3/5
Action
Crime
Indonesia
Pop-Corn Movie
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Java Heat
Overview
Conor Allyn (bersama sang ayah,
Rob Allyn) adalah produser serta penulis naskah muda asal Australia yang pada
2009 lalu memproduksi film Indonesia Merah
Putih beserta dua sekuelnya dimana ia juga menduduki kursi sutradara, Darah Garuda (2010) dan Hati Merdeka (2011). Harus diakui
ketiganya memiliki adegan-adegan laga yang berani tampil di atas rata-rata
(setidaknya sekelas Hollywood) ketika Indonesia kesulitan untuk menggarapnya
terutama karena faktor budget, meski secara naskah masih sangat miskin dan
banyak kekurangan di mana-mana. Ketiganya sempat menembus pasar internasional
lewat home video yang beredar di beberapa negara, termasuk Jerman.
Di tahun 2013 ini, Conor Allyn
bersama production house-nya, Margate House, kembali menggarap film action di
Indonesia dengan melibatkan aktor-aktris terkenal serta kru Indonesia. Tak
hanya itu, ia juga melebarkan sedikit sayapnya dengan berani menyewa aktor
Hollywood Mickey Rourke dan Kellan Lutz untuk mengisi peran utama. Pasar
Amerika Serikat pun dicoba untuk dimasuki, menyusul sukses The Raid di bioskop sana tahun lalu. Faktor Rourke dan Lutz
sebenarnya menjadi pemulus jalan utama distribusi ke pasar Amerika Serikat.
Lantas apa yang ditawarkan Allyn
lewat Java Heat (JH)? Jika pernah
atau malah sering menyaksikan film-film laga kelas B yang melibatkan konspirasi
anggota keluarga kerajaan, penculikan anggota keluarga kerajaan wanita bermotif
harta, dan pengkhianatan, maka Anda akan cukup familiar dengan alur ceritanya.
Ada sedikit variasi yang membuatnya menjadi sedikit lebih menarik, namun
lagi-lagi Allyn belum mampu mengeksekusinya dalam bentuk visual dengan baik.
Overall secara cerita, JH seperti film aksi tanpa nyawa, dengan karakteristik
yang serba dangkal, gagal mengundang simpatik penontonnya, dan dialog-dialog
yang tak kalah cheesy.
Oke, memang ada satu-dua dialog
ringan yang cukup cerdas dan menggelitik, namun jumlahnya yang tak banyak
tertutupi dan tak mampu menyelamatkan kualitas skrip keseluruhan sama sekali.
Begitu pula sindiran-sindiran kepada banyak pihak, terutama pemerintah negara
ini, Amerika Serikat, dan kepribadian bangsa ini yang sayang sekali harus lewat
begitu saja tanpa kesan yang mendalam.
Untung saja kadar dan kualitas
adegan-adegan aksinya cukup banyak dan memang bercita rasa Hollywood sehingga
setidaknya JH tak sampai terlalu jatuh dalam jurang kebosanan. Masih sangat
enjoyable dan cukup memicu adrenalin meski sesekali saya masih merasakan
kekonyolan.
In the end, JH berhasil
meng-capture keindahan aneka unsur budaya Jawa
secara atmosferik dan menyatu dalam adegan-adegannya, seperti keraton,
pakaian adat, batik, tari-tarian, dokar, upacara adat, eksotisme wanita, dan
bahkan watak kepribadian orang-orangnya. Setidaknya kita bisa berharap JH
menjadi pembuka jalan bagi budaya Indonesia lainnya untuk dilirik oleh dunia
yang lebih luas dan dilibatkan dalam proyek-proyek film yang skalanya lebih
besar dan dengan skrip yang jauh lebih baik.
The Casts
Mickey Rourke yang berkat
perannya di The Wrestler mendapatkan
gelar Award-winning actor, kali ini harus rela memerankan karakter yang
berpotensi kharismatik, namun dengan kedalaman serta perkembangan karakter yang
dangkal. Sungguh sangat disayangkan. Sementara Kellan Lutz masih cukup menarik
perhatian di layar khususnya berkat adegan aksi yang porsinya paling banyak.
Lebih menarik ketimbang perannya di The
Twilight Saga.
Dari jajaran aktor dalam negeri,
Ario Bayu masih memerankan karakter tipikal, seperti misalnya di Kala : Dead Time. Tetapi jangan salah,
he’s really good at it with his charisma. Rio Dewanto, Atiqah Hasiholan, dan
Mike Lucock mendapatkan porsi peran yang tak banyak meski (juga) berpotensi
menarik. Yang justru berhasil mencuri perhatian meski porsinya sangat sedikit
adalah Verdi Solaiman dan Ully Auliani. Sisanya seperti Astri Nurdin, Tio
Pakusadewo, Frans Tumbuan, dan Rudy Wowor bisa dibilang pelengkap yang hanya
dimanfaatkan popularitasnya semata.
Technical
Tidak ada cacat yang begitu
terlihat dari segi teknis, terutama sound effect yang sudah setara film-film
aksi Hollywood. Begitu pula visual effect yang tampil meyakinkan, kecuali
adegan ledakan di Keraton.
Editingnya cukup efektif meski
penggunaan multi-panel frame masih terasa kurang pas dari segi fungsional.
Bahkan di adegan terakhir malah terkesan seperti film kelas B.
Terakhir, score yang ada bisa
dibilang mampu mendukung adegan-adegan aksi yang cukup memompa adrenalin.
The Essence
Ah selalu ada konspirasi
tersembunyi di balik setiap peristiwa yang melibatkan pemerintahan dan/atau
aparat negara. Yang kita lihat di media cuma “pihak disalahkan yang harus ada”.
They who will enjoy this the most
Penonton yang menyukai film aksi
tanpa banyak berpikir