2.5/5
Arthouse
Asia
Documentary
Drama
Indonesia
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ziarah
Selain industri film nasional yang meski belum punya pondasi
sistem yang kuat tapi setidaknya cukup ‘hidup’, Indonesia ternyata punya
‘industri’ film-film daerah yang tak kalah punya massa, setidaknya di region
masing-masing. Ada film Makassar yang sedang berkembang cukup menggembirakan
dengan hasil box office yang tergolong fantastis bahkan untuk ukuran peredaran
nasional (meski sebagian besar pendapatannya berasal dari daerah sendiri), ada
juga perfilman Yogyakarta yang memilih style ‘alternatif’ yang cenderung
mengarah ke gaya art-house alternatif internasional. Dengan sering
diikut-sertakannya ke festival-festival film internasional yang lebih bersifat
arthouse, mungkin ada alasan mengapa form seperti itu yang mereka pilih. Toh
jika punya pencapaian internasional, setidaknya bisa menjadi modal promosi yang
cost-nya tak perlu terlalu tinggi dan lebih mudah meyakinkan jaringan bioskop
untuk memutar di layar-layarnya. Media pun akan berbondong-bondong meliput
tanpa dibayar. Beberapa tahun terakhir ‘industri’ (atau mungkin lebih tepat
menyebutnya sebagai ‘komunitas’) film Yogyakarta menjadi perhatian karena
prestasinya. FFI sebagai ajang penghargaan film nasional tertinggi pun
mengapresiasinya dengan menganugerahkan Siti
karya Eddie Cahyono, sebagai Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan
Penata music Terbaik di FFI 2015 silam.
Selain Eddie, ada juga nama BW Purbanegara yang populer di
scene perfilman Yogyakarta. Ia dikenal lewat film-film pendek seperti Berdiri di Atas Kaki Sendiri, Say Hello to Yellow, Bermula dari A, dan Kamu di Kanan Aku Senang, juga menggarap skenario Another Trip to the Moon-nya Ismail
Basbeth. Tahun 2016, BW memberanikan diri menggarap filmnya sendiri, baik
sebagai produser, penulis naskah, sutradara, sekaligus editor. Ziarah pun dinominasikan di FFI 2016
untuk kategori Penulis Skenario Asli Terbaik dan baru-baru ini memenangkan dua
kategori dari empat nominasi di ASEAN International Film Festival and Awards 2017. Mei 2017 ini, Ziarah mendapatkan slot tayang terbatas
di sejumlah layar bioskop komersial Indonesia.
Di usianya yang sudah lewat angka 90, Mbah Sri penasaran di
mana letak makam mendiang suaminya, Prawiro, yang konon tewas saat Agresi
Militer Belanda ke-2 tahun 1948 silam. Ia pun bertekad mencari letak makam sang
suami dengan tujuan sederhana; agar jika kelak meninggal dunia bisa dimakamkan
tepat di sebelah makam sang suami. Maka berangkatlah ia mencari informasi dari kawan-kawan
perjuangan sang suami, dari satu desa ke desa yang lain. Sementara itu sang
cucu, Prapto, kebingungan dengan sang mbah
yang tiba-tiba menghilang, karena ia membutuhkan sosok sang mbah
menjelang hari pernikahannya. Mau tak mau ia pun berangkat mencari Mbah Sri.
Salah satu ciri khas film ‘arthouse’ ala Yogyakarta adalah
slow pace, sunyi, dan seminimal mungkin angle, sehingga satu adegan bisa jadi
hanya ditampilkanl lewat single shot. Itu pun seringkali medium atau malah long
shot. Style storytelling dan visual yang demikian masih diterapkan untuk Ziarah. Sedikit ‘variasi’, ia menuturkan
informasi-informasi pendukung jalannya plot bak interview di film-film
dokumenter. Identitas narasumber yang diwawancarai pun tak selalu jelas punya
korelasi apa dengan subjek. Most of the time justru terkesan random. Malah
beberapa kali hanya sekedar penunjuk arah ke lokasi yang dimaksud. To be
honest, di mata saya, sangat random dan bukan cara yang efektif (apalagi
penting) untuk menyampaikan informasi. Atau malah sengaja untuk menambah-nambah
durasi?
Untuk informasi-informasi lainnya, ia menggunakan percakapan
bak tetangga yang sedang ‘rasan-rasan’ (Indonesia: bergosip) atau seperti cara
penyampaiannya seperti anak kecil bercerita. Mungkin juga disengaja, untuk
memberikan kesan ‘realis’ sesuai dengan bagaimana masyarakat pedesaan menyampaikan
informasi. Namun saya tidak menemukan sesuatu yang istimewa dari cara
penyampaian seperti ini.
Dari materi promosi hingga kesan beberapa penonton (mungkin
juga karena sudah lebih dulu terpapar oleh apa yang disampaikan lewat
promosinya), Ziarah disebut
mengangkat tentang berdamai dengan masa lalu. Oke, saya bisa menerima tema
tersebut setelah menemukan revealing di akhir. Namun saya tidak menemukan inti
tersebut dari karakter Mbah Sri. Pun juga hint-hint yang diselipkan selama
perjalanan, terutama soal warga yang bunuh diri setelah mengetahui
perselingkuhan suaminya puluhan tahun silam, yang maunya dikoneksikan tapi pada
hasil akhirnya koneksinya masih terlampau jauh. Tak ada treatment yang
mengkoneksikan secara khusus, apalagi solid. Penonton harus
menghubung-hubungkannya sendiri dengan cara menerka. Memang benar, ada film
yang membiarkan penonton untuk menarik konklusi sendiri atau malah multi
tafsir. Ziarah bukan salah satunya.
Metode penceritaan yang digunakan masih kelewat mentah dan random untuk membuat
penonton menarik kesimpulan sendiri. Malah bisa dibilang revealing di akhir
come out of nowhere dengan minim hint di antara ‘perjalanan’ tanpa makna
penting dan kelewat panjang dengan slow pace dan kesunyiannya.
Soal daya ‘magis’ yang kerap tertulis sebagai kesan penonton,
I don’t know how. Mungkin it works untuk orang-orang kota yang terbiasa dengan
hingar bingar sehingga merasakan kesunyian, kelambatan, dan aura Mbah Sri yang
notabene tipikal mbah-mbah Jawa di desa sudah bisa merasakan daya magis yang
luar biasa. But sorry, not for me. Bagi saya, semuanya biasa saja. Tak ada yang
istimewa. Semua ditampilkan apa adanya, bahkan penampilan figuran-figuran yang
di-interview. To be honest, banyak yang malah berakting kaku dan sekedar
menghafal dialog.
Mbah Ponco Sutiyem yang mengisi peran Mbah Sri pun tak tampil
istimewa. Jika Anda terbiasa melihat dan mengenal sosok mbah-mbah Jawa dari
desa, maka seperti itulah performa Mbah Ponco. Ekspresi, gesture, cara bertutur
kata, I don’t think she’s acting. I think that’s just how she is in real life
daily, sama seperti mbah-mbah Jawa lainnya. Rukman Rosadi sebagai Prapto, Vera
Prifatamasari sebagai calon istri Prapto, Ledjar Subroto sebagai Mbah Tresno,
tampil cukup layak sesuai porsi peran masing-masing. Note khusus untuk Sri
Mulyani sebagai perempuan buta tetangga Mbah Tresno yang cukup mencuri
perhatian.
Secara keseluruhan Ziarah
sebenarnya tak punya keistimewaan tersendiri. Mungkin akan menjadi ‘berbeda’
jika Anda tidak biasa mengikuti film dengan cara bertutur demikian. Toh cara
tutur seperti ini tidak membantu penyampaian informasi yang efektif, justru
membuatnya makin terkesan abstrak dan random. Sorry to say, Ziarah masih seperti film-film
arthouse-wannabe Indonesia lainnya yang hanya menggunakan form sejenis tanpa
esensi dan tujuan yang sesuai dengan cara bertutur demikian. Well, that’s to
me. Mungkin saja dampaknya bisa berbeda bagi Anda. Jika masih penasaran, boleh
saja dicoba. Siapa tahu cocok dengan selera Anda.