The Jose Movie Review
Star Trek Into Darkness


Overview

Saya bukan berasal dari generasi di mana era keemasan Star Trek (ST) berpuncak. Nevertheless, ketika kecil saya masih mengenali versi serial TV-nya (The Next Generation) dengan karakter-karakter uniknya seperti Data, Worf, dan Geordi La Forge. Tetapi sampai di situ saja impresi saya tentang ST dulu, secara dari segi cerita dan desain universe saya lebih “klik” dengan franchise Star Wars yang kebetulan dirilis ulang bertepatan dengan generasi saya.

Kemudian muncul J. J. Abrams, penulis sekaligus sutradara yang angkat nama sejak booming serial Alias dan Lost. Reputasinya di layar lebar pun ternyata sangat impresif. Tak heran satu per satu proyek ambisius melamar dirinya. Reboot Star Trek di 2009 mampu menjadi penyegaran dari franchise klasik yang sempat sudah pada titik terendahnya. Seorang Steven Spielberg pun memberi kepercayaan menggarap Super 8, drama sci-fi sejenis Close Encounters of the Third Kind yang lagi-lagi meraih banyak pujian dari kritikus maupun penonton. Setelah Star Trek Into Darkness (STID) ini, ia akhirnya dilamar untuk menggarap trilogi ketiga dari mega franchise Star Wars. Berakhirlah sudah seteru antara fanboy keduanya dengan momentum berbagi sutradara ini. Alam semesta kembali berdamai. Jadi bagaimana sepak terjang Abrams di sekuel reboot salah satu yang paling ditunggu-tunggu die hard fansnya di seluruh dunia?

All I can say is, he’s succeeded leaping his own previous achievement. Jika reboot ST (2009) seolah “hanya” pengenalan universe Star Trek ala Abrams, maka STID adalah hasil dari segala grand concept dari seorang Abrams untuk franchise ini. This is the true ST he always want to show us : aspek sci-fi sebagai konsep utama namun diseimbangkan dengan sisi hiburan yang masih terasa. Dan tampaknya memuaskan para Trekkies sekaligus fans generasi baru yang menjadi salah satu alasan utama kenapa franchise besar perlu sebuah reboot setiap jangka waktu tertentu. Franchise yang bagus harus selalu dilestarikan lintas generasi bukan?

Boleh saja sub-judulnya Into Darkness tapi ternyata ia sama sekali tak berusaha menjadi kelam seperti trend blockbuster Hollywood akhir-akhir ini. Ia masih mengusung keseruan dan fun yang sama dengan pendahulunya. Bahkan menurut saya jauh lebih segar dan menyenangkan ketimbang bagian pertamanya. Ringan, mudah dipahami, namun tidak kacangan. Jalinan kisah daur ulang, termasuk ditampilkannya Kahn sebagai villain (namun dengan tampilan dan latar belakang karakter yang jauh berbeda dari Star Trek – The Wrath of Kahn) berhasil ditampilkan secara segar tanpa terasa jatuh menjadi semacam opera sabun. Sementara kekuatan utama tetap berada pada jalinan hubungan antar karakter dan perkembangan masing-masing. Ada cukup banyak karakter yang ditampilkan namun somehow masing-masing terasa pada porsi yang pas dan adil. Satu hal yang sulit dilakukan dan jarang ditemukan pada medium film terutama akhir-akhir ini, dimana cenderung saling tumpang tindih atau ada karakter yang terasa hanya sebagai pemanis layar.

Dari segi sci-fi, STID menghadirkan universe yang seimbang dan sesuai fungsinya sehingga tidak merebut perhatian penonton sepanjang durasi. It looked cool, real, but not distracting the main focus, its story.

Terakhir, action yang tentu saja menjadi perhatian utama penonton. Jelas sudah terbukti kepiawaian Abrams dalam menggarap adegan-adegan aksi seru, menegangkan, dan bisa dinikmati. Jadi jika Anda (dan juga saya) berpikir film-film aksi era 2000-an hanya mengandalkan efek visual gila-gilaan semata tanpa sense of action excitement, bersyukur masih ada Abrams yang punya bakat luar biasa di bidang ini. Mr. Bay dan Mr. Emmerich, please get off the screen!

The Casts

Chemistry bromance yang ditunjukkan Chris Pine (Kirk) dan Zachary Quinto (Spock) tetap menjadi highlight yang menarik dan menonjol sepanjang film. Spotlight berikutnya patut diarahkan pada Benedict Cumberbatch yang berhasil mensejajarkan dirinya dengan deretan villain kharismatik lainnya dengan gestur dan  suara yang mengintimidasi. Tambahan screen’s sweetheart, Alice Eve (Carol) tak hanya mempercantik layar namun memberikan kesegaran baru pada franchise.

Sementara tampilan beberapa kru yang sudah ada sejak seri sebelumnya, seperti Zoe Saldana, Anton Yelchin, John Cho, Karl Urban, dan Simon Pegg masih mengisi peran dengan keunikan masing-masing dan tetap menjadikan suasana di dalam USS Enterprise “hidup”.

Technical

Sebuah sci-fi dengan grand design concept semumpuni ST-nya J. J. Abrams tentu tak perlu diragukan lagi. Semuanya tertata rapi dan keren. Mulai dari set lokasi seperti keadaan di bumi masa depan, di dalam pesawat USS Enterprise, desain kostum (terutama seragam) yang keren tanpa menghilangkan unsur khasnya, hingga visual effect mencengangkan di tiap frame-nya.

Sinematografi cantik dari Daniel Mindel, lengkap dengan efek flare di mana-mana yang telah menjadi signature Abrams. Efek 3D yang meski hasil convert, bukan shot in 3D, ternyata mampu memuaskan, terutama adegan pembuka yang breathtaking. Adegan-adegan selanjutnya meski tak begitu menonjol dan minim efek pop-out, namun cukup mampu membawa penonton seolah-olah menjadi bagian dari awak USS Enterprise.

Score gubahan Michael Giacchino menggiring penonton ke nuansa grande dari franchise semegah ST. Mungkin tidak begitu hummable di telinga saya, tetapi setidaknya terdengar sangat megah untuk ukuran film yang memang disiapkan untuk menjadi blockbuster.

The Essence

Aneka karakter yang berbeda-beda di dalam awak USS Enterprise mengingatkan kita sekali lagi untuk mempergunakannya sebagai saling pengisi dan dukung. Contoh yang paling mudah perbedaan Spock yang rasional dan matematis dengan Kirk yang sering mengandalkan insting.

They who will enjoy this the most

  • Trekkies
  • General blockbuster audiences
86th Annual Academy Awards for
  • Best Achievement in Visual Effects - Roger Guyett, Pat Tubach, Ben Grossmann, and Burt Dalton
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.