4/5
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
feminism
Franchise
Hollywood
Oscar 2016
Pop-Corn Movie
post apocalypse
SciFi
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mad Max: Fury Road
Mad Max yang dirilis tahun 1979 adalah sebuah batu loncatan yang
luar biasa, baik bagi kreatornya, George Miller, dan aktor Mel Gibson. Sebuah
proyek indie tapi visioner asal Australia yang akhirnya mendunia. Setelahnya
pun nama George Miller dan Mel Gibson terus bersinar di Hollywood, yang
otomatis sekaligus merambah seluruh dunia. Setelah 3 film dan penantian selama
30 tahun sejak seri terakhirnya, Mad Max
Beyond Thunderdome rilis tahun 1985, akhirnya George berhasil kembali
menuangkan visinya ke layar lebar. Rentang waktu yang sangat panjang jelas
tidak memungkinkan Mel Gibson untuk tetap dipertahankan sebagai karakter utama.
Sebagai gantinya adalah Tom Hardy yang memerankan karakter bernama sama, Mad
Max. Hanya saja bukan Mad Max yang sama dengan yang diperankan oleh Mel Gibson.
So Mad Max Fury Road (MMFR) bukanlah
sebuah sekuel maupun remake/reboot, melainkan semacam refresh. Artinya penonton
yang belum pernah menonton ketiga seri sebelumnya tidak akan dibuat bingung,
tapi fans maupun yang sekedar sudah nonton akan diingatkan kembali dengan
berbagai referensi dari film-film sebelumnya. Tentu saja dengan sentuhan lebih
modern yang membuat MMFR tampak (dan lebih tepatnya, terasa) lebih
sophisticated dengan visi yang kurang lebih sama.
Kemunculan MMFR jelas sebuah
pertaruhan besar. Pertama, generasi sekarang sudah tidak banyak yang mengenal
Mad Max. Kedua, film berlatarkan gurun pasir selama lebih dari satu dekade
terakhir tidak pernah berhasil menarik perhatian penonton. Terakhir kita lihat
kegagalan Disney dengan John Carter-nya.
Tapi nampaknya kepiawaian Miller di usianya yang sudah kepala 7 tidak pudar,
bahkan menurut saya makin garang dan terasah.
MMFR membawa kita ke dunia yang
mengingatkan dengan padang pasir di film pertamanya. Dunia yang serba susah
dimana air bersih menjadi barang mewah dan dikuasai oleh penguasa lalim,
Immortan Joe. Seperti biasa, ada vigilante yang pura-pura menjadi kaki tangan
demi merencanakan sebuah pemberontakan ke tanah harapan baru. Bukan Mad Max,
tapi seorang wanita tangguh bertangan satu bernama Furiosa. Karakter Mad Max
justru tampil sebagai sosok yang membantu Furiosa dan juga ternyata selir-selir
Immortan Joe. Satu keputusan yang berani dari Miller. Tapi in my opinion,
keputusan yang sangat baik karena kehadiran karakter Furiosa justru begitu kuat
dan menarik perhatian, termasuk para selir yang jelas tak hanya sekedar sebagai
eye-candy, tapi juga sangat kuat sebagai bagian penting dari cerita. Apalagi
isu feminisme masih relevan sampai sekarang, bahkan bukan tidak mungkin menarik
perhatian penonton wanita di tengah nuansa film yang serba maskulin.
Sepintas, MMFR seperti hanya
sekedar sebuah film non-stop action yang memborbardir penontonnya tanpa jeda
sedikitpun. Tak banyak cerita yang disampaikan, termasuk dialog yang teramat
sangat minim. Tapi coba Anda ikuti adegan demi adegannya, Anda pasti dapat
memahami gerak ceritanya dengan mudah. Selain ceritanya memang sengaja dibuat
sesimpel mungkin untuk memaksimalkan fokus penonton pada pengalaman action
tanpa henti, harus diakui pula Miller adalah seorang storyteller yang piawai
bercerita secara visual. Tak hanya melalui adegan, tapi juga detail tiap
karakter yang sangat kuat, bahkan sampai karakter yang mungkin tak begitu
signifikan dalam cerita utama, seperti The Doof Warrior, si pemain gitar
penyembur api yang pasti menarik perhatian penonton (yang konon bakal dibuat
spin-off nya sendiri kelak). Tak heran jika ada kabar Miller akan merilis MMFR
dengan versi silent dan B/W. Saya tak akan meragukan kemampuannya dipahami
dengan mudah oleh penonton jaman sekarang sekalipun. Pada hakikatnya, film
memang sebuah medium bercerita yang utamanya melalui visual dan suara, bukan?
Buat apa susah-susah membuat film jika ceritanya banyak disampaikan secara
verbal?
Sebagai sebuah film non-stop
action, MMFR pun tidak main-main. Semua adegannya ditampilkan dengan begitu
nyata dan brutal. Semua berkat penggunaan metode praktikal di kebanyakan adegan
aksinya dan meminimalisir CGI. Konon CGI hanya digunakan untuk membuat efek
tangan bionic Furiosa dan sekedar membuat adegan-adegannya semakin terlihat
realistis.
Film dengan adegan-adegan
non-stop action biasanya cenderung terkesan kacau dan asal dinamis tanpa
diperhitungkan efek emosionalnya bagi penonton. Tapi tidak dengan adegan-adegan
MMFR. Meski punya pace yang sangat dinamis dan cepat, perpindahan adegan yang
cut-to-cut, semua detail adegan action MMFR berhasil membawa penonton seolah
berada di tengah-tengah kejadian. Jangan kaget kalau Anda akan sering menahan nafas dan bahkan berteriak. Ternyata rahasianya adalah penjagaan
konsitensi letak karakter utama sebagai fokus di gambar. So, penonton bisa
dengan mudah mengikuti point of view karakter utama di layar tanpa terasa
bingung maupun pusing. Efek emosi dari penonton pun semakin maksimal (apalagi
ditunjang efek gimmick pop-out 3D yang cukup impressive dan tepat guna). Bravo
untuk sinematografi dari John Seale! Masih ditambah music scoring dari Junkie
XL yang serba metal dan sentuhan techno, memompa adrenaline ke tahap yang
maksimal.
Pilihan cast-nya juga tak
sembarangan. Tom Hardy mungkin tidak sepenuhnya punya kharisma sekuat Mel
Gibson sebagai Mad Max, terutama dari segi sorot matanya. Tapi setidaknya Hardy
sudah menampilkan performa yang cukup bad-ass untuk menjadi seorang Mad Max.
Sementara Charlize Theron terasa begitu mencolok dan mencuri hati penonton
lewat karakternya yang begitu kuat dan menonjol.
Di jajaran pemeran pendukung,
Nicholas Hoult sebagai Nux berhasil mencuri perhatian dan simpati saya. Tak
ketinggalan pula kehadiran para selir ber-body ala supermodel yang diperankan
oleh Zoe Kravitz, Rosie Huntington-Whiteley, Riley Keough, Abbey Lee, dan
Courtney Eaton, bisa dengan mudah menjadi eye-candy yang begitu mempesona sekaligus
badass.
MMFR jelas sebuah film yang
mengedepankan pengalaman penonton and it really works to the max. Banyak sekali
adegan-adegan aksi berkesan yang mungkin belum pernah kita saksikan di layar,
dengan efek emosional terhadap Anda yang saya jamin akan jauh lebih terasa luar
biasa di MMFR. Didukung dengan art dan desain produksi yang unik serta sangat
berkesan, performa akting luar biasa mengisi karakter-karakter yang ditulis
dengan begitu kuat, MMFR jelas bukan sekedar just another pop corn action movie.
Kalaupun demikian, it will be a very crispy one, with one of the best taste
ever.
Lihat data dari film ini di IMDb.
The 88th Annual Academy Awards nominees for:
- Best Motion Picture of the Year
- Best Achievement in Directing - George Miller
- Best Achievement in Cinematography - John Seale
- Best Achievement in Editing - Margaret Sixel
- Best Achievement in Production Design - Colin Gibson and Lisa Thompson
- Best Achievement in Costume Design - Jenny Beavan
- Best Achievement in Makeup and Hairstyling - Lesley Vanderwalt, Elka Wardega, and Damian Martin
- Best Achievement in Sound Mixing - Chris Jenkins, Gregg Rudloff, and Ben Osmo
- Best Achievement in Sound Editing - Mark A. Mangini and David White
- Best Achievement in Visual Effects - Andrew Jackson, Tom Wood, Dan Oliver, Andy Williams