3.5/5
Action
black comedy
Comedy
Crime
England
fucked up comedy
Gore
gun-fu
Indie
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Free Fire
Reservoir Dogs (RD)
dari Quentin Tarantino yang rilis tahun 1992 memberikan angin segar di genre
crime dan tema mafia yang sebelumnya dibuat bak biopic seperti yang yang
dilakukan The Godfather, Scarface, dan The Untouchables. Fokus cerita dipersempit menjadi satu kejadian
fucked-up dengan bumbu komedi di sela-sela kesadisan, menjadikan tema crime
lebih menghibur. Ketika Tarantino kemudian mencoba berbagai pendekatan lain
yang variatif di film-film selanjutnya, Guy Ritchie dari Inggris muncul dengan
berbagai elemen-elemen dasar dari RD, ditambah storytelling dan visual style
khas yang ia ciptakan sendiri lewat Lock,
Stock and Two Smoking Barrels (LSTSB - 1998), disusul Snatch (2000), Revolver (2005),
dan RocknRolla (2008). Bahkan ketika
dipercaya menangani proyek-proyek yang lebih major, seperti Sherlock Holmes dan The Man from U.N.C.L.E., style-style khasnya masih dipertahankan
meski banyak juga yang berkompromi dengan selera mainstream. Sesekali
style-style khas Ritchie ini coba di-copy dan dimodif di sana-sini, seperti
pada Smokin’ Aces (2006) dan Shoot ‘Em Up (2007). Hasilnya sama
sekali tak buruk, justru berkali-kali terbukti berhasil ‘mengangkat’ film aksi
menjadi lebih bergaya dengan energi oktan tinggi.
Yang terbaru, Ben Wheatley menyusun sebuah naskah bersama Amy
Jump (keduanya berkolaborasi untuk Kill
List, Sightseers, dan High-Rise)
yang sedikit banyak terinspirasi oleh RD maupun film-film Ritchie. Film4
tertarik untuk memproduksi dan membiayai budget yang ‘hanya’ US$ 7 juta. Satu
per satu aktor-aktris populer kemudian bergabung yang membuat proyek bertajuk Free Fire (FF) makin menarik perhatian.
Mulai Sharlto Copley (District 9, The A-Team, Old Boy, Elysium, Maleficent, Chappie), Armie Hammer (The
Lone Ranger, The Man from U.N.C.L.E.),
Brie Larson (Room, Kong: Skull Island), Cillian Murphy (Batman Begins, Inception), Sam Riley (Maleficent,
Pride and Prejudice and Zombies), Jack
Raynor (Macbeth, Sing Street), hingga Noah
Taylor (Lara Croft: Tomb Raider, Charlie and the Chocolate Factory, Edge of Tomorrow). Ditayangkan pertama
kali di seluruh dunia lewat Toronto International Film Festival dan memenangkan
People’s Choice Award untuk program Midnight Madness, penonton Indonesia
beruntung berkesempatan mengalaminya di layar lebar lewat CBI Pictures (sebelumnya
Jive! yang merupakan sister company CGV Indonesia).
Chris dan Frank yang merupakan anggota IRA (Tentara Republik
Irlandia) berniat membeli senjata api ilegal dari Bandar bernama Vernon dan
anak-anak buahnya, Martin, Harry, dan Gordon, melalui Stevo, Bernie, dan
Justine. Transaksi penuh ketegangan karena saling curiga dan Vernon membawakan
senjata api yang berbeda dari yang dipesan. Namun puncaknya pecah ketika Harry
menyadari bahwa Stevo adalah seorang pria yang sempat melecehkan sepupunya di
sebuah bar. Dari konflik pribadi kecil berubah menjadi perseteruan antar geng
yang melibatkan adu tembak tiada henti. Suasana semakin kacau ketika tiba-tiba
muncul pihak ketiga yang menyerang kedua kubu.
Sejatinya plot FF sangatlah sederhana dengan jumlah karakter
sangat banyak sehingga membuatnya terkesan rumit, terutama soal who’s on which
side. Meski mengingatkan akan elemen-elemen khas Ritchie di sana-sini, FF tak
memanfaatkannya untuk introduksi karakter yang jumlahnya di atas rata-rata.
Namun ketika plot bergulir, rasa-rasanya tak perlu pula mengenali tiap
karakter. Cukup beberapa karakter yang memang punya andil besar dalam jalinan
plotnya. Let’s say Vernon, Stevo, Harry, dan Justine. Untung pula, Wheatley
memberikan kekhasan yang spesifik untuk karakter-karakter utama ini sehingga
mudah dikenali oleh penonton. Adegan adu senjata api yang ditampilkan cukup
terlihat seru dan mendebarkan meski tak punya style yang inovatif ataupun
sekedar copy-paste dari visual style Ritchie. Lagi-lagi penonton dibuat bingung
akan who’s shooting who atau who got shot by who. What mattered kemudian adalah
siapa yang bertahan, siapa yang down, dan celetukan-celetukan, olok-olok, serta
sikap-sikap komikal yang mengundang gelak tawa di sela-selanya. Komposisi yang
cukup seimbang dengan gun-fight sehingga masih mampu menahan pace jadi tetap
highly-entertaining di balik laju plot yang sebenarnya tak banyak bergerak
maju.
Jumlah karakter yang banyak mempengaruhi pula terhadap dampak
performa aktor (dan satu aktrisnya) di mata penonton. Beruntung pemilihan
nama-nama populer sedikit membantu penonton untuk mengidentifikasi karakter.
Dari kesemuanya, Sharlto Copley terlihat paling menonjol sebagai Vernon. Selain
dari style berpakaian, gesture serta celetukan-celetukannya memberikan kekhasan
tersendiri dibanding karakter-karakter lain. Di antara barisan pria, kehadiran
Brie Larson sebagai Justine tentu terasa menonjol dan memberi kesegaran
tersendiri. Kemudian ada Armie Hammer sebagai Ord, Cillian Murphy sebagai
Chris, Michael Smiley sebagai Frank, Noah Taylor sebagai Gordon, serta tentu
saja Babou Ceesay sebagai Martin yang porsinya lebih sedikit tapi masih
noticeable. Jack Reynor sebagai Harry dan Sam Riley sebagai Stevo mencuri
perhatian karena konflik utama pecah gara-gara keduanya, pun juga masing-masing
menjadi karakter komikal pemancing tawa utama.
Dengan budget terbatas dan nama-nama populer, wajar jika
teknis FF tak terlalu muluk-muluk. Sinematografi Laurie Rose tak banyak
mengeksplorasi shot maupun camera work yang mengakibatkan adegan-adegan
gun-fight punya kejelasan yang kurang detail, tapi masih cukup efektif dalam
menyampaikan cerita. Setidaknya pula, permainan kamera masih mampu memanfaatkan
ruang sempit menjadi ‘arena’ yang tak terasa membosankan. Editing yang dilakoni
sendiri oleh Amy Jump dan Ben Wheatley juga tak terlalu istimewa selain sekedar
menyusun adegan secara koheren dan momentum yang pas, baik untuk gun-fight
maupun comedic-nya. Desain kostum Emma Fryer memberikan warna-warni khas sesuai
setting 70-an. Scoring music dari Geoff Barrow dan Ben Salisbury cukup
memberikan taste lebih ke dalam paduan aksi-komedinya menjadi terasa gokil,
termasuk juga pemilihan soundtrack dari John Denver (Annie’s Song dan This Old
Guitar) dan Creedence Clearwater Revival (Run Through the Jungle) yang berpadu serasi dengan
adegan-adegannya. Sound design punya clarity dan crisp yang tergarap baik
sehingga terdengar mantap, terutama untuk sound-sound gunshot yang mendominasi.
Fasilitas surround termanfaatkan dengan maksimal, membuat penonton bak
dibombardir peluru dari berbagai penjuru.
Pengaruh storytelling dan visual style khas Guy Ritchie memang
terasa kental di FF, kendati tak sampai seratus persen. Sayang justru energi
lewat visual style yang menjadi kekhasan utama Ritchie yang tak dimanfaatkan.
Namun setidaknya FF masih menjadi sajian yang sangat menghibur lewat paduan
gun-fight yang terus-terusan membuat penonton memicingkan mata, sedikit gory,
dan celetukan-celetukan plus tingkah-tingkah komikal yang mengundang gelak
tawa. Sementara bagi penggemar berat Guy Ritchie, FF masih terasa seperi sebuah
obat kangen kecil. Sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di IMDb.