3/5
Based on an Urban Legend
Horror
Indonesia
Mystery
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Dejavu: Ajian Puter Giling
Mau dicemooh dan dikecam bagaimanapun, nyatanya genre horor
selalu menarik perhatian penonton kita. Sayangnya pengetahuan penonton kita
yang kurang sebelum menonton sebuah film membuat fenomena “nonton asal horor”
dimanfaatkan produser untuk membuat film horor yang asal-asalan pula. Tak
peduli dengan plot cerita generik, asal ada banyak adegan jumpscare di
sana-sini, dengan score yang didaur ulang berkali-kali, dan sedikit bumbu
sensual, sudah cukup untuk menyedot penonton. Lama-kelamaan kebiasaan ini menjadi
bumerang bagi image film horor kita secara khusus, dan film nasional secara
umum. Sangat disayangkan, mengingat di Indonesia sebenarnya ada banyak sekali
urban legend yang bisa digali menjadi cerita yang menarik untuk diangkat. Salah
satu yang sering aji mumpung dengan selera mayoritas penonton kita adalah BIC
Pictures yang sudah melahirkan cukup banyak horor asal jadi. Tapi rupanya kali
ini BIC mencoba untuk merombak image. Apalagi menggandeng sutradara Hanny R
Saputra yang track record-nya termasuk bagus, baik ketika menangani drama
maupun horor, seperti Mirror dan The Real Pocong.
Dejavu: Ajian Puter
Giling (DAPG) sebenarnya punya source materi urban legend yang sangat
menarik. Konon Ajian Puter Giling adalah ajian yang bisa digunakan untuk
membuat pencuri tidak bisa keluar dari tempat ia mencuri suatu barang.
Menariknya, Baskoro Adi Wuryanto tidak mengangkat materi ini mentah-mentah. Ia
meraciknya dengan fenomena déjà vu yang lebih dikenal di seluruh dunia.
Hasilnya, secara keseluruhan bisa dikatakan cukup berhasil menghadirkan cerita
yang bikin penasaran, cukup rapi, dan dengan revealing twist yang relevan,
tidak asal twist. Di ending, ia masih menyisakan pertanyaan “how come” yang
discussable dan debatable sesuai imajinasi masing-masing penonton. Sayangnya
banyak pula dialog yang masih terdengar kaku, terdengar tidak begitu penting,
dan dibawakan para aktornya secara mentah-mentah pula.
Secara struktural, DAPG sengaja menggeber adegan-adegan
thrilling dan jumpscare di setengah jam awal untuk menarik perhatian penonton.
Hampir jadi melelahkan namun untungnya segera mulai dibuka teori déjà vu dan
ajian puter giling untuk mulai mengupas cerita di balik apa yang terjadi di
setengah jam awal. Dari situ cerita pun berkembang dengan cukup lancar. Namun
patut disayangkan, setelah adegan revealing, penyelesaian dan konklusinya
berlangsung terlalu terburu-buru sehingga kesannya “begitu aja”.
Berkat tangan dingin Hanny R Saputra dan sinematografi Rizko
Angga Vivedru, DAPG bisa dikatakan berhasil dalam membangun atmosfer seram dan
claustrophobic lewat setnya. Mereka berhasil mengeksplor tiap sudut rumah untuk
membangun ketegangan, meski terbatas pada ruang yang sempit. Penataan artistik
yang ditangani oleh Hanny sendiri juga berhasil mendukung nuansa creepy lewat
gaya rumah dan properti yang vintage. Meski saya agak mengernyitkan dahi dengan
dekorasi campur aduk yang kurang terarah (baca: asal terkesan vintage). I mean,
buat apa ada poster iklan Jack Daniels dan minuman-minuman keras lainnya di
dalam rumah?
Sementara departemen tata suara dan scoring turut mendukung
suasana seram dan creepy, meski tak sampai pada titik istimewa. Fasilitas
surround juga sudah dimanfaatkan dengan baik, meski hanya sebatas pembeda letak
asal suara, belum sampai menciptakan kesatuan atmosfer lewat suara.
Kekuatan lainnya tentu saja terletak pada performance para
aktornya. Terutama sekali Ririn Ekawati yang begitu menghidupkan cerita berkat
keberhasilannya menjadi lead. Porsi antara ketakutan, licik, dan sensualnya
tampak begitu natural dan meyakinkan, tanpa harus adegan terbuka secara
blak-blakan. Ririn Dwi Aryanti pun terasa begitu misterius dan mengerikan meski
porsinya tak begitu banyak. Sementara Dimas Seto sayangnya masih terasa
canggung dan kebingungan mendefinisikan karakternya, tapi ada beberapa bagian
di mana karakternya tampil menarik.
DAPG memang masih punya banyak kelemahan, namun secara
keseluruhan cukup patut diapresiasi dalam upayanya menghadirkan naskah horor
yang sedikit lebih menarik, dan dengan dukungan horor atmospheric yang digarap
serius serta cukup berhasil. Semoga saja ini benar-benar menjadi titik balik
BIC Pictures menggarap horor-horor yang lebih berkualitas ke depannya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.