4/5
Based on Book
Biography
Drama
Family
Indonesia
Personality
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
9 Summers 10 Autumns
Overview
Motivasi.
Entah bagaimana mulanya kata itu bisa menjadi komoditas di negeri ini. Bisa jadi
keadaan perekonomian kita yang tidak terlalu beranjak jauh beberapa tahun
terakhir membuat masyarakat merasa perlu merubah pola pikir dan strategi demi
kehidupan yang lebih baik. Sebenarnya motivasi memiliki arti yang luas dan
teraplikasikan pada bidang apa saja. Namun yang paling menonjol saat ini adalah
motivasi pengembangan diri yang ujung-ujungnya ke arah “kesuksesan secara
finansial”. Tidak perlulah saya menyebut nama-nama motivator di negeri ini,
nanti satu per satu berniat difilmkan pula. Yang mana tidak begitu perlu juga
jika pada dasarnya tidak ada yang berbeda. Well, money talks. Selama setiap
buku motivasi yang pada prinsipnya kurang lebih sama selalu menjadi best
seller, kesempatan untuk diangkat ke layar lebar semakin besar pula. Tahun lalu
kita punya Negeri 5 Menara (N5M) dan 5cm. yang meski secara penghasilan bisa
dikatakan berhasil, juga “dipuji karena menginspirasi” bagi mayoritas penonton
kita, namun tidak begitu saya sukai. N5M terlalu flat dan “mentah” dalam
mengadaptasi buku motivasi ke bentuk film cerita. Ia seperti tak punya konflik
yang berarti, hanya pesan-pesan yang terlalu pretensius. Sedangkan 5cm. menginspirasi dengan caranya yang
tidak logis dan ajaib (baca: dadakan). Keduanya gagal “menginspirasi” saya.
Lantas tahun
ini muncullah 9 Summers 10 Autumns
(9S10A) yang juga diangkat dari novel motivasi atau cenderung ke arah biografi
dari Iwan Setyawan, seorang anak sopir angkot di Kota Batu yang sukses menjadi
consultant di New York. Ketika bukunya dirilis yang paling menarik perhatian
saya adalah konsep “dari Kota Apel yang menaklukkan Big Apple” yang tak hanya
sekedar analogi kebetulan namun berdasarkan fakta yang ada. Ketika filmnya
hendak diangkat, saya tidak memiliki ekspektasi muluk-muluk untuknya karena
anggapan sekilas bahwa ini akan menjadi just-another-N5M.
Rupanya saya
meremehkan nama Ifa Isfansyah selaku sutradara dan Fajar Nugroho selaku penata
skrip yang berhasil menghidupkan kisah 9S10A dengan sangat baik, indah, dekat
dengan mayoritas masyarakat kita, dan dengan pendekatan penceritaan yang unik
dan menarik. Secara garis besar, kita diajak mengikuti jejak Iwan Setyawan
ketika telah menjejakkan kaki di New York. Sebuah refleksi diri terjadi pada
dirinya yang membawa kita flashback ke masa kecil hingga kesuksesannya itu. Sebuah
biografi bergulirlah.
Idealnya
sebuah film memiliki satu saja fokus
cerita untuk disampaikan. Dengan durasi yang tergolong singkat, fokus cerita
yang bercabang ke mana-mana terancam (dan memang seringkali demikian) merusak
kenikmatan keselurahan film. Tentu saja maksud yang ingin disampaikan pun menjadi
tidak mengena dan bias. 9S10A memilih untuk murni mengangkat sebuah biografi
seorang Iwan Setyawan. Sama seperti sebuah kehidupan, ia memiliki berbagai
aspek. Berpotensi untuk kehilangan fokus, namun ternyata skrip mampu membagi
porsi masing-masing yang diletakkan bergantian, tidak tumpang-tindih, dan tetap
memiliki konsistensi satu fokus dengan porsi paling besar yang mempengaruhi
keseluruhan cerita, yakni berkaitan dengan karakteristik tokoh utama.
Anda tidak
akan menemukan titik klimaks dari kisah hidup Iwan Setyawan meski konflik yang
terjadi telah dimulai sejak awal film. Konflik karakteristik tokoh utama yang
berseberangan dengan sang ayah (dan juga mayoritas masyarakat kita dengan
budaya patriarki-nya yang aneh) diperlihatkan dalam berbagai adegan. Namun
bukan berarti 9S10A jatuh menjadi film yang begitu membosankan. Ifa dan Fajar
pandai merangkai tiap adegan menjadi sumber informasi tentang kepribadian Iwan.
Apalagi kejadian-kejadian kecil (terutama potensi spin-off film biografi diva
terkenal Indonesia itu :D) dan beberapa karakter yang sukses menjadi penghibur
di berbagai kesempatan dengan kadar yang pas.
Sayang, 9S10A
mengakhiri cerita dengan biasa saja. Seharusnya resolusi hubungan antara
ayah-anak bisa terjalin dengan lebih hangat daripada yang tersaji di layar
dimana terasa sekali kurang dalam tergali. Padahal itu menjadi fokus utama
cerita. Belum lagi slogan seorang Iwan Setyawan yang berulang kali diucapkan
menjelang akhir film. Menurut saya pribadi, cukup sekali diucapkan ketika di
New York dimana menyatu sekali dengan dialog.
Anyway,
overall 9S10A jauh lebih baik dari ekspektasi dan bayangan saya sebelum
menyaksikannya. Sebuah adaptasi yang mampu bertransformasi menjadi film digarap
detail di setiap aspeknya dan dengan pendekatan yang unik.
The Casts
Sebagai
pengisi karakter utama, Ihsan Tarore (iya... Ihsan Idol itu) masih sering
terasa kaku meski memiliki gesture yang (katanya sih) mirip Iwan Setyawan asli.
Bahkan pemeran karakter Iwan kecil, Shafil Hamdi Nawara tampil jauh lebih baik.
Lihat saja titik paling flat dan terasa seperti menghafal dialog pementasan
drama Bahasa Inggris di sekolah : ketika Iwan berdialog dengan gadis bule
bernama Sharon yang tak kalah kakunya.
Untung saja
jajaran cast yang lain tampil sangat luar biasa, terutama Dewi Irawan (yang
tidak perlu dipertanyakan lagi kualitasnya) dan Alex Komang. Di lini pemeran
pendukung, penampilan Epy Kusnandar, Ria Irawan, dan Kayana Ayunda Dianti
sebagai Rini kecil, berhasil mencuri layar meski porsinya sangat minim.
Tak
ketinggalan kehadiran Dira Sugandi (iya, biduwan jazz itu) dan Agni Pratistha
yang menarik bagi yang mengenalinya.
Technical
9S10A
digarap dengan teknis yang sangat mumpuni di berbagai aspeknya. Mari kita mulai
dari yang paling menonjol dan paling layak diapresiasi : detail art dan
properti yang luar biasa. Kota Batu seolah disulap kembali ke tahun silam
(70-90an) lengkap dengan adegan bioskop misbar (gerimis-bubar, semacam bioskop
drive-in) Kelud yang susah dilupakan, terutama bagi moviegoers yang merindukan
bioskop vintage). Begitu juga dengan New York awal 2000-an yang ditandai dengan
berbagai poster film di stasiun kereta api bawah tanah dan billboard-billboard
film di Madison Square Garden yang sesuai dengan tahunnya.
Dandanan dan
kostum juga tak luput diperhatikan detailnya. Tata rambut 90-an ala Sahrul
Gunawan di Jin dan Jun dan kostum ala Catatan Si Boy. Detail sekali!
Untuk tata
kamera dan tone warna tak perlu diragukan lagi. Setiap momen ter-capture dengan
sangat indah, mulai Kota Batu, Bogor, Jakarta, hingga New York. Score-nya
menarik dan tidak monoton, menyatu dengan tiap adegan dengan pas. Divisi sound
pun tak mengalami kendala sama sekali, tergarap dengan rapi dan baik. Dialog
yang terdengar jelas, sound effect yang sesekali memanfaatkan fasilitas
surround dengan baik.
The Essence
Di atas kertas
9S10A memang mengedepankan dukungan keluarga dalam kesuksesan seseorang. Banyak
adegan memang menunjukkan hal tersebut. Namun hubungan antara ayah-anak dengan
latar budaya patriarki ala masyarakat Indonesia yang unik menjadi hal yang
menarik dan nampaknya memang dijadikan highlight oleh Ifa dan Fajar. Banyak
sekali adegan dan unsur-unsur yang menyuarakan aspek tersebut.
Figur ayah
yang menginginkan anaknya menjadi seorang laki-laki yang serba “cowok” di
matanya : berani berkelahi, bermain sepak bola, memperbaiki mesin, adalah
sebuah potret keluarga yang terjadi pada mayoritas masyarakat kita. Karakter
Iwan yang cenderung sebaliknya seolah mempertanyakan figur anak laki-laki yang
bagaimana yang diinginkan oleh seorang ayah. Apa makna menjadi “laki-laki” yang
sebenarnya. Sebuah highlight yang masih jarang diangkat di sinema kita dan ini
menarik. Tak sampai mendobrak budaya patriarki, cukup mempertanyakannya, sama
seperti film-film Ifa lainnya yang lebih banyak bertanya kepada penonton daripada
memberikan jawaban.
They who will enjoy this the most
General
audiences, terutama orang tua dan anak-anaknya.
Lihat data film ini di Film Indonesia