4/5
Action
Blockbuster
Box Office
Buddy
Comedy
Drama
Franchise
Oscar 2014
Pop-Corn Movie
SciFi
Summer Movie
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Star Trek Into Darkness
Overview
Saya bukan berasal dari generasi
di mana era keemasan Star Trek (ST)
berpuncak. Nevertheless, ketika kecil saya masih mengenali versi serial TV-nya
(The Next Generation) dengan
karakter-karakter uniknya seperti Data, Worf, dan Geordi La Forge. Tetapi
sampai di situ saja impresi saya tentang ST dulu, secara dari segi cerita dan
desain universe saya lebih “klik” dengan franchise Star Wars yang kebetulan dirilis ulang bertepatan dengan generasi
saya.
Kemudian muncul J. J. Abrams,
penulis sekaligus sutradara yang angkat nama sejak booming serial Alias dan Lost. Reputasinya di layar lebar pun ternyata sangat impresif. Tak
heran satu per satu proyek ambisius melamar dirinya. Reboot Star Trek di 2009 mampu menjadi
penyegaran dari franchise klasik yang sempat sudah pada titik terendahnya.
Seorang Steven Spielberg pun memberi kepercayaan menggarap Super 8, drama sci-fi sejenis Close
Encounters of the Third Kind yang lagi-lagi meraih banyak pujian dari
kritikus maupun penonton. Setelah Star
Trek Into Darkness (STID) ini, ia akhirnya dilamar untuk menggarap trilogi
ketiga dari mega franchise Star Wars.
Berakhirlah sudah seteru antara fanboy keduanya dengan momentum berbagi
sutradara ini. Alam semesta kembali berdamai. Jadi bagaimana sepak terjang
Abrams di sekuel reboot salah satu yang paling ditunggu-tunggu die hard fansnya
di seluruh dunia?
All I can say is, he’s succeeded
leaping his own previous achievement. Jika reboot ST (2009) seolah “hanya”
pengenalan universe Star Trek ala Abrams, maka STID adalah hasil dari segala
grand concept dari seorang Abrams untuk franchise ini. This is the true ST he
always want to show us : aspek sci-fi sebagai konsep utama namun diseimbangkan
dengan sisi hiburan yang masih terasa. Dan tampaknya memuaskan para Trekkies
sekaligus fans generasi baru yang menjadi salah satu alasan utama kenapa
franchise besar perlu sebuah reboot setiap jangka waktu tertentu. Franchise
yang bagus harus selalu dilestarikan lintas generasi bukan?
Boleh saja sub-judulnya Into Darkness tapi ternyata ia sama
sekali tak berusaha menjadi kelam seperti trend blockbuster Hollywood
akhir-akhir ini. Ia masih mengusung keseruan dan fun yang sama dengan
pendahulunya. Bahkan menurut saya jauh lebih segar dan menyenangkan ketimbang
bagian pertamanya. Ringan, mudah dipahami, namun tidak kacangan. Jalinan kisah
daur ulang, termasuk ditampilkannya Kahn sebagai villain (namun dengan tampilan
dan latar belakang karakter yang jauh berbeda dari Star Trek – The Wrath of Kahn) berhasil ditampilkan secara segar
tanpa terasa jatuh menjadi semacam opera sabun. Sementara kekuatan utama tetap
berada pada jalinan hubungan antar karakter dan perkembangan masing-masing. Ada
cukup banyak karakter yang ditampilkan namun somehow masing-masing terasa pada
porsi yang pas dan adil. Satu hal yang sulit dilakukan dan jarang ditemukan
pada medium film terutama akhir-akhir ini, dimana cenderung saling tumpang
tindih atau ada karakter yang terasa hanya sebagai pemanis layar.
Dari segi sci-fi, STID
menghadirkan universe yang seimbang dan sesuai fungsinya sehingga tidak merebut
perhatian penonton sepanjang durasi. It looked cool, real, but not distracting
the main focus, its story.
Terakhir, action yang tentu saja
menjadi perhatian utama penonton. Jelas sudah terbukti kepiawaian Abrams dalam
menggarap adegan-adegan aksi seru, menegangkan, dan bisa dinikmati. Jadi jika
Anda (dan juga saya) berpikir film-film aksi era 2000-an hanya mengandalkan
efek visual gila-gilaan semata tanpa sense of action excitement, bersyukur
masih ada Abrams yang punya bakat luar biasa di bidang ini. Mr. Bay dan Mr.
Emmerich, please get off the screen!
The Casts
Chemistry bromance yang
ditunjukkan Chris Pine (Kirk) dan Zachary Quinto (Spock) tetap menjadi
highlight yang menarik dan menonjol sepanjang film. Spotlight berikutnya patut
diarahkan pada Benedict Cumberbatch yang berhasil mensejajarkan dirinya dengan
deretan villain kharismatik lainnya dengan gestur dan suara yang mengintimidasi. Tambahan screen’s
sweetheart, Alice Eve (Carol) tak hanya mempercantik layar namun memberikan
kesegaran baru pada franchise.
Sementara tampilan beberapa kru
yang sudah ada sejak seri sebelumnya, seperti Zoe Saldana, Anton Yelchin, John
Cho, Karl Urban, dan Simon Pegg masih mengisi peran dengan keunikan
masing-masing dan tetap menjadikan suasana di dalam USS Enterprise “hidup”.
Technical
Sebuah sci-fi dengan grand design
concept semumpuni ST-nya J. J. Abrams tentu tak perlu diragukan lagi. Semuanya
tertata rapi dan keren. Mulai dari set lokasi seperti keadaan di bumi masa
depan, di dalam pesawat USS Enterprise, desain kostum (terutama seragam) yang
keren tanpa menghilangkan unsur khasnya, hingga visual effect mencengangkan di
tiap frame-nya.
Sinematografi cantik dari Daniel
Mindel, lengkap dengan efek flare di mana-mana yang telah menjadi signature
Abrams. Efek 3D yang meski hasil convert, bukan shot in 3D, ternyata mampu
memuaskan, terutama adegan pembuka yang breathtaking. Adegan-adegan selanjutnya
meski tak begitu menonjol dan minim efek pop-out, namun cukup mampu membawa
penonton seolah-olah menjadi bagian dari awak USS Enterprise.
Score gubahan Michael Giacchino
menggiring penonton ke nuansa grande dari franchise semegah ST. Mungkin tidak
begitu hummable di telinga saya, tetapi setidaknya terdengar sangat megah untuk
ukuran film yang memang disiapkan untuk menjadi blockbuster.
The Essence
Aneka karakter yang berbeda-beda
di dalam awak USS Enterprise mengingatkan kita sekali lagi untuk
mempergunakannya sebagai saling pengisi dan dukung. Contoh yang paling mudah
perbedaan Spock yang rasional dan matematis dengan Kirk yang sering
mengandalkan insting.
They who will enjoy this the most
- Trekkies
- General blockbuster audiences
- Best Achievement in Visual Effects - Roger Guyett, Pat Tubach, Ben Grossmann, and Burt Dalton