3.5/5
Based on Book
Drama
Hollywood
Indie
Pop-Corn Movie
Psychological
SciFi
Socio-cultural
Technology
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Circle
‘Horror’ masa depan yang disebabkan oleh teknologi sudah sejak lama menjadi topik dalam film. Bahkan mungkin sejak ‘bapak’ dari segala film sci-fi, Metropolis (1927). Setelah era internet, ‘horor’ teknologi menjadi semakin spesifik. Secara umum, ‘momok’ utamanya kurang lebih sama, yaitu ruang privasi yang makin terkikis. Kini dengan maraknya media sosial dengan layanan yang makin beragam dan menjangkau berbagai sendi kehidupan, apa yang digambarkan, let’s say, di Antitrust (2001) atau Transcendence (2014) semakin mendekati kenyataan. Ironisnya, ‘momok’ yang menghantui ketika film tersebut pertama kali muncul sudah menjadi tak lagi mengerikan ketika sudah menjadi kenyataan. Kini ketika trend teknologi bergeser ke era Snapchat, diikuti InstaStory, apa yang digambarkan di novel The Circle karya Dave Eggers yang dirilis pertama kali tahun 2013, seharusnya menjadi ‘momok’ yang relevan. James Ponsoldt (The Spectacular Now) tertarik untuk mengadaptasinya ke layar lebar. Diproduseri Anthony Bregman lewat Likely Story dan Tom Hanks lewat Playtone, The Circle mendapatkan pembiayaan penuh dari Image Nation Abu Dhabi. Selain Tom Hanks yang juga turut mengisi peran, aktris muda yang dikenal lewat franchise Harry Potter dan baru-baru ini, Beauty and the Beast, Emma Watson, aktor kulit hitam yang populer lewat Star Wars: The Force Awakens, John Boyega, Patton Oswalt, serta mendiang Bill Paxton yang mana merupakan penampilan terakhirnya di film sebelum meninggal dunia 25 Februari 2017 silam. Dengan budget yang ‘hanya’ US$ 18 juta padahal harus meng-create desain produksi futuristik, jelas The Circle bukanlah proyek raksasa yang ambisius. Namun bukan berarti tidak bisa jadi menarik.
Bosan berprofesi sebagai customer service, Mae Holland tak perlu berpikir panjang ketika mendapatkan pekerjaan di The Circle, sebuah perusahaan online yang menciptakan media sosial bernama TrueYou. Apalagi melihat kesuksesan sahabat yang merekomendasikannya, Annie, yang sudah mencapai jabatan tinggi di The Circle. Tak hanya perusahaan, The Circle seolah menciptakan komunitas tersendiri untuk ribuan karyawannya dengan berbagai aktivitas dan fasilitas canggih yang memanjakan. Tak hanya media sosial, The Circle mengekspansi teknomogi yang diberi nama SeeChange; kamera mini yang bisa dipasang di mana saja untuk mengawasi segalanya di seluruh penjuru dunia. Ekspansi yang terasa makin ‘berlebihan’, ditambah cibiran dari mantan pacarnya, Mercer yang punya lifestyle bebas, sempat membuat Mae ingin melarikan diri. Namun ketika ia sendiri berhasil lolos dari maut berkat teknologi SeeChange, ditambah program kesehatan dari The Circle yang membantu sang ayah yang menderita multiple sclerosis, Mae mulai berubah pikiran. Pimpinan The Circle, Eamon Bailey dan Tom Stenton, melirik Mae untuk dijadikan endorser perusahaan di produk-produk lainnya. Terlena oleh popularitas tak hanya di komunitas The Circle, tapi juga seluruh dunia berkat predikat ‘manusia pertama yang meng-share kehidupannya secara live online dan transparan nyaris 24 jam’, ia tak sadar betapa The Circle makin lama makin ‘berbahaya’ dengan merambah berbagai sendi kehidupan, hingga orang tua, Mercer, bahkan Annie semakin menjauh. Rahasia perusahaan yang dibongkar oleh seorang karyawan misterius, Ty Lafitte, membuat Mae harus mengambil keputusan penting demi kepentingan masyarakat luas.
Sekilas, plot yang ditawarkan The Circle seolah tak berbeda dengan kebanyakan techno-thriller lainnya. Formula penjabaran kecanggihan teknologi, baru kemudian terbongkar agenda-agenda rahasia yang berbahaya, yang menjadi ‘horor’ utama bagi penonton. Jika Anda mengharapkan formula techno-thriller yang demikian, The Circle mungkin tak akan jadi sajian yang memuaskan. Ia bak lebih banyak mempromosikan ide-ide (yang sebenarnya sudah bukan ide-ide baru dan segar lagi untuk ukuran masa kini karena beberapa sudah diaplikasikan di dunia nyata) dengan argumen dan penjabaran realita yang lebih kuat ke arah positif ketimbang negatif, membuat penonton seolah diarahkan untuk lebih mendukung ide-ide tersebut. Meski ada gelagat yang makin terasa ‘berlebihan’, tapi tak ada dampak yang benar-benar ‘mengancam’ ditampilkan selama sekitar satu jam pertama dari durasi. Baru ketika mencapai klimaks setelah sekitar 1 jam pertama, ‘ancaman’ tersebut ditampilkan. Dengan momentum klimaks yang kelewat lama dan visualisasi yang tak terlalu eksplisit membuat penonton tak begitu merasakan ‘horor’-nya. Karakter Eamon Bailey dan Tom Stenton yang sejatinya diposisikan sebagai pihak antagonis pun tak diberi porsi maupun penulisan yang cukup untuk sekedar membuatnya lebih ‘mengancam’, apalagi karakteristik yang kuat. Bahkan di saat (seharusnya) menyampaikan konklusi, sosok-sosok antagonis ini terkesan powerless, apalagi untuk perusahaan dengan kuasa segitu besarnya. Maka alih-alih memberikan konklusi ataupun resolusi yang kuat, ending The Circle justru terasa seperti sekedar pembalikan situasi yang tak berdaya apa-apa.
Treatment yang seperti ini jelas jauh dari harapan penonton yang sudah terlanjur menikmati techno-thriller yang punya bangunan konsep kuat dan ‘mengancam’. Namun jika Anda cukup open-minded dan tanpa ekspektasi tertentu, The Circle sebenarnya menyodorkan argumen yang meyakinkan sekaligus thought-provoking tentang teknologi-teknologi yang selama ini dianggap mengancam, terutama dari segi privasi. Secara bertubi-tubi adegan-adegan ‘positif’ dihadirkan untuk mendukung pembelaan terhadap ide tiap kali ada potensi dampak negatif dari ide. In short, ia seperti ingin mengatakan secara lantang, ‘lo bilang ini mengancam kehidupan lo? Padahal lo sendiri bisa selamat karena dia. Orang-orang lain yang tak mampu juga bisa merasakan keindahan yang lo alami selama ini. Egois banget lo nggak mau membaginya?’. Termasuk juga analogi tentang kecelakaan pesawat yang seharusnya membuat penerbangan lebih aman, bukannya berhenti menerbangkan pesawat. Tuduhan dan argumen rasional seperti ini jelas membuat kita yang selama ini kontra terdiam dan berpikir ‘ada benarnya juga’. Penyampaian ide dan konflik yang tergolong sederhana, punya relevansi dengan kondisi sosial saat ini, dan tanpa jargon-jargon spesifik yang asing bagi telinga awam, membuat semua yang disodorkan mudah dipahami dan bersifat universal. Namun ia sama sekali tak berniat mendikte Anda mana yang benar, mana yang salah, bermanfaat sepenuhnya, atau berbahaya sepenuhnya. Tanpa konklusi tertentu pula. Pilihan ending seolah memposisikan penonton sebagai kedua CEO The Circle, menyodorkan pertanyaan langsung, bagaimana jika Anda sendiri yang menjalani kehidupan serba transparan. Pertanyaan tak langsung yang sempat membuat saya merefleksikannya ketika film berakhir.
Berkat porsi peran utama yang paling mendominasi, Emma Watson sebagai Mae Holland otomatis menjadi pusat perhatian. Upaya tampil maksimal dalam menghidupkan perannya terlihat dengan jelas, terutama berkat pilihan-pilihan dilematis yang ditampilkan dengan emosi cukup terasa. John Boyega sebagai Ty Lafitte yang misterius memang tak punya porsi yang banyak dan kharisma kemisteriusan-nya pun masih terasa kurang. Ellar Coltrane sebagai Mercer dan Karen Gillan sebagai Annie memberikan warna yang lebih ke dalam film kendati tak akan berpengaruh banyak jika diperankan oleh aktor/aktris lain. Tom Hanks sebagai Eamon Bailey dan Patton Oswalt sebagai Tom Stenton berada pada porsi dan kekuatan kharisma yang kurang lebih sama di balik porsi yang sedikit dan seharusnya masih bisa digali jauh lebih dalam lagi. Bill Paxton dan Glenne Headly sebagai orang tua Mae sedikit mencuri perhatian berkat chemistry yang cukup hangat di tengah-tengah porsi yang terbatas.
Dengan budget yang ‘hanya’ US$ 18 juta, desain produksi The Circle terlihat cukup representatif meski tak terlalu inovatif juga, terutama lewat detail-detail desain yang seolah menyindir Apple, lengkap dengan desain produk, suasana event, sampai desain environment-nya. Sinematografi Matthew Libatique memberikan camerawork yang dinamis dan dramatis di momen-momen pentingnya. Editing Lisa Lassek pun mendukung laju cerita dengan pace yang cukup tepat. Score music Danny Elfman yang bernuansa techno tapi dengan tempo mid-low terdengar selaras dengan mood film. Begitu pula pilihan-pilihan soundtrack berkelas dan penampilan live dari Beck yang makin menegaskan ‘warna’ film sekaligus menambah daya tariknya. Sound design menawarkan detail, kejernihan, sekaligus crispness yang tergarap baik. Tentu juga didukung sound mixing yang tertata baik dan pembagian kanal surround yang menunjukkan dimensi secara jelas.
Pendekatan The Circle, baik lewat versi novel maupun film, memang berbeda dengan techno-thriller lain. Tak berniat untuk menakut-nakuti penonton dengan teknologi yang terasa semakin dekat, ia seolah justru memaparkan argumen-argumen yang rasional dan lebih ke arah positif. Ia pun tak berniat memberikan konklusi hitam-putih yang jelas apakah teknologi yang ditampilkan positif atau negatif, berguna atau berbahaya, tapi menyodorkan pertanyaan langsung kepada penonton untuk memutuskan sendiri. That’s how it provoking audience’s thought, not haunting. Memang masih ada elemen yang terasa sangat lemah, terutama sosok-sosok antagonis yang seolah begitu powerless dan one-dimensional. Namun jika konsepnya memang untuk memposisikan penonton di sudut pandang Mae sepanjang film, treatment yang seperti ini sebenarnya juga bukan pilihan yang salah. In the end, resepsi terhadap The Circle tergantung apakah Anda termasuk peduli terhadap subjek dan terusik oleh argumen-argumen rasional yang disodorkan.
Lihat data film ini di IMDb.