Overview
Dunia hiburan Indonesia sempat
disemarakkan oleh kehadiran grup-grup lawak legendaris. Sebut saja yang paling
terkenal Warkop DKI, Bagito, dan di atas segalanya, Srimulat. Sayang seiring
dengan tren humor yang mulai beralih ke parodi seperti Padhyangan atau formasi
terbarunya Project Pop, dan tren terkini berupa stand-up comedy, grup-grup
lawak yang mengandalkan guyonan slapstick dan plesetan kata-kata perlahan mulai
menghilang, tergantikan oleh humor-humor jorok dan/atau cerdas yang belakangan
sedang tren. Padahal kesuksesan acara TV OVJ menjadikan bukti bahwa tayangan
lawak ala wayang orang ala Srimulat sebenarnya masih bisa eksis hingga saat
ini, apalagi nama Srimulat sudah menjadi legenda dan bagian dari budaya
Indonesia.
Memang saya belum pernah
menyaksikan pergelaran panggung Srimulat secara langsung yang dulu pernah rutin
digelar di THR Surabaya, namun saya mengenal Srimulat dan menjadi penonton
setia ketika salah satu stasiun televisi nasional kita membawa pergelaran ini
ke layar kaca. Tiap kamis malam, sudah bisa dipastikan saya beserta seluruh
anggota keluarga berkumpul di satu kamar untuk bersama-sama tertawa
terbahak-bahak menyaksikan tingkah laku khas karakter-karakter dan
jargon-jargon memorable-nya yang menggelitik.
Charles Gozali, generasi ketiga
dari Garuda Film yang pernah berjaya di era 90an berkat serial lagi seperti Jacky, Jacklyn dan Buce Li,
melalui MagMA Entertainment mencoba mengangkat lagi idola masa kecilnya itu ke
layar lebar melalui sebuah film bertema reuni. Tak hanya mentah-mentah
memindahkan pergelaran panggung Srimulat ke layar lebar, namun ia membungkusnya
dalam sebuah drama yang seolah-olah terjadi sungguhan.
Guyonan-guyonan khas Srimulat,
baik berupa tingkah laku slapstick maupun dialog-dialog plesetan yang sudah
pasti dihafal luar kepala oleh para fansnya, diusung kembali oleh
karakter-karakter khas seperti Ibu Jujuk, Mamiek, Gogon, Kadir, dan tentu saja
Tessy. Tentu saja ada humor-humor baru yang masih setipe dengan lawakan klasik
mereka. Semuanya terangkai dalam sebuah sajian drama yang tak hanya
mempertemukan kembali semua personel Srimulat yang kini memiliki jalan hidup
yang berbeda-beda, namun juga menginspirasi melalui karakter pemersatu yang
mewujudkan mimpinya.
Tak ketinggalan Finding Srimulat (FS) turut mengupas
sejarah Srimulat pertama kali hingga tribute anggota-anggota Srimulat yang
telah meninggal dunia tanpa ada satu pun yang ketinggalan. Menjadikan FS adalah
sebuah tribute komplit. Tak hanya itu, sesuai judulnya FS seolah menjadi titik
awal menemukan kembali Srimulat ke dunia modern dalam format media apapun.
Memang ada banyak bagian yang
saya rasa masih bisa lebih dimaksimalkan dengan guyonan-guyonan yang lebih
banyak dan lebih lucu. Namun apa yang tersaji di layar sudah memberikan takaran
yang pas antara komedi dan dramanya. Antara yang bikin terharu maupun yang
bikin terhura. Tak heran jika Anda yang besar dengan Srimulat akan tertawa
sambil menitikkan air mata haru ketika menyaksikannya, bahkan sejak adegan
pembuka yang jelas-jelas menggugah kenangan masa kecil moviegoers di mana saja.
Semoga saja FS menjadi perintis
kisah-kisah Srimulat yang menurut saya masih berpotensi untuk digali lebih
dalam dan luas. Siapa tahu tren komedi seperti ini bisa booming lagi dan
menghadirkan karakter-karakter legendaris lain maupun karakter-karakter baru ke
depannya. Jika saja ada banyak pemuda seperti Adika Fajar di Indonesia, sudah
barang pasti kebudayaan asli kita akan terus bertahan dan beradapatasi di dunia
modern.
The Casts
Semua cast asli Srimulat yang
muncul di sini kembali membawakan karakter-karakter khas-nya. Namun ternyata
tak hanya melawak, Gogon, Mamiek, Kadir, dan Tessy (Kabul) pun ternyata bisa berakting
drama yang menyentuh tanpa terkesan berlebihan.
Reza Rahadian kembali membuktikan
kepiawaian aktingnya setelah ribuan pujian atas penampilannya sebagai B.J.
Habibie. Perkembangan karakter yang paling menonjol sepanjang durasi berhasil
ditampilkan dengan meyakinkan olehnya. Sementara tak ada yang benar-benar
istimewa dari penampilan Rianti Cartwright yang memang tak diberi banyak porsi
namun tampil cukup memuaskan.
Nadila Ernesta mampu sedikit
mencuri layar berkat penampilannya yang tak banyak namun cukup mengesankan.
Sementara Fauzi Baadilla memainkan karakter yang tak beda jauh dari biasanya.
Gestur dan aksennya seolah masih tersisa dari perannya di RectoVerso.
Deretan cameo seperti Butet
Kartaredjasa, Ray Sahetapy, Nungki Kusumastuti, dan bahkan Jokowi turut
meramaikan serta mewarnai suasana yang terbukti berhasil.
Technical
Sinematografi yang cantik menjadi
nilai plus tersendiri. Ia berhasil menggabungkan nuansa klasik dan tradisional
Solo dengan elemen-elemen modern seperti flashmob yang masih sangat khas
Srimulat. Original score Srimulat yang juga sudah sangat khas itu pun digubah
dengan aransemen yang lebih segar. Belum lagi Lenggang Puspita karya Guruh Soekarno Putra dan dibawakan oleh
Ahmad Albar yang juga diremix oleh DJ Winky & Mahesa. Menjadikan nuansa
haru dan hura menjadi tepat sasaran dan termanfaatkan secara maksimal.
Editing yang cukup unik dan
berkali-kali dialog yang diletakkan antar dua adegan yang berbeda memberikan
kesegaran tersendiri meski masih belum benar-benar pas peletakannya. Yang
paling disayangkan adalah satu adegan yang jelas-jelas out of sync antara
gambar (gerak bibir) dan audio-nya. Meski hanya terjadi pada satu adegan dengan
durasi beberapa menit namun bagi saya ini sangat disayangkan.
The Essence
Kecintaan kita terhadap sesuatu
pasti membuahkan hasil jika dikerjakan dengan hati dan kegigihan. Terwujudnya
film Finding Srimulat ini sendiri salah
satu buktinya.