3.5/5
Drama
Indonesia
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Kisah 3 Titik
Overview
Lola Amaria dikenal sebagai sosok
film yang concern dengan problematika sosial di negeri ini. Setelah sebelumnya
mengangkat cerita TKW Indonesia di Hongkong lewat Minggu Pagi di Victoria Park dan LGBT di Sanubari Jakarta, kini bekerja sama dengan Kementrian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia, Lola mengangkat tema perburuhan di dalam
negeri, nyaris bertepatan dengan Hari Buruh.
Bicara mengenai perburuhan di
Indonesia, mungkin kita sudah bosan dengan hiruk-pikuknya yang tak kunjung selesai.
Apalagi setiap kali kita yang tinggal di kota dibuat sebal oleh kemacetan
akibat demonstrasi buruh yang seolah-olah tak pernah puas menuntut. Tuntutan
UMR yang mencapai 1.5 juta pun cukup mengernyitkan dahi karyawan-karyawan
kantor yang dengan latar belakang pendidikan lebih tinggi namun gajinya tak
beda jauh. Tentu ketimpangan terasa semakin tidak adil. Bahkan saya sampai pada
anekdot, mungkin para buruh tidak akan pernah puas berdemo kalau belum memiliki
gaji dan fasilitas setara direktur-direktur di atasnya. Well, tuntutan tinggal
tuntutan jika kita tidak menganalis dampak ke depannya dari permasalahan ini
yang mau tak mau akan selalu berputar-putar pada “lingkaran setan” yang sama.
Maka Kisah 3 Titik mencoba untuk mengangkat permasalahan perburuhan di
tanah air ini dari berbagai sudut. Setidaknya ada tiga titik penting yang patut
dilihat. Titik di sini bukanlah metafora semata karena sekaligus dijadikan nama
karakter yang merepresentasi masing-masing pihak. Titik yang pertama adalah
Titik Sulastri, seorang janda yang sedang berusaha mencari pekerjaan demi
menghidupi anak serta calon anak yang akan lahir. Titik kedua Kartika (Titik
Tomboy), seorang buruh garmen yang tergolong vokal menentang ketidakadilan dan
kecurangan yang dilakukan perusahaannya, namun menjadi percuma karena tak punya
kuasa apa-apa. Yang terakhir mungkin yang paling punya power atas nasib buruh
namun masih kalah dari segi posisi, Titik Dewanti Sari.
Penceritaan tiga sisi yang saling
berkaitan di sini menjadi sebuah premise yang menjanjikan. Setidaknya, menarik
untuk disimak. Memang benar, penulis naskah Charmantha Adjie dan sutradara
Bobby Prabowo bisa dikatakan berhasil merangkai kisah ketiganya menjadi satu
kesatuan yang tak hanya menarik untuk diikuti (meski most of us mungkin sudah
paham betul ke mana arahnya akan menuju), sekaligus tetap mampu membuat
penonton berempati terhadap nasib karakter-karakter yang ada. Ia memang murni
memaparkan tiap kisah secara faktual, mungkin sedikit mirip sebuah dokumenter
dengan sentuhan art sinematik. Tak ada perkembangan karakter yang berarti,
karena tiap karakter seperti para buruh yang sudah ditentukan nasibnya sejak
awal, tinggal diikuti, dan semakin lama semakin memburuk. Tidak ada pula kesimpulan
dan solusi yang ditawarkan, karena memang hingga kini belum ada solusi yang
benar-benar bisa menyelesaikan permasalahan yang ada.
Namun justru di situlah kekuatan Kisah 3 Titik (K3T). Ia tak mau bersikap
sok tahu atas langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah
ini, yang justru rentan terjerumus pada ketidakrealistisan. Ia malah seolah
mengajak penonton untuk mencerna permasalahan buruh dari berbagai sudut dan
aspek serta berpikir bersama solusi apa yang bisa mengurangi permasalahan
buruh. Syukur-syukur terselesaikan semua.
Untuk tujuan itu, K3T bisa
dikatakan berhasil meski tidak juga menjadi karya yang begitu istimewa dan
sangat mengesankan di balik berbagai aspeknya yang sudah tertata apik. Dengan
embel-embel dukungan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
yang rentan menjadi karya pretensius dan penuh “pesanan” di sana-sini,
setidaknya ia mampu memvisualisasikannya dengan sangat halus dan elegan.
The Casts
Lola Amaria serta dua aktris
utama pemeran Titik lainnya, Ririn Ekawati dan Maryam Supraba berhasil mengundang
simpati penonton berkat karakter yang cukup kuat dibawakan masing-masing. Ririn
dengan nasib malangnya yang bertubi-tubi, Maryam dengan keberaniannya namun
tetap saja kalah, serta Lola yang bisa mengubah namun tanpa kekuasaan yang
cukup.
Di deretan pemeran pendukung juga
tak kalah apiknya. Ada Donny Alamsyah, Gessata Stella, Ingrid Widjanarko, Ella
Hamid (yang pernah mencuri layar di Minggu
Pagi di Victoria Park dan segmen Ella
di Belkibolang), dan Dimas Hary
(masih ingat segmen Hari Ini Aku Cantik
di Sanubari Jakarta?). Penampilan
sekilas dari Edward Gunawan, Rangga Djoned, dan Lukman Sardi turut membuat film
menjadi lebih berwarna.
Technical
Sinematografi cantik yang
menghasilkan tone warna bumi, penghias dunia masing-masing karakter yang
memiliki kesuraman tersendiri. Tidak ada yang begitu istimewa dari segi
permainan angle namun cukup mampu bercerita dengan efektif.
Tak ada kendala pula pada sound
yang tetap memanfaatkan efek surround. Score yang menghiasi juga tak terlalu
istimewa namun cukup mampu mengiringi adegan-adegan dalam membangkitkan empati
penonton.
The Essence
Perburuhan adalah permasalahan
yang susah untuk ditemukan ujung pangkalnya. Dari berbagai sudut/pihak
menyimpan permasalahan tersendiri. K3T mengajak penonton untuk berpikir tidak hanya
dari sudut pandang buruh, namun juga pengusaha serta dampak-dampaknya dalam
skala yang lebih besar.
They who will enjoy this the most
- Siapapun yang concern dengan permasalahan sosial, terutama perburuhan.
Lihat data film ini di Film Indonesia.