The Jose Flash Review
Dejavu: Ajian Puter Giling

Mau dicemooh dan dikecam bagaimanapun, nyatanya genre horor selalu menarik perhatian penonton kita. Sayangnya pengetahuan penonton kita yang kurang sebelum menonton sebuah film membuat fenomena “nonton asal horor” dimanfaatkan produser untuk membuat film horor yang asal-asalan pula. Tak peduli dengan plot cerita generik, asal ada banyak adegan jumpscare di sana-sini, dengan score yang didaur ulang berkali-kali, dan sedikit bumbu sensual, sudah cukup untuk menyedot penonton. Lama-kelamaan kebiasaan ini menjadi bumerang bagi image film horor kita secara khusus, dan film nasional secara umum. Sangat disayangkan, mengingat di Indonesia sebenarnya ada banyak sekali urban legend yang bisa digali menjadi cerita yang menarik untuk diangkat. Salah satu yang sering aji mumpung dengan selera mayoritas penonton kita adalah BIC Pictures yang sudah melahirkan cukup banyak horor asal jadi. Tapi rupanya kali ini BIC mencoba untuk merombak image. Apalagi menggandeng sutradara Hanny R Saputra yang track record-nya termasuk bagus, baik ketika menangani drama maupun horor, seperti Mirror dan The Real Pocong.

Dejavu: Ajian Puter Giling (DAPG) sebenarnya punya source materi urban legend yang sangat menarik. Konon Ajian Puter Giling adalah ajian yang bisa digunakan untuk membuat pencuri tidak bisa keluar dari tempat ia mencuri suatu barang. Menariknya, Baskoro Adi Wuryanto tidak mengangkat materi ini mentah-mentah. Ia meraciknya dengan fenomena déjà vu yang lebih dikenal di seluruh dunia. Hasilnya, secara keseluruhan bisa dikatakan cukup berhasil menghadirkan cerita yang bikin penasaran, cukup rapi, dan dengan revealing twist yang relevan, tidak asal twist. Di ending, ia masih menyisakan pertanyaan “how come” yang discussable dan debatable sesuai imajinasi masing-masing penonton. Sayangnya banyak pula dialog yang masih terdengar kaku, terdengar tidak begitu penting, dan dibawakan para aktornya secara mentah-mentah pula.

Secara struktural, DAPG sengaja menggeber adegan-adegan thrilling dan jumpscare di setengah jam awal untuk menarik perhatian penonton. Hampir jadi melelahkan namun untungnya segera mulai dibuka teori déjà vu dan ajian puter giling untuk mulai mengupas cerita di balik apa yang terjadi di setengah jam awal. Dari situ cerita pun berkembang dengan cukup lancar. Namun patut disayangkan, setelah adegan revealing, penyelesaian dan konklusinya berlangsung terlalu terburu-buru sehingga kesannya “begitu aja”.

Berkat tangan dingin Hanny R Saputra dan sinematografi Rizko Angga Vivedru, DAPG bisa dikatakan berhasil dalam membangun atmosfer seram dan claustrophobic lewat setnya. Mereka berhasil mengeksplor tiap sudut rumah untuk membangun ketegangan, meski terbatas pada ruang yang sempit. Penataan artistik yang ditangani oleh Hanny sendiri juga berhasil mendukung nuansa creepy lewat gaya rumah dan properti yang vintage. Meski saya agak mengernyitkan dahi dengan dekorasi campur aduk yang kurang terarah (baca: asal terkesan vintage). I mean, buat apa ada poster iklan Jack Daniels dan minuman-minuman keras lainnya di dalam rumah?

Sementara departemen tata suara dan scoring turut mendukung suasana seram dan creepy, meski tak sampai pada titik istimewa. Fasilitas surround juga sudah dimanfaatkan dengan baik, meski hanya sebatas pembeda letak asal suara, belum sampai menciptakan kesatuan atmosfer lewat suara.

Kekuatan lainnya tentu saja terletak pada performance para aktornya. Terutama sekali Ririn Ekawati yang begitu menghidupkan cerita berkat keberhasilannya menjadi lead. Porsi antara ketakutan, licik, dan sensualnya tampak begitu natural dan meyakinkan, tanpa harus adegan terbuka secara blak-blakan. Ririn Dwi Aryanti pun terasa begitu misterius dan mengerikan meski porsinya tak begitu banyak. Sementara Dimas Seto sayangnya masih terasa canggung dan kebingungan mendefinisikan karakternya, tapi ada beberapa bagian di mana karakternya tampil menarik.


DAPG memang masih punya banyak kelemahan, namun secara keseluruhan cukup patut diapresiasi dalam upayanya menghadirkan naskah horor yang sedikit lebih menarik, dan dengan dukungan horor atmospheric yang digarap serius serta cukup berhasil. Semoga saja ini benar-benar menjadi titik balik BIC Pictures menggarap horor-horor yang lebih berkualitas ke depannya.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.