The Jose Flash Review
Ziarah

Selain industri film nasional yang meski belum punya pondasi sistem yang kuat tapi setidaknya cukup ‘hidup’, Indonesia ternyata punya ‘industri’ film-film daerah yang tak kalah punya massa, setidaknya di region masing-masing. Ada film Makassar yang sedang berkembang cukup menggembirakan dengan hasil box office yang tergolong fantastis bahkan untuk ukuran peredaran nasional (meski sebagian besar pendapatannya berasal dari daerah sendiri), ada juga perfilman Yogyakarta yang memilih style ‘alternatif’ yang cenderung mengarah ke gaya art-house alternatif internasional. Dengan sering diikut-sertakannya ke festival-festival film internasional yang lebih bersifat arthouse, mungkin ada alasan mengapa form seperti itu yang mereka pilih. Toh jika punya pencapaian internasional, setidaknya bisa menjadi modal promosi yang cost-nya tak perlu terlalu tinggi dan lebih mudah meyakinkan jaringan bioskop untuk memutar di layar-layarnya. Media pun akan berbondong-bondong meliput tanpa dibayar. Beberapa tahun terakhir ‘industri’ (atau mungkin lebih tepat menyebutnya sebagai ‘komunitas’) film Yogyakarta menjadi perhatian karena prestasinya. FFI sebagai ajang penghargaan film nasional tertinggi pun mengapresiasinya dengan menganugerahkan Siti karya Eddie Cahyono, sebagai Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Penata music Terbaik di FFI 2015 silam.

Selain Eddie, ada juga nama BW Purbanegara yang populer di scene perfilman Yogyakarta. Ia dikenal lewat film-film pendek seperti Berdiri di Atas Kaki Sendiri, Say Hello to Yellow, Bermula dari A, dan Kamu di Kanan Aku Senang, juga menggarap skenario Another Trip to the Moon-nya Ismail Basbeth. Tahun 2016, BW memberanikan diri menggarap filmnya sendiri, baik sebagai produser, penulis naskah, sutradara, sekaligus editor. Ziarah pun dinominasikan di FFI 2016 untuk kategori Penulis Skenario Asli Terbaik dan baru-baru ini memenangkan dua kategori dari empat nominasi di ASEAN International Film Festival and Awards 2017. Mei 2017 ini, Ziarah mendapatkan slot tayang terbatas di sejumlah layar bioskop komersial Indonesia.
Di usianya yang sudah lewat angka 90, Mbah Sri penasaran di mana letak makam mendiang suaminya, Prawiro, yang konon tewas saat Agresi Militer Belanda ke-2 tahun 1948 silam. Ia pun bertekad mencari letak makam sang suami dengan tujuan sederhana; agar jika kelak meninggal dunia bisa dimakamkan tepat di sebelah makam sang suami. Maka berangkatlah ia mencari informasi dari kawan-kawan perjuangan sang suami, dari satu desa ke desa yang lain. Sementara itu sang cucu, Prapto, kebingungan dengan sang mbah  yang tiba-tiba menghilang, karena ia membutuhkan sosok sang mbah menjelang hari pernikahannya. Mau tak mau ia pun berangkat mencari Mbah Sri.
Salah satu ciri khas film ‘arthouse’ ala Yogyakarta adalah slow pace, sunyi, dan seminimal mungkin angle, sehingga satu adegan bisa jadi hanya ditampilkanl lewat single shot. Itu pun seringkali medium atau malah long shot. Style storytelling dan visual yang demikian masih diterapkan untuk Ziarah. Sedikit ‘variasi’, ia menuturkan informasi-informasi pendukung jalannya plot bak interview di film-film dokumenter. Identitas narasumber yang diwawancarai pun tak selalu jelas punya korelasi apa dengan subjek. Most of the time justru terkesan random. Malah beberapa kali hanya sekedar penunjuk arah ke lokasi yang dimaksud. To be honest, di mata saya, sangat random dan bukan cara yang efektif (apalagi penting) untuk menyampaikan informasi. Atau malah sengaja untuk menambah-nambah durasi?
Untuk informasi-informasi lainnya, ia menggunakan percakapan bak tetangga yang sedang ‘rasan-rasan’ (Indonesia: bergosip) atau seperti cara penyampaiannya seperti anak kecil bercerita. Mungkin juga disengaja, untuk memberikan kesan ‘realis’ sesuai dengan bagaimana masyarakat pedesaan menyampaikan informasi. Namun saya tidak menemukan sesuatu yang istimewa dari cara penyampaian seperti ini.
Dari materi promosi hingga kesan beberapa penonton (mungkin juga karena sudah lebih dulu terpapar oleh apa yang disampaikan lewat promosinya), Ziarah disebut mengangkat tentang berdamai dengan masa lalu. Oke, saya bisa menerima tema tersebut setelah menemukan revealing di akhir. Namun saya tidak menemukan inti tersebut dari karakter Mbah Sri. Pun juga hint-hint yang diselipkan selama perjalanan, terutama soal warga yang bunuh diri setelah mengetahui perselingkuhan suaminya puluhan tahun silam, yang maunya dikoneksikan tapi pada hasil akhirnya koneksinya masih terlampau jauh. Tak ada treatment yang mengkoneksikan secara khusus, apalagi solid. Penonton harus menghubung-hubungkannya sendiri dengan cara menerka. Memang benar, ada film yang membiarkan penonton untuk menarik konklusi sendiri atau malah multi tafsir. Ziarah bukan salah satunya. Metode penceritaan yang digunakan masih kelewat mentah dan random untuk membuat penonton menarik kesimpulan sendiri. Malah bisa dibilang revealing di akhir come out of nowhere dengan minim hint di antara ‘perjalanan’ tanpa makna penting dan kelewat panjang dengan slow pace dan kesunyiannya.
Soal daya ‘magis’ yang kerap tertulis sebagai kesan penonton, I don’t know how. Mungkin it works untuk orang-orang kota yang terbiasa dengan hingar bingar sehingga merasakan kesunyian, kelambatan, dan aura Mbah Sri yang notabene tipikal mbah-mbah Jawa di desa sudah bisa merasakan daya magis yang luar biasa. But sorry, not for me. Bagi saya, semuanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Semua ditampilkan apa adanya, bahkan penampilan figuran-figuran yang di-interview. To be honest, banyak yang malah berakting kaku dan sekedar menghafal dialog.
Mbah Ponco Sutiyem yang mengisi peran Mbah Sri pun tak tampil istimewa. Jika Anda terbiasa melihat dan mengenal sosok mbah-mbah Jawa dari desa, maka seperti itulah performa Mbah Ponco. Ekspresi, gesture, cara bertutur kata, I don’t think she’s acting. I think that’s just how she is in real life daily, sama seperti mbah-mbah Jawa lainnya. Rukman Rosadi sebagai Prapto, Vera Prifatamasari sebagai calon istri Prapto, Ledjar Subroto sebagai Mbah Tresno, tampil cukup layak sesuai porsi peran masing-masing. Note khusus untuk Sri Mulyani sebagai perempuan buta tetangga Mbah Tresno yang cukup mencuri perhatian.
Secara keseluruhan Ziarah sebenarnya tak punya keistimewaan tersendiri. Mungkin akan menjadi ‘berbeda’ jika Anda tidak biasa mengikuti film dengan cara bertutur demikian. Toh cara tutur seperti ini tidak membantu penyampaian informasi yang efektif, justru membuatnya makin terkesan abstrak dan random. Sorry to say, Ziarah masih seperti film-film arthouse-wannabe Indonesia lainnya yang hanya menggunakan form sejenis tanpa esensi dan tujuan yang sesuai dengan cara bertutur demikian. Well, that’s to me. Mungkin saja dampaknya bisa berbeda bagi Anda. Jika masih penasaran, boleh saja dicoba. Siapa tahu cocok dengan selera Anda.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.