu. Petualangan tak lagi menjadi
milik semua umur, tapi terbatas pada penonton remaja. Sometimes I missed that
moment.
Menjawab kerinduan itu, Disney mencoba untuk mengembalikan
visi masa depan yang serba fun, canggih, dan menyenangkan itu. Bersama Brad
Bird, sutradara sekaligus penulis naskah yang pernah melahirkan film-film
fantasi visioner untuk Disney, macam The
Incredibles dan Ratatouille.
Penulisan naskahnya pun dibantu Damon Lindelof yang juga menulis naskah-naskah
sci-fi bervisi tinggi, macam Cowboys
& Aliens, Prometheus, Star Trek Into Darkness, dan World War Z. So, dari sini sebenarnya
sudah jelas kalau Disney tidak main-main mengangkat salah satu taman hiburan
paling terkenalnya ke layar lebar. Yap, sama seperti The Pirates of the Caribbean, Tomorrowland
juga diangkat dari wahana di Disneyland yang sudah ada sejak tahun 50-an dan
terus dikembangkan sampai sekarang.
Sejak menit pertama, Tomorrowland
sudah membawa penonton ke dunia fantasi yang sangat menyenangkan, meski dengan
era 1964. Nuansa retro-futuristic yang menggambarkan dunia masa depan sebagai
dunia yang indah dan serba sophisticated begitu memanjakan mata dan membuat
penonton bak anak-anak yang sedang bermimpi indah di dunia fantasi. Cerita pun
bergulir ke masa kini dengan benang merah sesosok gadis kecil bernama Athena
yang ternyata sebuah robot… ehm, bukan robot, tetapi audio animatronic yang
bertugas mencari bakat-bakat dengan visi untuk masa depan yang lebih indah.
Lantas cerita terus bergulir menjadi semakin seru, in term of fun. Apalagi
adegan di toko Blast from the Past yang
jadi semacam surga penggemar sci-fi sebagai tribute, mulai Star Wars hingga Iron Giant
yang juga merupakan karya Brad Bird. Adegan-adegan action-nya mengingatkan saya
akan action ala Men in Black atau My Favorite Martians. Sadis, melibatkan
pemenggalan anggota tubuh, namun masih bisa ditolerir untuk ditonton seluruh
keluarga karena terjadi pada robot, ehm… audio animatronic. Sampai di sini saya
langsung berpendapat bahwa sudah lama sekali saya tidak menyaksikan sebuah petualangan
futuristik yang se-fun ini. It’s so Brad Bird! Apalagi kemudian ia memasukkan
unsur-unsur sejarah (yang dipelintir sedemikian rupa, tentu saja) seperti yang
pernah dilakukan Disney untuk National
Treasure.
Paruh kedua film tampaknya pengaruh Lindelof yang kelam
lebih dominan, seiring dengan terkuaknya fakta yang sebenarnya di balik
petualangan karakter utama kita, Frank dan Casey. Saya pun masih terhibur
dengan sindiran terhadap manusia yang cenderung menjadikan kiamat sebagai
hiburan, bukan lagi momok atau reminder, dan juga trend cerita dystopian yang
membuat visi manusia tentang masa depan tak lagi indah, melainkan suram.
Sayangnya, baik Bird maupun Lindelof tampak kesusahan menjelaskan apa yang
mereka ingin sampaikan melalui Tomorrowland
secara visual, sehingga harus disampaikan secara verbal melalui dialog yang
diucapkan oleh Nix. Itupun saya harus fokus mendengarkan penjelasannya, yang
artinya besar kemungkinan susah dipahami oleh penonton awam yang hanya
mendengarkannya sepintas lalu. Inilah yang menjadi satu-satunya permasalahan Tomorrowland yang membuat nuansa serba
ceria dan seru yang dibangun di paruh pertama film. Apalagi ternyata klimaksnya
“hanya seperti itu”. Untung saja ia menyajikan sesuatu yang manis dan yang
paling penting, membuat saya tersenyum di akhir film.
Daya tarik utama di Tomorrowland
tentu saja sepak terjang aktris muda, Brit Robertson, yang porsinya paling
banyak dan mampu ia mainkan dengan sangat baik. George Clooney pun
“mendampingi” Brit dengan porsi yang pas di balik kharisma-nya yang harus
diakui masih cukup tinggi meski tampak effortless memainkan perannya di sini.
Sementara di jajaran supporting cast yang paling mencuri perhatian tentu saja
si audio animatronic cilik, Athena yang diperankan oleh Raffey Cassidy, dan Hugh Laurie sebagai Nix.
Sebagai sebuah sci-fi dan futuristik, Tomorrowland jelas membutuhkan banyak sekali visual effect yang
memanjakan mata. Kenyataannya saya sangat puas dengan visualisasi dimensi lain
yang disebut sebagai Tomorrowland di sini. Cantik, sophisticated, dan visioner.
Tak kalah pentingnya, tata suara yang memanfaatkan teknologi Dolby Atmos dengan
sangat maksimal. Arah suara terdengar begitu jelas bedanya dan tetap
menghasilkan keseimbangan suara yang renyah dan terdengar dahsyat.
So yes, sudah
cukup lama saya tidak merasakan petualangan sci-fi futuristik se-fun Tomorrowland. Meski tak sepenuhnya
berjalan mulus dan selalu menyenangkan, yang paling penting saya berhasil
dibuat percaya akan harapan masa depan dunia yang lebih baik dan indah. Mission
accomplished, and I’d say, overall I loved it!
Lihat data film ini di IMDb.