The Jose Movie Review
Tampan Tailor


Overview

Ini dia film “satunya lagi” dari Vino G. Bastian yang entah disengaja atau tidak rilis di hari yang persis sama, selain Madre yang sudah saya review sebelumnya. Tampan Tailor (TT) diproduksi oleh Maxima yang rupanya kembali menggarap film-film serius dan menggeser film-film horor yang menjadi tambang emasnya selama ini ke “anak perusahaan”-nya bertajuk Movie Eight. Sekali lagi menggandeng Guntur Soeharjanto sebagai sutradara setelah Brandal-Brandal Ciliwung tahun lalu.
Membaca premisnya mungkin banyak yang mengambil kesimpulan bahwa TT punya kemiripan (atau lebih sadis lagi, copy-paste) dengan The Pursuit of Happyness. Namun saya sarankan Anda untuk tidak negative thinking terlebih dahulu karena tidak ada premise yang benar-benar baru di dunia ini. Semuanya merupakan perkembangan dari premise yang sudah ada sebelumnya. Lagipula TT sama sekali jauh dari template yang dituduhkan. Kisah perjuangan hidup seorang pria dan anaknya sangat mudah ditemui di kota-kota besar di Indonesia.
Sebagai sebuah drama perjuangan hidup, TT menawarkan kisah jatuh-bangun yang natural, mengalir, dan jauh dari kesan mengeksploitasi penderitaan karakter dengan berlebihan. Justru yang muncul adalah keseruan tersendiri, misalnya adegan kucing-kucingan di stasiun, dan juga mengundang tawa berkat karakter-karakter seperti Darman (Agus Ringgo) dan Prita (Marsha Timothy). Semuanya terjalin dalam porsi yang sangat pas sehingga efeknya ke penonton (terutama saya) pun cukup terasa pas sasaran. Keharuan, keseruan, dan kelucuan, menjadikan perjalanan perjuangan ayah-anak ini menjadi enjoyable dan manis. Benar-benar skrip yang dikerjakan dengan baik. Tidak sekedar asal menggurui, sisi hiburannya diletakkan pada porsi yang sangat pas. Selipan-selipan kritik sosial pun tersampaikan dengan halus dan rapi seperti pada dialog maupun kostum.
TT di mata saya adalah sebuah feel-good movie dimana Anda akan menemukan karakter-karakter yang baik dalam mendukung cerita. Mungkin ada beberapa karakter antagonis, namun untungnya tidak diberi porsi yang banyak dan bukan menjadi pengaruh besar dalam cerita. Cukup inspiratif baik sebagai manusia secara umum maupun sebagai orang tua atau anak. Membuat Anda meninggalkan studio bioskop sambil tersenyum, ah hidup memang indah jika selalu mau kita pandang seperti itu.

The Casts

Dibandingkan di Madre maupun film-film sebelumnya, harus diakui Vino G. Bastian mengalami perkembangan kemampuan akting yang cukup besar di sini. Kharismanya sebagai seorang ayah yang berupaya segala cara menjelaskan suatu keadaan kepada anaknya terasa kuat sekali. Sangat berbeda dengan tipikal karakter yang kerap dimainkannya selama ini. Apalagi chemistry yang dibangun dengan karakter si anak, Jefan Nathanio terjalin dengan sangat meyakinkan. Tentu saja akting yang tak kalah kuatnya ditunjukkan oleh Jefan sendiri.
Marsha Timothy masih memerankan karakter yang tak beda jauh dari peran sebelum-sebelumnya, gadis jutek yang baik hati. Untung saja ia memang pas memerankan karakter seperti itu dan turut berhasil pula membangun chemistry, baik bersama aktor yang sekarang menjadi suami resminya di kehidupan nyata maupun Jefan.
Kembalinya Ringgo Agus Rakhman di film layar lebar tentu membayar kerinduan penonton akan gesture yang sudah alami unsur komedinya. Belum lagi celetukannya yang tak kalah mengundang tawa bersama Lisye Herliman. Tak terlalu banyak, kisahnya tak kalah pahit, namun mampu memberi kesegaran tersendiri dalam cerita TT.

Technical

“Keindahan” suasana urban Jakarta terekam dengan sangat baik dan detail berkat arahan fotografi yang sangat sinematik. Art directing yang sesuai dengan tema cerita turut memperindah layar. Oke, mungkin ada yang menganggap dandanan dan kostum Vino terlalu parlente untuk karakternya tetapi bisa dimaklumi dari segi konsep cerita yang mengedepankan filosofi “jas”. Toh, kulit tanned dan pilihan tata rambutnya sudah mencerminkan keadaan karakter. Orang miskin bukan berarti tidak bisa tampil klimis kan?
Yang agak saya sayangkan adalah editingnya, terutama kontinyuiti antar angle yang sering kali meleset. Memang tidak begitu mempengaruhi cerita namun agak kurang nyaman saja di mata saya. Terkesan teknisnya tidak serapi jahitan Topan.
Score dari Tya Subiyakto tidak perlu diragukan lagi. Hampir semuanya berhasil membangkitkan emosi penonton, meski kadang di beberapa bagian terasa terlalu dipaksakan harus ada score-nya. Namun overall, score masih bisa dikatakan berhasil. Ditambah single Ya Sudahlah milik Bondan Prakoso feat Fade2Black yang sudah sering dipakai di medium audio-visual namun kali ini terasa pas sekali.
Artikulasi dialog karakter masih banyak yang kurang jelas dan tata suaranya masih sering jembret. Entah faktor tata suara di studio atau memang dari master aslinya.

The Essence

Seperti kata Topan, hidup itu memang seperti roda yang kadang di atas, kadang di bawah. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menjalaninya dengan passion dan semangat. Aih, saya benci voice-over yang terkesan menggurui ini tapi so damn right.

They who will enjoy this the most

  • Penonton umum
  • Seorang ayah (atau juga ibu) dan anak-anaknya
  • Penonton yang pernah merasakan jatuh-bangun kehidupan
Lihat situs resmi film ini.
Diberdayakan oleh Blogger.