4/5
Action
Based on Book
Drama
Drugs
Family
Father-and-Son
Indonesia
Mafia
Psychological
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Toba Dreams
Etnis dan budaya Batak termasuk jarang diangkat ke medium
film kita. Alasannya jelas, selama ini sentralisasi masih etnis dan budaya yang
ada di Pulau Jawa, sisanya mungkin hanya Bali karena alasan pariwisata yang
mendunia. Yang sering terjadi, etnis Batak hanya ditampilkan melalui salah satu
karakter untuk menandakan kebhinekaan bangsa kita, sekaligus objek pemancing
tawa. Padahal etnis Batak termasuk yang paling banyak tersebar di seluruh
penjuru Nusantara. Maka sebuah kemajuan ketika tahun ini mulai banyak film yang
“Batak banget”. Belum lama lalu kita disuguhi remake Bulan di Atas Kuburan yang kualitasnya tergolong bagus. Maka kali
ini kita sekali lagi diajak menikmati budaya Batak dan juga keindahan alam
pusatnya, seperti ikonnya, Danau Toba, lewat kemasan yang lebih ringan dan pop,
Toba Dreams.
Diangkat dari novel karya TB Silalahi (mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara di era Kabinet Pembangunan VI, yang juga menjadi
produser eksekutif dan co-sutradara versi filmnya), Toba Dreams (TD) basically adalah cerita father-and-son dengan
konflik yang sudah klasik dalam masyarakat ketimuran kita, generation gap.
Konflik antara karakter utama kita, Ronggur (Vino G. Bastian) dan ayahnya, Tebe
(Mathias Muchus) menjadi porsi utama sekaligus dasar dari konflik-konflik lain
yang diangkat di sini. Iya, betul sekali, sebenarnya TD punya konflik yang
cukup banyak yang berpotensi menjadi tidak fokus dan berantakan. Mulai kawin
lari, akibat korupsi, penyalahgunaan narkoba, kejamnya dunia mafia bawah tanah,
hingga perbedaan agama. Genrenya pun menjadi campur aduk. Tak hanya drama
keluarga, tapi juga romance, komedi, dan tentu saja action. Namun hebatnya,
Benni Setiawan selaku penulis naskah sekaligus sutradara, kali ini berhasil
merangkai kesemuanya menjadi satu kesatuan cerita yang saling berkaitan, tidak
tumpang tindih, porsi yang serba
pas, dan dengan flow yang mulus pula. Dengan durasi yang hampir dua setengah
jam, TD berhasil mengalir lancar dan sangat enjoyable. Tidak ada sedikit pun
terasa membosankan. Kesemuanya mungkin terdengar klise dan pretensius, namun
ternyata ketika di layar kesemuanya tampak natural, bahkan berhasil begitu
menyentuh di banyak bagian.
Selain penceritaan Benni dan TB yang mulus, kenikmatan
mengikuti TD terletak pada kekuatan para aktornya. Terutama sekali Vino G.
Bastian yang meski masih memerankan karakter tipikalnya, namun sekali ini
berhasil menyentuh titik emosi yang belum pernah dicapainya sendiri sebelumnya.
Begitu juga ketika menjalin chemistry dengan istrinya sendiri, Marsha Timothy
yang juga semakin terasah emosinya tanpa harus over-dramatic. Chemistry father-and-son
antara Vino dan Mathias Muchus juga patut mendapatkan kredit lebih. Meski emosi
satu sama lain sudah tertuang dalam dialog, namun ekspresi wajah mereka
memberikan kedalaman yang lebih.
Pemeran-pemeran pendukungnya pun juga tak tampil
sembarangan. Mulai Jajang C. Noer, Haikal Kamil, Boris Bokir, Tri Yudiman, dan
tentu saja Ramon Y. Tungka, semuanya mengisi peran masing-masing dengan
maksimal serta mampu menjadi screen stealer lewat penampilannya.
Departemen-departemen teknis-nya pun tak main-main. Terutama
sekali tata kamera Roy Lolang yang memang jago mengeksplorasi alam landscape,
sekaligus framing adegan yang tak hanya efektif dalam bercerita, tapi juga
kadang memuat simbolik-simbolik metafora, dan membuat tata artistiknya terkesan
megah. Lihat saja adegan pernikahan Ronggur-Andini yang juga diiringi suara
merdu Judika. Meski masih ada beberapa shot yang diambil dengan drone tampak
patah-patah dan pecah, namun cukup termaafkan secara keseluruhan.
Musik scoring dari Viky Sianipar pun turut menghantarkan
emosi dari adegan-adegan TD secara lebih maksimal, sekaligus memfusi
musik-musik Batak dengan pop dengan begitu indah.
Dengan berbagai keunggulannya, TD jelas menjadi salah satu
drama keluarga yang berhasil menyentil konflik sosio-kultural klasik di bangsa
kita dengan hati yang besar, sehingga tak terkesan membela salah satu pihak.
Pun juga berhasil menyentuh dengan maksimal di banyak bagian. Bisa jadi TD
malah drama keluarga yang paling megah yang pernah dibuat Indonesia, termasuk dari
segi cast maupun teknisnya. Sayang jika dilewatkan di layar bioskop.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id