3.5/5
Based on a True Event
Based on Book
Drama
Indonesia
Romance
The Jose Flash Review
Urban
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Cinta Selamanya
Nama Fira Basuki di kalangan
tertentu, adalah nama yang cukup dikenal, terutama sebagai editor in chief
majalah Cosmopolitan Indonesia dan penulis dari beberapa novel. Namun beberapa
waktu lalu Fira menjadi lebih populer lagi karena kisah hidupnya yang boleh
dibilang unfortunate. Bayangkan, seorang single parent dari seorang gadis yang
beranjak remaja, dengan kesibukannya sebagai wanita karir. Giliran saat sudah
menemukan sosok pria idaman yang usianya 11 tahun lebih muda, sang suami harus
menghadap Yang Maha Kuasa, hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka, dan
di saat Fira dalam kondisi hamil. It’s true, sometimes real life is stranger
than fiction. Setelah dituturkan dalam bentuk novel, memoir romansa Fira dan
suaminya, Almarhum Hafez Baskoro, akhirnya diangkat ke layar lebar, di bawah
komando sutradara Fajar Nugros.
Kisah nyata yang tergolong
“menye-menye” bisa menjerumuskan Cinta
Selamanya (CS) menjadi sajian yang klise dan kelewat picisan. Namun rupanya
naskah yang ditulis oleh Piu Syarif dan arahan Fajar Nugros membuat nuansa CS
lebih berwarna. Tidak mudah sebenarnya merangkai cerita yang sebenarnya
tergolong biasa, apalagi ketika penonton sudah tahu seperti apa endingnya.
Salah-salah penonton bisa bosan dan walk out. Untuk itulah disebar komedi-komedi
yang cukup berhasil menghibur, begitu juga romance sweetness, dan tentu saja
bitterness, hingga konklusi, dengan takaran yang serba pas. Alhasil, CS selamat
dari ancaman tontonan picisan dan bisa dibilang cukup berhasil menunjukkan
kelasnya.
Mungkin secara keseluruhan, CS
belum mampu meyakinkan penonton kenapa sosok Fira yang high class dan punya
high taste pula, bisa jatuh cinta pada sosok Almarhum Hafez yang lebih membumi.
Belum lagi bagaimana Fira bisa yakin bahwa Almarhum Hafez adalah cinta sejatinya
meski mendahului dirinya. In my opinion, in case of true story, tidak ada yang
bisa dijelaskan dengan kata-kata (ataupun adegan), selain perasaan dan instinct
pelakunya sendiri. So yes, dari apa yang disajikan di layar, kita dibuat
menerima kalau menurut instinct seorang Fira, Almarhum Hafez is the one. Kita
hanya bisa menjadi saksi berbagai manisnya sikap Almarhum Hafez serta momen-momen
yang harus saya akui cukup berkesan, misalnya ketika Almarhum Hafez membawa
Fira kencan pertama, bermain wayang, dan tentu saja di sebuah pantai di Jogja
(yang tau itu pantai apa, let me know please!).
Namun yang membuat saya memberi
poin lebih pada penceritaan CS adalah konklusinya yang ternyata tidak berhenti
sampai saat Almarhum Hafez meninggal dunia. Jauh lebih penting, bagaimana Fira
menyikapi musibah yang menimpanya dan melanjutkan hidup. Adegan-adegan dirinya
di Madrid menjadi adegan bitter yang tak kalah mengesankan dengan adegan-adegan
sweetness-nya. Hingga akhirnya penonton dibuat tersenyum berkat konklusi yang mengindikasikan
(dan mungkin juga menginspirasi) Fira sebagai sosok Fun Fearless Female,
seperti tagline majalah yang dipimpinnya.
Sweetness dan bitterness CS tak
lepas dari chemistry luar biasa dari Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto yang di
kehidupan nyata memang sepasang suami-istri. Namun penampilan individu mereka
yang juga tak kalah kuat dan mirip dengan sosok-sosok aslinya, membuat CS
menjadi lebih hidup. Atiqah mungkin masih belum sepenuhnya sempurna membawakan
aksen Fira yang agak Jawa Timuran, nemun secara keseluruhan berhasil membawakan
gesture yang mirip. Begitu juga Rio yang cukup charming, meski terkadang
gesture-nya kelewat flamboyan sehingga mengingatkan perannya sebelumnya di Arisan! 2.
Di jajaran pemeran pendukung pun
cukup menyegarkan nuansa CS secara keseluruhan, mulai Widi Mulia, Tantry Agung
Dewani yang memang adik kandung Almarhum Hafez yang asli, Amanda Soekasah, dan
Shaloom Razade, putri Wulan Guritno yang memulai debut aktingnya. Sementara
scene stealernya jelas Surya Insomnia yang berhasil “mlethék” sama seperti saat
Rio Dewanto di Arisan! 2. Cameo dari
Moammar Emka (sebagai Ari Lasse, jelas bukan plesetan dari nama siapa?), Agus
Kuncoro, Lukman Sardi, dan Dwi Sasono, juga pasti menarik perhatian Anda.
Salah satu aspek terkuat dari CS
adalah desain produksinya yang ditata dengan serius. Jelas dunia glamour Fira
berbaur dengan ekotisnya etnis Jawa yang dibawa oleh Almarhum Hafez menjadi
blend yang menarik, termasuk lagu-lagu campur sari ala Didi Kempot yang berubah
menjadi manis dan berkelas. Kesemuanya tertangkap oleh tata kamera yang juga
serba cantik dari Yadi Sugandi (yang kali ini turut menjadi salah satu pemeran
pendukung).
Sayangnya gambar yang serba
cantik ini tidak begitu terimbangi oleh audio yang terdengar masih mengambang,
terutama untuk dialog yang terdengar kurang jernih dan tegas, meski tidak juga sampai
tidak terdengar jelas. Fasilitas surround pun tidak begitu dimaksimalkan,
terutama dalam meletakkan musik latar dan sound effect, sehingga kurang terasa
dimensi ruangnya.
CS bisa jadi sebuah
memoir bittersweet romance yang sangat personal dan cukup berhasil membuat
penonton merasakannya pula, meski tak sampai mampu dinalar dengan logika. Well,
speaking of romance in true life, sometimes we have to drop some logics to really feel it, don’t
we?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id