The Jose Flash Review
Free Fire

Reservoir Dogs (RD) dari Quentin Tarantino yang rilis tahun 1992 memberikan angin segar di genre crime dan tema mafia yang sebelumnya dibuat bak biopic seperti yang yang dilakukan The Godfather, Scarface, dan The Untouchables. Fokus cerita dipersempit menjadi satu kejadian fucked-up dengan bumbu komedi di sela-sela kesadisan, menjadikan tema crime lebih menghibur. Ketika Tarantino kemudian mencoba berbagai pendekatan lain yang variatif di film-film selanjutnya, Guy Ritchie dari Inggris muncul dengan berbagai elemen-elemen dasar dari RD, ditambah storytelling dan visual style khas yang ia ciptakan sendiri lewat Lock, Stock and Two Smoking Barrels (LSTSB - 1998), disusul Snatch (2000), Revolver (2005), dan RocknRolla (2008). Bahkan ketika dipercaya menangani proyek-proyek yang lebih major, seperti Sherlock Holmes dan The Man from U.N.C.L.E., style-style khasnya masih dipertahankan meski banyak juga yang berkompromi dengan selera mainstream. Sesekali style-style khas Ritchie ini coba di-copy dan dimodif di sana-sini, seperti pada Smokin’ Aces (2006) dan Shoot ‘Em Up (2007). Hasilnya sama sekali tak buruk, justru berkali-kali terbukti berhasil ‘mengangkat’ film aksi menjadi lebih bergaya dengan energi oktan tinggi.

Yang terbaru, Ben Wheatley menyusun sebuah naskah bersama Amy Jump (keduanya berkolaborasi untuk Kill List, Sightseers, dan High-Rise) yang sedikit banyak terinspirasi oleh RD maupun film-film Ritchie. Film4 tertarik untuk memproduksi dan membiayai budget yang ‘hanya’ US$ 7 juta. Satu per satu aktor-aktris populer kemudian bergabung yang membuat proyek bertajuk Free Fire (FF) makin menarik perhatian. Mulai Sharlto Copley (District 9, The A-Team, Old Boy, Elysium, Maleficent, Chappie), Armie Hammer (The Lone Ranger, The Man from U.N.C.L.E.), Brie Larson (Room, Kong: Skull Island), Cillian Murphy (Batman Begins, Inception), Sam Riley (Maleficent, Pride and Prejudice and Zombies), Jack Raynor (Macbeth, Sing Street), hingga Noah Taylor (Lara Croft: Tomb Raider, Charlie and the Chocolate Factory, Edge of Tomorrow). Ditayangkan pertama kali di seluruh dunia lewat Toronto International Film Festival dan memenangkan People’s Choice Award untuk program Midnight Madness, penonton Indonesia beruntung berkesempatan mengalaminya di layar lebar lewat CBI Pictures (sebelumnya Jive! yang merupakan sister company CGV Indonesia).
Chris dan Frank yang merupakan anggota IRA (Tentara Republik Irlandia) berniat membeli senjata api ilegal dari Bandar bernama Vernon dan anak-anak buahnya, Martin, Harry, dan Gordon, melalui Stevo, Bernie, dan Justine. Transaksi penuh ketegangan karena saling curiga dan Vernon membawakan senjata api yang berbeda dari yang dipesan. Namun puncaknya pecah ketika Harry menyadari bahwa Stevo adalah seorang pria yang sempat melecehkan sepupunya di sebuah bar. Dari konflik pribadi kecil berubah menjadi perseteruan antar geng yang melibatkan adu tembak tiada henti. Suasana semakin kacau ketika tiba-tiba muncul pihak ketiga yang menyerang kedua kubu.
Sejatinya plot FF sangatlah sederhana dengan jumlah karakter sangat banyak sehingga membuatnya terkesan rumit, terutama soal who’s on which side. Meski mengingatkan akan elemen-elemen khas Ritchie di sana-sini, FF tak memanfaatkannya untuk introduksi karakter yang jumlahnya di atas rata-rata. Namun ketika plot bergulir, rasa-rasanya tak perlu pula mengenali tiap karakter. Cukup beberapa karakter yang memang punya andil besar dalam jalinan plotnya. Let’s say Vernon, Stevo, Harry, dan Justine. Untung pula, Wheatley memberikan kekhasan yang spesifik untuk karakter-karakter utama ini sehingga mudah dikenali oleh penonton. Adegan adu senjata api yang ditampilkan cukup terlihat seru dan mendebarkan meski tak punya style yang inovatif ataupun sekedar copy-paste dari visual style Ritchie. Lagi-lagi penonton dibuat bingung akan who’s shooting who atau who got shot by who. What mattered kemudian adalah siapa yang bertahan, siapa yang down, dan celetukan-celetukan, olok-olok, serta sikap-sikap komikal yang mengundang gelak tawa di sela-selanya. Komposisi yang cukup seimbang dengan gun-fight sehingga masih mampu menahan pace jadi tetap highly-entertaining di balik laju plot yang sebenarnya tak banyak bergerak maju.
Jumlah karakter yang banyak mempengaruhi pula terhadap dampak performa aktor (dan satu aktrisnya) di mata penonton. Beruntung pemilihan nama-nama populer sedikit membantu penonton untuk mengidentifikasi karakter. Dari kesemuanya, Sharlto Copley terlihat paling menonjol sebagai Vernon. Selain dari style berpakaian, gesture serta celetukan-celetukannya memberikan kekhasan tersendiri dibanding karakter-karakter lain. Di antara barisan pria, kehadiran Brie Larson sebagai Justine tentu terasa menonjol dan memberi kesegaran tersendiri. Kemudian ada Armie Hammer sebagai Ord, Cillian Murphy sebagai Chris, Michael Smiley sebagai Frank, Noah Taylor sebagai Gordon, serta tentu saja Babou Ceesay sebagai Martin yang porsinya lebih sedikit tapi masih noticeable. Jack Reynor sebagai Harry dan Sam Riley sebagai Stevo mencuri perhatian karena konflik utama pecah gara-gara keduanya, pun juga masing-masing menjadi karakter komikal pemancing tawa utama.
Dengan budget terbatas dan nama-nama populer, wajar jika teknis FF tak terlalu muluk-muluk. Sinematografi Laurie Rose tak banyak mengeksplorasi shot maupun camera work yang mengakibatkan adegan-adegan gun-fight punya kejelasan yang kurang detail, tapi masih cukup efektif dalam menyampaikan cerita. Setidaknya pula, permainan kamera masih mampu memanfaatkan ruang sempit menjadi ‘arena’ yang tak terasa membosankan. Editing yang dilakoni sendiri oleh Amy Jump dan Ben Wheatley juga tak terlalu istimewa selain sekedar menyusun adegan secara koheren dan momentum yang pas, baik untuk gun-fight maupun comedic-nya. Desain kostum Emma Fryer memberikan warna-warni khas sesuai setting 70-an. Scoring music dari Geoff Barrow dan Ben Salisbury cukup memberikan taste lebih ke dalam paduan aksi-komedinya menjadi terasa gokil, termasuk juga pemilihan soundtrack dari John Denver (Annie’s Song dan This Old Guitar) dan Creedence Clearwater Revival (Run Through the Jungle) yang berpadu serasi dengan adegan-adegannya. Sound design punya clarity dan crisp yang tergarap baik sehingga terdengar mantap, terutama untuk sound-sound gunshot yang mendominasi. Fasilitas surround termanfaatkan dengan maksimal, membuat penonton bak dibombardir peluru dari berbagai penjuru.
Pengaruh storytelling dan visual style khas Guy Ritchie memang terasa kental di FF, kendati tak sampai seratus persen. Sayang justru energi lewat visual style yang menjadi kekhasan utama Ritchie yang tak dimanfaatkan. Namun setidaknya FF masih menjadi sajian yang sangat menghibur lewat paduan gun-fight yang terus-terusan membuat penonton memicingkan mata, sedikit gory, dan celetukan-celetukan plus tingkah-tingkah komikal yang mengundang gelak tawa. Sementara bagi penggemar berat Guy Ritchie, FF masih terasa seperi sebuah obat kangen kecil. Sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.