The Jose Flash Review
Cinta Selamanya

Nama Fira Basuki di kalangan tertentu, adalah nama yang cukup dikenal, terutama sebagai editor in chief majalah Cosmopolitan Indonesia dan penulis dari beberapa novel. Namun beberapa waktu lalu Fira menjadi lebih populer lagi karena kisah hidupnya yang boleh dibilang unfortunate. Bayangkan, seorang single parent dari seorang gadis yang beranjak remaja, dengan kesibukannya sebagai wanita karir. Giliran saat sudah menemukan sosok pria idaman yang usianya 11 tahun lebih muda, sang suami harus menghadap Yang Maha Kuasa, hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka, dan di saat Fira dalam kondisi hamil. It’s true, sometimes real life is stranger than fiction. Setelah dituturkan dalam bentuk novel, memoir romansa Fira dan suaminya, Almarhum Hafez Baskoro, akhirnya diangkat ke layar lebar, di bawah komando sutradara Fajar Nugros.

Kisah nyata yang tergolong “menye-menye” bisa menjerumuskan Cinta Selamanya (CS) menjadi sajian yang klise dan kelewat picisan. Namun rupanya naskah yang ditulis oleh Piu Syarif dan arahan Fajar Nugros membuat nuansa CS lebih berwarna. Tidak mudah sebenarnya merangkai cerita yang sebenarnya tergolong biasa, apalagi ketika penonton sudah tahu seperti apa endingnya. Salah-salah penonton bisa bosan dan walk out. Untuk itulah disebar komedi-komedi yang cukup berhasil menghibur, begitu juga romance sweetness, dan tentu saja bitterness, hingga konklusi, dengan takaran yang serba pas. Alhasil, CS selamat dari ancaman tontonan picisan dan bisa dibilang cukup berhasil menunjukkan kelasnya.

Mungkin secara keseluruhan, CS belum mampu meyakinkan penonton kenapa sosok Fira yang high class dan punya high taste pula, bisa jatuh cinta pada sosok Almarhum Hafez yang lebih membumi. Belum lagi bagaimana Fira bisa yakin bahwa Almarhum Hafez adalah cinta sejatinya meski mendahului dirinya. In my opinion, in case of true story, tidak ada yang bisa dijelaskan dengan kata-kata (ataupun adegan), selain perasaan dan instinct pelakunya sendiri. So yes, dari apa yang disajikan di layar, kita dibuat menerima kalau menurut instinct seorang Fira, Almarhum Hafez is the one. Kita hanya bisa menjadi saksi berbagai manisnya sikap Almarhum Hafez serta momen-momen yang harus saya akui cukup berkesan, misalnya ketika Almarhum Hafez membawa Fira kencan pertama, bermain wayang, dan tentu saja di sebuah pantai di Jogja (yang tau itu pantai apa, let me know please!).

Namun yang membuat saya memberi poin lebih pada penceritaan CS adalah konklusinya yang ternyata tidak berhenti sampai saat Almarhum Hafez meninggal dunia. Jauh lebih penting, bagaimana Fira menyikapi musibah yang menimpanya dan melanjutkan hidup. Adegan-adegan dirinya di Madrid menjadi adegan bitter yang tak kalah mengesankan dengan adegan-adegan sweetness-nya. Hingga akhirnya penonton dibuat tersenyum berkat konklusi yang mengindikasikan (dan mungkin juga menginspirasi) Fira sebagai sosok Fun Fearless Female, seperti tagline majalah yang dipimpinnya.

Sweetness dan bitterness CS tak lepas dari chemistry luar biasa dari Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto yang di kehidupan nyata memang sepasang suami-istri. Namun penampilan individu mereka yang juga tak kalah kuat dan mirip dengan sosok-sosok aslinya, membuat CS menjadi lebih hidup. Atiqah mungkin masih belum sepenuhnya sempurna membawakan aksen Fira yang agak Jawa Timuran, nemun secara keseluruhan berhasil membawakan gesture yang mirip. Begitu juga Rio yang cukup charming, meski terkadang gesture-nya kelewat flamboyan sehingga mengingatkan perannya sebelumnya di Arisan! 2.

Di jajaran pemeran pendukung pun cukup menyegarkan nuansa CS secara keseluruhan, mulai Widi Mulia, Tantry Agung Dewani yang memang adik kandung Almarhum Hafez yang asli, Amanda Soekasah, dan Shaloom Razade, putri Wulan Guritno yang memulai debut aktingnya. Sementara scene stealernya jelas Surya Insomnia yang berhasil “mlethék” sama seperti saat Rio Dewanto di Arisan! 2. Cameo dari Moammar Emka (sebagai Ari Lasse, jelas bukan plesetan dari nama siapa?), Agus Kuncoro, Lukman Sardi, dan Dwi Sasono, juga pasti menarik perhatian Anda.

Salah satu aspek terkuat dari CS adalah desain produksinya yang ditata dengan serius. Jelas dunia glamour Fira berbaur dengan ekotisnya etnis Jawa yang dibawa oleh Almarhum Hafez menjadi blend yang menarik, termasuk lagu-lagu campur sari ala Didi Kempot yang berubah menjadi manis dan berkelas. Kesemuanya tertangkap oleh tata kamera yang juga serba cantik dari Yadi Sugandi (yang kali ini turut menjadi salah satu pemeran pendukung).

Sayangnya gambar yang serba cantik ini tidak begitu terimbangi oleh audio yang terdengar masih mengambang, terutama untuk dialog yang terdengar kurang jernih dan tegas, meski tidak juga sampai tidak terdengar jelas. Fasilitas surround pun tidak begitu dimaksimalkan, terutama dalam meletakkan musik latar dan sound effect, sehingga kurang terasa dimensi ruangnya.

CS bisa jadi sebuah memoir bittersweet romance yang sangat personal dan cukup berhasil membuat penonton merasakannya pula, meski tak sampai mampu dinalar dengan logika. Well, speaking of romance in true life, sometimes we have to drop some logics to really feel it, don’t we?

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.