The Jose Flash Review
Doea Tanda Cinta

Tak mudah membuat film aksi. Selain perlu skill pengarahan adegan yang khusus, skill aktor yang juga harus mendukung, melibatkan visual effect yang mumpuni, dan tentu saja butuh dana yang tidak sedikit. Setidaknya pasti di atas biaya film drama, misalnya. Itulah sebabnya tak banyak film Indonesia yang berani mengambil genre ini. Sebelumnya ada Badai di Ujung Negeri yang menggabungkan cerita romance dan action dengan porsi yang cukup berimbang, penampilan aktor yang baik, pun juga penanganan adegan aksi yang bisa dibilang mumpuni. Kali ini ada lagi yang mencoba menggabungkan romance dan action, masih dengan latar belakang dunia kemiliteran, Doea Tanda Cinta (DTC - entah kenapa pakai ejaan Doea tetapi tidak pakai Tjinta. Bahkan esensi penggunaan ejaan lama Doea pun tidak saya temukan setelah menyaksikan filmnya). Memang disutradarai oleh nama baru, Rick Soerafani, namun nama Jujur Prananto di jajaran penulis naskahnya membuat DTC tidak bisa diremehkan begitu saja.

Awalnya, DTC menghadirkan sebuah kisah persahabatan dua taruna di Akademi Militer (baca: bromance), Bagus (Fedi Nuril) dan Mahesa (Rendy Kjaernett) yang mengalir dengan cukup lancar. Melalui adegan-adegan dan dialog-dialog yang menggelitik, part ini membuat DTC begitu nyaman untuk diikuti. Ketika masuk ke part romance-nya, yang dimulai dengan dimasukkanya karakter Laras (Tika Bravani) pun terasa masih punya flow yang enak. Sayangnya part romance ini dibiarkan mengambang begitu saja, tidak dikembangkan dengan cukup, serta langsung dilanjutkan part aksinya. Mulailah ketidak fokusan dan kekacauan begitu terasa. Tanpa penjelasan motif dan pendekatan yang lebih, terutama pada karakter antagonisnya, adegan demi adegan aksi digeber hingga akhir film yang membawa pada konklusi.

Penyatuan ketiga sub-plot ini memang riskan mengacaukan keseluruhan film, dan itu yang benar-benar terjadi pada DTC. Okelah part bromance di awal memang berhasil ditampilkan, namun part romance dan aksi yang berada pada bagian kedua dan akhir film merusak susunan yang sudah ditata dengan lancar. Adegan-adegan aksinya memang digarap dengan mumpuni sih, tapi hanya sekedar tampak meyakinkan, belum sampai berhasil memainkan emosi penonton. Bandingkan dengan BdUN yang sama-sama menggarap adegan aksinya dengan mumpuni, tapi setidaknya karakter antagonis yang diperankan Jojon dibuat lebih dalam untuk mengundang emosi penonton. Sementara di sini cuma sekedar diinfokan kalau dia seorang teroris. Titik. Tidak ada penjelasan motif ataupun sepak terjang yang lebih untuk memperkuat karakteristik itu. Latar belakang Akademi Militer pun digambarkan serba ideal, mengingat ada tujuan “promosi” di balik pembuatan film ini. Jadi jangan mengharapkan gambaran nyata suasana di dalam Akademi Militer yang selama ini sudah menjadi rahasia umum. Alhasil, in the end semuanya terasa serba setengah-setengah dan potensi secara keseluruhan yang sebenarnya cukup besar itu berubah drastis menjadi buyar seketika.

Sebagai tiga lead, Fedi Nuril, Rendy Kjaernett, dan Tika Bravani sebenarnya sudah mampu membangun chemistry yang cukup kuat dan meyakinkan. Rendy Kjaernett pun cukup baik membawakan perannya, seiring dengan perkembangan-perkembangan karakternya yang porsinya paling banyak. Fedi Nuril masih seperti biasa, lebih banyak tampil tenang tanpa perkembangan berarti. Tika Bravani yang memang sekilas tampak menarik, tapi secara keseluruhan karakternya tak begitu berpengaruh karena porsi yang serba berjejalan.

Di deretan supporting casts, Rizky Hanggono tampil dengan kharisma yang semakin meningkat dari peran-peran sebelumnya. Sisanya tak begitu punya porsi yang cukup untuk menarik perhatian penonton.

Satu-satunya yang patut mendapatkan apresiasi tinggi adalah tata kamera dari Yunus Pasolang. Banyak sekali frame-frame dengan angle unik yang tampak sangat indah, puitis, dan tentu saja bisa bercerita dengan maksimal. Termasuk juga ketika adegan aksi yang lebih dinamis. Penggunaan visual effect dan CGI juga cukup bagus. Tanpa ini semua mungkin DTC akan menjadi just another FTV.

Untuk tata suara, tidak ada yang begitu istimewa. Semua sesuai kebutuhan dengan level  yang biasa saja. Termasuk fasilitas surround yang tak begitu banyak dimanfaatkan. Score dari Aghi Narottama dan Bemby Gusti pun kali ini tidak se-powerful biasanya, meski tetap terasa ke-khas-annya.

DTC sebenarnya sangat berpotensi menjadi sebuah racikan drama, romance, dan action yang menarik jika disajikan dengan serba pas. Sayangnya dengan porsi yang serba tanggung menjadikan masing-masing bagian terasa tanggung pula dan akhirnya tidak berhasil membuat penonton merasakan apa-apa setelah film berakhir.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.