4/5
Arthouse
Awards winner
Drama
Festival
Indonesia
Psychological
Romance
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta
(What They Don't Talk About When They Talk About Love)
Overview
Arthouse, sebuah istilah dalam
dunia perfilman yang sering dianggap “kasta tertinggi”. Ibarat karya lukisan,
arthouse adalah bentuk lukisan abstrak yang oleh orang awam dianggap tidak
jelas, tidak menarik, namun bagi beberapa orang yang mampu “merasakannya”
lukisan tersebut tak dapat diukur nilainya. Sama seperti film, arthouse sering
kali dianggap karya tak jelas yang berat, memerlukan analisa visual yang
otomatis pula mengandalkan intelektualitas tertentu, dan tentu saja memiliki
cita rasa yang diperlukan dalam “merasakan” keindahannya. Di Hollywood kita
mengenal nama seperti Terrence Malick yang sukses membuat penonton bingung
(terutama yang belum mengenal kitab Wahyu dan Mazmur di Alkitab) dengan Tree of Life-nya. Di Indonesia sendiri
di deretan sutradara senior ada nama Garin Nugroho. Sementara di generasi yang
lebih muda sudah ada nama Edwin, sutradara asal Surabaya yang sempat
menghebohkan lewat Babi Buta yang Ingin
Terbang (2008) dan terakhir yang meraih banyak pujian di mana-mana, Postcard from the Zoo (2012).
Lalu ada nama Mouly Surya,
sutradara wanita (yang juga menuliskan sendiri naskah film-filmnya) yang angkat
nama 2008 silam melalui Fiksi.
Ditayangkan terbatas di jaringan Blitz, Fiksi
berhasil menyabet banyak penghargaan, termasuk Film Cerita Bioskop Terbaik,
Penyutradaraan Terbaik, Penulis Skenario Terbaik, dan Penata Musik Terbaik di
ajang Fetival Film Indonesia 2008. Sebuah prestasi yang tidak main-main dari
seorang sineas wanita yang baru pertama kali menggarap film panjang. Sekedar
tambahan, Mouly bahkan belum pernah menulis naskah maupun menyutradarai film
pendek apapun sebelumnya. So, Fiksi
was practically her very first work.
Tahun 2012, Mouly kembali
menggarap film panjang yang juga ditulisnya sendiri, Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta atau yang lebih
dikenal dengan judul internasional berkat prestasinya di International Film
Festival Rotterdam dan tentu saja Sundance Film Festival, What They Don’t Talk About When They Talk About Love (sering
disingkat menjadi Don’t Talk Love).
Dari dua karyanya ini bisa kita lihat kapabilitas Mouly sebagai penulis naskah
dan sutradara yang tidak monoton, baik dari segi genre dan gaya penceritaan,
meski masih memiliki ciri-ciri khas yang mudah dikenali.
Secara genre, jelas Don’t Talk Love yang merupakan drama
romantis berbeda jauh dengan Fiksi
yang drama thriller psikologis. Jika Fiksi
memiliki alur naratif cerita biasa, maka Don’t
Talk Love lebih eksperimental.That's why many people categorized it as an arthouse. Ia kali ini mengajak penonton mengintip
kehidupan sehari-hari para difabel (different ability people) yang tinggal dan
bersekolah di sebuah SLB; bagaimana mereka menghabiskan waktu di asrama,
bagaimana interaksi sosial mereka sehari-hari, bagaimana mereka memandang
hidup, apa cita-cita mereka, bagaimana mereka memandang hidup seandainya
menjadi manusia-manusia normal seperti lainnya, dan tentu saja sesuai judulnya,
bagaimana pandangan dan cara mereka menyikapi cinta.
Sekedar saran, Anda tak perlu
berpikir keras sepanjang durasi untuk mencerna apa maksud dari tiap adegan. Don’t Talk Love bukan tipe arthouse
seperti itu. Anda hanya perlu sabar memperhatikan tiap adegan dan merasakannya.
Mouly dengan cerdas dan menarik, mengajak penonton mengamati tiap aspek
kehidupan mereka (para difabel) dan larut dalam kehidupan mereka, seolah
penonton adalah salah satu karakter di dalamnya. Dengan caranya yang unik pula,
penonton dibuat seolah lupa bahwa karakter-karakter yang ada sebenarnya
memiliki “perbedaan” fisik (tuna netra dan tuna wicara), atau sebaliknya,
penonton lupa dengan dirinya sendiri dan menjadi terbiasa memandang hidup ala
kaum difabel. Tak sedikit pun ia mengeksploitasi “perbedaan” mereka untuk
menyentuh penonton. Tidak, ini bukan film tearjerker. Ketika film berakhir,
barulah renungkan pengalaman-pengalaman yang disodorkan Mouly. Luar biasa!
Don’t Talk Love jelas sebuah tontonan unik dan menarik di tengah
genre serta gaya penceritaan film yang begitu-begitu saja. Ia menawarkan
pengalaman yang unik pula bagi para penontonnya yang mau membuka diri. Penonton
mungkin merasakan biasa saja seusai menontonnya, namun adegan-adegannya yang
“ajaib” mampu terus-menerus terngiang dalam ingatan penonton untuk jangka waktu
yang cukup lama. That’s the magic of arthouse movie. Susah untuk menilai secara
objektif atau sekedar saling membandingkan dengan film lain, karena ia
menawarkan pengalaman dan tentu saja tiap pengalaman menghasilkan efek yang
berbeda-beda bagi tiap individu yang mengalaminya. It’s very personal, sama
seperti efek jatuh cinta yang berbeda-beda pada tiap orang.
The Casts
Trio Ayushita-Nicholas
Saputra-Karina Salim jelas memberikan performa yang luar biasa yang akan selalu
diingat penonton. Masing-masing memberikan penampilan signatural yang unik dan
bisa jadi termasuk karakter-karakter paling penting di daftar filmografi masing-masing.
Ayushita yang namanya melambung berkat grup BBB (Bukan Bintang Biasa) asuhan
Melly Goeslaw terlihat paling menonjol, terutama berkat keberaniannya di
beberapa adegan serta penghayatan karakter yang luar biasa. Begitu pula
Nicholas Saputra yang selama ini saya anggap selalu menjadi diri sendiri di
film-film sebelumnya, akhirnya mampu keluar dari peran tipikal dan tampil jauh
berbeda. Terakhir, Karina Salim sebagai pendatang baru juga tak kalah
memberikan performa luar biasa dalam adegan-adegan yang tak terlupakan.
Technical
Kekuatan penceritaan ala Mouly
diperkuat oleh permainan sinematografi Yunus Pasolang yang tak kalah uniknya. Angle-angle
menarik dan kadang tak biasa berhasil menangkap tiap sudut kehidupan di asrama
SLB dengan indah, apalagi dalam frame beraspek rasio 2.35:1 yang terasa sekali
efek teatrikal-nya.
Score piano minimalis seperti
yang pernah diusung Mouly di Fiksi
sekali lagi membangun suasana misterius dan rasa penasaran penonton dengan
sempurna. Ditambah pemilihan lagu Burung
Camar dan Nurlela yang pada
akhirnya begitu melekat begitu kuat dalam ingatan penonton sebagai landmark Don’t Talk Love. Efek surround beberapa
kali juga dimanfaatkan dengan sangat baik. Salah satu koloborasi kekuatan
visual dan audio yang berhasil membawa penonton seolah-olah berada dalam
adegan.
The Essence
Love is simple and universal.
Memandang cinta dan hidup dari berbagai sudut pandang membuatnya ternyata
terlihat sama dan justru semakin menghargainya sebagai anugerah, dalam kondisi
apapun.
They who will enjoy this the most
-
Arthouse enthusiast
-
Penonton umum yang mau membuka diri terhadap
jenis film apapun