The Jose Movie Review
Kisah 3 Titik


Overview

Lola Amaria dikenal sebagai sosok film yang concern dengan problematika sosial di negeri ini. Setelah sebelumnya mengangkat cerita TKW Indonesia di Hongkong lewat Minggu Pagi di Victoria Park dan LGBT di Sanubari Jakarta, kini bekerja sama dengan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Lola mengangkat tema perburuhan di dalam negeri, nyaris bertepatan dengan Hari Buruh.

Bicara mengenai perburuhan di Indonesia, mungkin kita sudah bosan dengan hiruk-pikuknya yang tak kunjung selesai. Apalagi setiap kali kita yang tinggal di kota dibuat sebal oleh kemacetan akibat demonstrasi buruh yang seolah-olah tak pernah puas menuntut. Tuntutan UMR yang mencapai 1.5 juta pun cukup mengernyitkan dahi karyawan-karyawan kantor yang dengan latar belakang pendidikan lebih tinggi namun gajinya tak beda jauh. Tentu ketimpangan terasa semakin tidak adil. Bahkan saya sampai pada anekdot, mungkin para buruh tidak akan pernah puas berdemo kalau belum memiliki gaji dan fasilitas setara direktur-direktur di atasnya. Well, tuntutan tinggal tuntutan jika kita tidak menganalis dampak ke depannya dari permasalahan ini yang mau tak mau akan selalu berputar-putar pada “lingkaran setan” yang sama.

Maka Kisah 3 Titik mencoba untuk mengangkat permasalahan perburuhan di tanah air ini dari berbagai sudut. Setidaknya ada tiga titik penting yang patut dilihat. Titik di sini bukanlah metafora semata karena sekaligus dijadikan nama karakter yang merepresentasi masing-masing pihak. Titik yang pertama adalah Titik Sulastri, seorang janda yang sedang berusaha mencari pekerjaan demi menghidupi anak serta calon anak yang akan lahir. Titik kedua Kartika (Titik Tomboy), seorang buruh garmen yang tergolong vokal menentang ketidakadilan dan kecurangan yang dilakukan perusahaannya, namun menjadi percuma karena tak punya kuasa apa-apa. Yang terakhir mungkin yang paling punya power atas nasib buruh namun masih kalah dari segi posisi, Titik Dewanti Sari.

Penceritaan tiga sisi yang saling berkaitan di sini menjadi sebuah premise yang menjanjikan. Setidaknya, menarik untuk disimak. Memang benar, penulis naskah Charmantha Adjie dan sutradara Bobby Prabowo bisa dikatakan berhasil merangkai kisah ketiganya menjadi satu kesatuan yang tak hanya menarik untuk diikuti (meski most of us mungkin sudah paham betul ke mana arahnya akan menuju), sekaligus tetap mampu membuat penonton berempati terhadap nasib karakter-karakter yang ada. Ia memang murni memaparkan tiap kisah secara faktual, mungkin sedikit mirip sebuah dokumenter dengan sentuhan art sinematik. Tak ada perkembangan karakter yang berarti, karena tiap karakter seperti para buruh yang sudah ditentukan nasibnya sejak awal, tinggal diikuti, dan semakin lama semakin memburuk. Tidak ada pula kesimpulan dan solusi yang ditawarkan, karena memang hingga kini belum ada solusi yang benar-benar bisa menyelesaikan permasalahan yang ada.

Namun justru di situlah kekuatan Kisah 3 Titik (K3T). Ia tak mau bersikap sok tahu atas langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, yang justru rentan terjerumus pada ketidakrealistisan. Ia malah seolah mengajak penonton untuk mencerna permasalahan buruh dari berbagai sudut dan aspek serta berpikir bersama solusi apa yang bisa mengurangi permasalahan buruh. Syukur-syukur terselesaikan semua.

Untuk tujuan itu, K3T bisa dikatakan berhasil meski tidak juga menjadi karya yang begitu istimewa dan sangat mengesankan di balik berbagai aspeknya yang sudah tertata apik. Dengan embel-embel dukungan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia yang rentan menjadi karya pretensius dan penuh “pesanan” di sana-sini, setidaknya ia mampu memvisualisasikannya dengan sangat halus dan elegan.

The Casts

Lola Amaria serta dua aktris utama pemeran Titik lainnya, Ririn Ekawati dan Maryam Supraba berhasil mengundang simpati penonton berkat karakter yang cukup kuat dibawakan masing-masing. Ririn dengan nasib malangnya yang bertubi-tubi, Maryam dengan keberaniannya namun tetap saja kalah, serta Lola yang bisa mengubah namun tanpa kekuasaan yang cukup.

Di deretan pemeran pendukung juga tak kalah apiknya. Ada Donny Alamsyah, Gessata Stella, Ingrid Widjanarko, Ella Hamid (yang pernah mencuri layar di Minggu Pagi di Victoria Park dan segmen Ella di Belkibolang), dan Dimas Hary (masih ingat segmen Hari Ini Aku Cantik di Sanubari Jakarta?). Penampilan sekilas dari Edward Gunawan, Rangga Djoned, dan Lukman Sardi turut membuat film menjadi lebih berwarna.

Technical

Sinematografi cantik yang menghasilkan tone warna bumi, penghias dunia masing-masing karakter yang memiliki kesuraman tersendiri. Tidak ada yang begitu istimewa dari segi permainan angle namun cukup mampu bercerita dengan efektif.

Tak ada kendala pula pada sound yang tetap memanfaatkan efek surround. Score yang menghiasi juga tak terlalu istimewa namun cukup mampu mengiringi adegan-adegan dalam membangkitkan empati penonton.

The Essence

Perburuhan adalah permasalahan yang susah untuk ditemukan ujung pangkalnya. Dari berbagai sudut/pihak menyimpan permasalahan tersendiri. K3T mengajak penonton untuk berpikir tidak hanya dari sudut pandang buruh, namun juga pengusaha serta dampak-dampaknya dalam skala yang lebih besar.

They who will enjoy this the most

  • Siapapun yang concern dengan permasalahan sosial, terutama perburuhan.
Lihat data film ini di Film Indonesia.

Diberdayakan oleh Blogger.