The Jose Movie Review
9 Summers 10 Autumns


 
Overview

Motivasi. Entah bagaimana mulanya kata itu bisa menjadi komoditas di negeri ini. Bisa jadi keadaan perekonomian kita yang tidak terlalu beranjak jauh beberapa tahun terakhir membuat masyarakat merasa perlu merubah pola pikir dan strategi demi kehidupan yang lebih baik. Sebenarnya motivasi memiliki arti yang luas dan teraplikasikan pada bidang apa saja. Namun yang paling menonjol saat ini adalah motivasi pengembangan diri yang ujung-ujungnya ke arah “kesuksesan secara finansial”. Tidak perlulah saya menyebut nama-nama motivator di negeri ini, nanti satu per satu berniat difilmkan pula. Yang mana tidak begitu perlu juga jika pada dasarnya tidak ada yang berbeda. Well, money talks. Selama setiap buku motivasi yang pada prinsipnya kurang lebih sama selalu menjadi best seller, kesempatan untuk diangkat ke layar lebar semakin besar pula. Tahun lalu kita punya Negeri 5 Menara (N5M) dan 5cm. yang meski secara penghasilan bisa dikatakan berhasil, juga “dipuji karena menginspirasi” bagi mayoritas penonton kita, namun tidak begitu saya sukai. N5M terlalu flat dan “mentah” dalam mengadaptasi buku motivasi ke bentuk film cerita. Ia seperti tak punya konflik yang berarti, hanya pesan-pesan yang terlalu pretensius. Sedangkan 5cm. menginspirasi dengan caranya yang tidak logis dan ajaib (baca: dadakan). Keduanya gagal “menginspirasi” saya.
Lantas tahun ini muncullah 9 Summers 10 Autumns (9S10A) yang juga diangkat dari novel motivasi atau cenderung ke arah biografi dari Iwan Setyawan, seorang anak sopir angkot di Kota Batu yang sukses menjadi consultant di New York. Ketika bukunya dirilis yang paling menarik perhatian saya adalah konsep “dari Kota Apel yang menaklukkan Big Apple” yang tak hanya sekedar analogi kebetulan namun berdasarkan fakta yang ada. Ketika filmnya hendak diangkat, saya tidak memiliki ekspektasi muluk-muluk untuknya karena anggapan sekilas bahwa ini akan menjadi just-another-N5M.
Rupanya saya meremehkan nama Ifa Isfansyah selaku sutradara dan Fajar Nugroho selaku penata skrip yang berhasil menghidupkan kisah 9S10A dengan sangat baik, indah, dekat dengan mayoritas masyarakat kita, dan dengan pendekatan penceritaan yang unik dan menarik. Secara garis besar, kita diajak mengikuti jejak Iwan Setyawan ketika telah menjejakkan kaki di New York. Sebuah refleksi diri terjadi pada dirinya yang membawa kita flashback ke masa kecil hingga kesuksesannya itu. Sebuah biografi bergulirlah.
Idealnya sebuah film memiliki satu saja  fokus cerita untuk disampaikan. Dengan durasi yang tergolong singkat, fokus cerita yang bercabang ke mana-mana terancam (dan memang seringkali demikian) merusak kenikmatan keselurahan film. Tentu saja maksud yang ingin disampaikan pun menjadi tidak mengena dan bias. 9S10A memilih untuk murni mengangkat sebuah biografi seorang Iwan Setyawan. Sama seperti sebuah kehidupan, ia memiliki berbagai aspek. Berpotensi untuk kehilangan fokus, namun ternyata skrip mampu membagi porsi masing-masing yang diletakkan bergantian, tidak tumpang-tindih, dan tetap memiliki konsistensi satu fokus dengan porsi paling besar yang mempengaruhi keseluruhan cerita, yakni berkaitan dengan karakteristik tokoh utama.
Anda tidak akan menemukan titik klimaks dari kisah hidup Iwan Setyawan meski konflik yang terjadi telah dimulai sejak awal film. Konflik karakteristik tokoh utama yang berseberangan dengan sang ayah (dan juga mayoritas masyarakat kita dengan budaya patriarki-nya yang aneh) diperlihatkan dalam berbagai adegan. Namun bukan berarti 9S10A jatuh menjadi film yang begitu membosankan. Ifa dan Fajar pandai merangkai tiap adegan menjadi sumber informasi tentang kepribadian Iwan. Apalagi kejadian-kejadian kecil (terutama potensi spin-off film biografi diva terkenal Indonesia itu :D) dan beberapa karakter yang sukses menjadi penghibur di berbagai kesempatan dengan kadar yang pas.
Sayang, 9S10A mengakhiri cerita dengan biasa saja. Seharusnya resolusi hubungan antara ayah-anak bisa terjalin dengan lebih hangat daripada yang tersaji di layar dimana terasa sekali kurang dalam tergali. Padahal itu menjadi fokus utama cerita. Belum lagi slogan seorang Iwan Setyawan yang berulang kali diucapkan menjelang akhir film. Menurut saya pribadi, cukup sekali diucapkan ketika di New York dimana menyatu sekali dengan dialog.
Anyway, overall 9S10A jauh lebih baik dari ekspektasi dan bayangan saya sebelum menyaksikannya. Sebuah adaptasi yang mampu bertransformasi menjadi film digarap detail di setiap aspeknya dan dengan pendekatan yang unik.

The Casts

Sebagai pengisi karakter utama, Ihsan Tarore (iya... Ihsan Idol itu) masih sering terasa kaku meski memiliki gesture yang (katanya sih) mirip Iwan Setyawan asli. Bahkan pemeran karakter Iwan kecil, Shafil Hamdi Nawara tampil jauh lebih baik. Lihat saja titik paling flat dan terasa seperti menghafal dialog pementasan drama Bahasa Inggris di sekolah : ketika Iwan berdialog dengan gadis bule bernama Sharon yang tak kalah kakunya.
Untung saja jajaran cast yang lain tampil sangat luar biasa, terutama Dewi Irawan (yang tidak perlu dipertanyakan lagi kualitasnya) dan Alex Komang. Di lini pemeran pendukung, penampilan Epy Kusnandar, Ria Irawan, dan Kayana Ayunda Dianti sebagai Rini kecil, berhasil mencuri layar meski porsinya sangat minim.
Tak ketinggalan kehadiran Dira Sugandi (iya, biduwan jazz itu) dan Agni Pratistha yang menarik bagi yang mengenalinya.

Technical

9S10A digarap dengan teknis yang sangat mumpuni di berbagai aspeknya. Mari kita mulai dari yang paling menonjol dan paling layak diapresiasi : detail art dan properti yang luar biasa. Kota Batu seolah disulap kembali ke tahun silam (70-90an) lengkap dengan adegan bioskop misbar (gerimis-bubar, semacam bioskop drive-in) Kelud yang susah dilupakan, terutama bagi moviegoers yang merindukan bioskop vintage). Begitu juga dengan New York awal 2000-an yang ditandai dengan berbagai poster film di stasiun kereta api bawah tanah dan billboard-billboard film di Madison Square Garden yang sesuai dengan tahunnya.
Dandanan dan kostum juga tak luput diperhatikan detailnya. Tata rambut 90-an ala Sahrul Gunawan di Jin dan Jun dan kostum ala Catatan Si Boy. Detail sekali!
Untuk tata kamera dan tone warna tak perlu diragukan lagi. Setiap momen ter-capture dengan sangat indah, mulai Kota Batu, Bogor, Jakarta, hingga New York. Score-nya menarik dan tidak monoton, menyatu dengan tiap adegan dengan pas. Divisi sound pun tak mengalami kendala sama sekali, tergarap dengan rapi dan baik. Dialog yang terdengar jelas, sound effect yang sesekali memanfaatkan fasilitas surround dengan baik.

The Essence

Di atas kertas 9S10A memang mengedepankan dukungan keluarga dalam kesuksesan seseorang. Banyak adegan memang menunjukkan hal tersebut. Namun hubungan antara ayah-anak dengan latar budaya patriarki ala masyarakat Indonesia yang unik menjadi hal yang menarik dan nampaknya memang dijadikan highlight oleh Ifa dan Fajar. Banyak sekali adegan dan unsur-unsur yang menyuarakan aspek tersebut.
Figur ayah yang menginginkan anaknya menjadi seorang laki-laki yang serba “cowok” di matanya : berani berkelahi, bermain sepak bola, memperbaiki mesin, adalah sebuah potret keluarga yang terjadi pada mayoritas masyarakat kita. Karakter Iwan yang cenderung sebaliknya seolah mempertanyakan figur anak laki-laki yang bagaimana yang diinginkan oleh seorang ayah. Apa makna menjadi “laki-laki” yang sebenarnya. Sebuah highlight yang masih jarang diangkat di sinema kita dan ini menarik. Tak sampai mendobrak budaya patriarki, cukup mempertanyakannya, sama seperti film-film Ifa lainnya yang lebih banyak bertanya kepada penonton daripada memberikan jawaban.

They who will enjoy this the most

General audiences, terutama orang tua dan anak-anaknya.
 Lihat data film ini di Film Indonesia
Diberdayakan oleh Blogger.