2.5/5
Blockbuster
Box Office
Horror
Indonesia
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Tarot
Sejak meledaknya Jelangkung tahun 2001, nama Jose Poernomo
tiba-tiba menjadi masterful horor Indonesia, apalagi di tengah maraknya film
horor murahan di tanah air. Namanya pun menarik banyak PH besar untuk bekerja
sama menggarap horor yang banyak mencetak box office. Salah satu yang paling
sering adalah Soraya Intercine Pictures yang sampai membuka khusus divisi
Hitmaker Studios untuk Jose berkarya. Dimulai dengan Rumah Kentang, 308, Rumah Gurita, Mal Klender, dan yang paling baru, Tarot. Kerjasama berkesinambungan pun terjadi dengan Shandy Aulia
yang seolah sudah menjadi Soraya Intercine’s darling karena selalu muncul di
setiap proyek Hitmaker Studios, dan juga beberapa film Soraya Intercine sejak Eiffel I’m in Love. Maka ‘the dreamteam’
yang selalu sukses mencetak box office ini terus menambah daftar portfolionya.
Padahal in my opinion, horor-horor Jose Poernomo lewat Hitmaker Studios tidak
pernah beranjak dari formula-formula yang sama, hanya naskah dasarnya saja yang
diubah. Tak terkecuali Tarot.
Membaca sinopsisnya, otomatis
mengingatkan kita akan plot dari film horor Thailand buatan master of horor
mereka, Parkpoom Wongpoom dan Banjong Pisanthanakun, Alone. Bedanya, di Alone
si kembar lahir dempet, sedangkan di Tarot
hanya kembar biasa. Namun ternyata apa yang disajikan Tarot bukan jiplakan mentah-mentah dari Alone. Meski harus diakui kalau ada banyak unsur yang terinspirasi
dari film Thailand itu. Lihat saja ekspresi wajah Shandy sebagai Sofia yang
mengingatkan saya akan karakter Ploy. Begitu juga dengan munculnya karakter
seorang pria yang menjadi konflik utama. Bedanya, tentu saja twist di menjelang
akhir film. Namun tunggu dulu, berbeda bukan berarti lebih baik, karena Tarot justru menghancurkan nuansa dan
penceritaan yang rapi sejak awal, hanya demi sebuah twist ending yang berbeda.
Twist ending memang sah-sah saja
dalam mengecoh dan akhirnya membuat penonton tercengang di depan layar. Namun
tentu saja perlu keterampilan khusus dalam menyampaikannya, terutama dalam hal
letak dan durasinya. Sayangnya, twist Tarot
berlangsung kelewat panjang (menurut hitungan saya, sekitar 30 menit) hingga
ending. Sehingga bukannya mendukung cerita, justru mengganggu pace, nuansa
ngeri yang dibangun sejak awal, dan I have to say, melelahkan. Alih-alih
mendukung cerita dan atmosfer seram, setengah jam terakhir justru lebih banyak
membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak. Terutama setiap kali Shandy Aulia
mengucapkan line memorable-nya, “Sayaaaaaang….!”. Singkatnya, bangunan cerita sejak
awal yang meski cukup rapi, tapi cukup melelahkan dalam taste saya berkat
penjelasan yang terlalu bertele-tele dan flashback yang tidak perlu (tapi saya
masih bisa berkompromi), semakin dibuat lelah dengan extended ending ini. Belum lagi membahas logika cerita berkaitan dengan kartu Tarot (dan hello... bagaimana ceritanya seorang Tarot reader bisa tahu bagaimana cara mengusir roh jahat. Oh okay, mungkin dia rajin browsing di internet tentang pengusiran roh jahat), yang sebenarnya sudah bisa saya kompromi asal secara 'horor' oke.
Rasa ‘melelahkan’ masih ditambah
dengan akting para pemerannya. Oke, chemistry Shandy Aulia dan Boy William
mungkin sudah sedikit lebih baik daripada di Rumah Gurita. Namun Boy William dan Shandy Aulia masih stuck dengan
tipikal karakter yang mereka perankan di film-film Hitmaker Studios sebelumnya.
Kalau boleh sedikit memuji, akting Shandy Aulia sebagai Sofia memang lebih
baik dari tipikal biasanya. But that’s it. Shandy Aulia sebagai Julie masih
se-mengesalkan seperti biasanya. Sementara Sara Wijayanto sebagai Madam Herlina
melafalkan dialog-dialognya seperti membaca dan hafalan.
Namun jangan remehkan aspek
teknis dari film-film Jose dan Hitmaker yang selalu ditata dengan cukup
mumpuni. Seperti Tarot kali ini
menyuguhkan tata kamera yang tergolong cantik, termasuk desain produksi yang
tak kalah indahnya. Visual effect pun disajikan dengan cukup rapi. Sayang tata
suara masih terdengar lemah. Terutama dari segi sound effect yang tidak
sedahsyat adegannya. Perhatikan saja ketika adegan sebuah meja yang menyerang
hingga hancur berkeping-keping, dan saat mobil menghantam dinding jembatan.
Terlepas dari kekurangan dan
kelebihannya, in my opinion, Tarot
dengan mudah akan menarik perhatian penonton, terutama remaja yang menjadi target
utamanya. Semua yang disajikan Tarot
di layar memang cocok untuk ditonton seru-seruan beramai-ramai bersama
teman-teman. Jadi jangan heran jika saat menonton film ini di bioskop, studio
tidak akan sepi dari hiruk pikuk penonton yang mengekspresikan diri. Tarot dibuat sebagai tipikal film horor ‘berjamaah’,
bukan untuk dinikmati sendiri. Apalagi ia sudah menyiapkan gimmick lainnya,
lagu Stranger in My Bed yang
dinyanyikan Boy William, mengiringi salah satu adegan sekaligus liriknya menceritakan
isi adegan, bak film Hindustan. (Lagi-lagi) jangan heran kalau lagu ini menjadi
booming di kalangan remaja, dan jadi materi yang stuck in your head for months.
Once again, that’s what Tarot was
made for. Hitmaker knew it and will always use the same formula again and again
for more fortunes. As for me, setidaknya ada banyak hal yang bisa jadi bahan bully-an dan mocking berdasarkan apa yang ada dari film ini.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.