The Jose Flash Review
Tarot

Sejak meledaknya Jelangkung tahun 2001, nama Jose Poernomo tiba-tiba menjadi masterful horor Indonesia, apalagi di tengah maraknya film horor murahan di tanah air. Namanya pun menarik banyak PH besar untuk bekerja sama menggarap horor yang banyak mencetak box office. Salah satu yang paling sering adalah Soraya Intercine Pictures yang sampai membuka khusus divisi Hitmaker Studios untuk Jose berkarya. Dimulai dengan Rumah Kentang, 308, Rumah Gurita, Mal Klender, dan yang paling baru, Tarot. Kerjasama berkesinambungan pun terjadi dengan Shandy Aulia yang seolah sudah menjadi Soraya Intercine’s darling karena selalu muncul di setiap proyek Hitmaker Studios, dan juga beberapa film Soraya Intercine sejak Eiffel I’m in Love. Maka ‘the dreamteam’ yang selalu sukses mencetak box office ini terus menambah daftar portfolionya. Padahal in my opinion, horor-horor Jose Poernomo lewat Hitmaker Studios tidak pernah beranjak dari formula-formula yang sama, hanya naskah dasarnya saja yang diubah. Tak terkecuali Tarot.

Membaca sinopsisnya, otomatis mengingatkan kita akan plot dari film horor Thailand buatan master of horor mereka, Parkpoom Wongpoom dan Banjong Pisanthanakun, Alone. Bedanya, di Alone si kembar lahir dempet, sedangkan di Tarot hanya kembar biasa. Namun ternyata apa yang disajikan Tarot bukan jiplakan mentah-mentah dari Alone. Meski harus diakui kalau ada banyak unsur yang terinspirasi dari film Thailand itu. Lihat saja ekspresi wajah Shandy sebagai Sofia yang mengingatkan saya akan karakter Ploy. Begitu juga dengan munculnya karakter seorang pria yang menjadi konflik utama. Bedanya, tentu saja twist di menjelang akhir film. Namun tunggu dulu, berbeda bukan berarti lebih baik, karena Tarot justru menghancurkan nuansa dan penceritaan yang rapi sejak awal, hanya demi sebuah twist ending yang berbeda.

Twist ending memang sah-sah saja dalam mengecoh dan akhirnya membuat penonton tercengang di depan layar. Namun tentu saja perlu keterampilan khusus dalam menyampaikannya, terutama dalam hal letak dan durasinya. Sayangnya, twist Tarot berlangsung kelewat panjang (menurut hitungan saya, sekitar 30 menit) hingga ending. Sehingga bukannya mendukung cerita, justru mengganggu pace, nuansa ngeri yang dibangun sejak awal, dan I have to say, melelahkan. Alih-alih mendukung cerita dan atmosfer seram, setengah jam terakhir justru lebih banyak membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak. Terutama setiap kali Shandy Aulia mengucapkan line memorable-nya, “Sayaaaaaang….!”. Singkatnya, bangunan cerita sejak awal yang meski cukup rapi, tapi cukup melelahkan dalam taste saya berkat penjelasan yang terlalu bertele-tele dan flashback yang tidak perlu (tapi saya masih bisa berkompromi), semakin dibuat lelah dengan extended ending ini. Belum lagi membahas logika cerita berkaitan dengan kartu Tarot (dan hello... bagaimana ceritanya seorang Tarot reader bisa tahu bagaimana cara mengusir roh jahat. Oh okay, mungkin dia rajin browsing di internet tentang pengusiran roh jahat), yang sebenarnya sudah bisa saya kompromi asal secara 'horor' oke.

Rasa ‘melelahkan’ masih ditambah dengan akting para pemerannya. Oke, chemistry Shandy Aulia dan Boy William mungkin sudah sedikit lebih baik daripada di Rumah Gurita. Namun Boy William dan Shandy Aulia masih stuck dengan tipikal karakter yang mereka perankan di film-film Hitmaker Studios sebelumnya. Kalau boleh sedikit memuji, akting Shandy Aulia sebagai Sofia memang lebih baik dari tipikal biasanya. But that’s it. Shandy Aulia sebagai Julie masih se-mengesalkan seperti biasanya. Sementara Sara Wijayanto sebagai Madam Herlina melafalkan dialog-dialognya seperti membaca dan hafalan.

Namun jangan remehkan aspek teknis dari film-film Jose dan Hitmaker yang selalu ditata dengan cukup mumpuni. Seperti Tarot kali ini menyuguhkan tata kamera yang tergolong cantik, termasuk desain produksi yang tak kalah indahnya. Visual effect pun disajikan dengan cukup rapi. Sayang tata suara masih terdengar lemah. Terutama dari segi sound effect yang tidak sedahsyat adegannya. Perhatikan saja ketika adegan sebuah meja yang menyerang hingga hancur berkeping-keping, dan saat mobil menghantam dinding jembatan.


Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, in my opinion, Tarot dengan mudah akan menarik perhatian penonton, terutama remaja yang menjadi target utamanya. Semua yang disajikan Tarot di layar memang cocok untuk ditonton seru-seruan beramai-ramai bersama teman-teman. Jadi jangan heran jika saat menonton film ini di bioskop, studio tidak akan sepi dari hiruk pikuk penonton yang mengekspresikan diri. Tarot dibuat sebagai tipikal film horor ‘berjamaah’, bukan untuk dinikmati sendiri. Apalagi ia sudah menyiapkan gimmick lainnya, lagu Stranger in My Bed yang dinyanyikan Boy William, mengiringi salah satu adegan sekaligus liriknya menceritakan isi adegan, bak film Hindustan. (Lagi-lagi) jangan heran kalau lagu ini menjadi booming di kalangan remaja, dan jadi materi yang stuck in your head for months. Once again, that’s what Tarot was made for. Hitmaker knew it and will always use the same formula again and again for more fortunes. As for me, setidaknya ada banyak hal yang bisa jadi bahan bully-an dan mocking berdasarkan apa yang ada dari film ini.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.