3/5
Action
Adventure
Animation
Asia
Based on a Game
Franchise
Gore
Horror
Japan
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
violence
Zombie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Resident Evil: Vendetta
[バイオハザード ヴェンデッタ]
Selain adaptasi live action Hollywood dengan pangsa pasar
globa yang lebih luas, Resident Evil
(RE - di Jepang dikenal sebagai Biohazard)
yang berasal dari video game juga punya franchise layar lebar berformat animasi
3D yang diproduksi oleh produsen game-nya sendiri, Capcom Studios. Berbeda
dengan versi live-action Hollywood yang dibintangi Milla Jovovich, RE versi
animasi 3D berada pada universe yang sama dan bahkan punya pertalian cerita
dengan seri game-nya. Pertama kali muncul lewat Resident Evil: Degeneration (2008), dilanjutkan Resident Evil: Damnation (2012),
installment ketiganya tayang di tahun 2017 ini dengan tajuk Resident Evil: Vendetta (REV) dan mengambil
setting di antara game Resident Evil 6
dan Resident Evil 7: Biohazard.
Naskahnya ditulis oleh Makoto Fukami (Psycho-Pass)
sementara bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Takanori Tsujimoto yang
pernah berpengalaman menangani The Next
Generation: Patlabor dan Ultraman X.
Bagi fans versi game, film layar lebar versi animasi 3D ini jelas menjadi
fan-service yang lebih ditunggu-tunggu ketimbang versi live action
Hollywood-nya. Beruntung CBI Pictures mendistribusikan REV di bioskop-bioskop
non-XXI seluruh Indonesia, bersamaan dengan rilis di bioskop-bioskop negara
aslinya, Jepang, yaitu pada 27 Mei 2017.
REV dibuka dengan pasukan BSAA (Bioterrorism Security
Assessment Alliance) dipimpin Chris Redfield yang menyerbu sebuah rumah untuk
menyelamatkan ibu dan anak dari daerah yang sudah berubah menjadi kota zombie.
Kehilangan banyak pasukan yang berubah menjadi zombie, Chris meminta bantuan
Rebecca Chambers, seorang profesor yang sedang meneliti vaksin dari virus
pengubah manusia menjadi zombie, dan kawan lamanya, seorang agen pemerintah
Amerika, Leon S. Kennedy. Bersama mereka harus menemukan sosok Glenn Arias,
pedagang senjata gelap internasional yang diduga menjadi dalang, sebelum rencana
penyebaran virus ke seluruh penjuru New York City benar-benar terlaksana.
Meski merupakan installment ketiga dengan pertalian cerita
dengan dua installment sebelumnya dan seri-seri video game-nya, plot REV masih
bisa dengan mudah diikuti oleh penonton terawam sekalipun. Begitu juga dengan
pengenalan karakter-karakter yang tak terlalu sulit untuk dipahami. Mungkin
karena faktor plot dan karakterisasi REV yang memang kelewat generik dan
formulaic. Bahkan pertanyaan siapa dalang dan motivasi dari penyebaran virus
sudah dijawab sejak menit-menit awal film (bahkan motivasinya tertera sebagai
sub-judul). Maka jika Anda mengharapkan keasyikan mengikuti plot, siap-siap
kecewa karena akan dibuat bosan sebosan-bosannya. Ini sebenarnya tak menjadi
masalah jika ia punya adegan yang menarik dan berhasil mengikat
perhatian penonton, misalnya pada adegan-adegan thrilling yang memicu
adrenaline atau adegan-adegan aksi (in this case, brutal) yang tertata keren.
Dua-duanya ada di REV, tapi sayangnya masih terasa belum maksimal. Banyak
momen-momen thrilling potensial yang gagal karena timing yang kelewat lambat dan
bertele-tele. Banyak detail adegan proses yang tak begitu penting (yang
sebenarnya wajar ada di video game RPG) dimasukkan yang mereduksi
momentum-momentum ketegangan yang berusaha ditata. Untungnya REV masih
tergolong berhasil dalam hal menyuguhkan adegan-adegan aksi plus brutal yang
keren. Koreografi yang tertata dengan begitu memanjakan mata didukung oleh
pergerakan kamera yang menjadikannya seseru bermain video game. Lihat saja
ketika Leon S. Kennedy kejar-kejaran dengan gerombolan anjing zombie atau di
pertarungan akhir yang terlihat begitu akbar di layar lebar.
Tentu tak perlu meragukan kualitas animasi 3D yang
sangat-sangat realistik, tak hanya dari segi tekstur tapi juga raut wajah dan
pergerakan karakter. Tak sepenuhnya sempurna, tapi jelas sangat superior. Voice
talent (sekaligus aktor motion-capture) di REV tak memberikan kontribusi banyak
di ranah motion-capture 3D animation, selain sekedar cukup dalam menghidupkan
karakter-karakter generiknya. Mulai Kevin Dorman sebagai Chris Redfield,
Matthew Mercer sebagai Leon S. Kennedy, Erin Cahill sebagai Rebecca Chambers,
hingga Alexander Polinsky sebagai Glenn Arias.
Feel ‘video game’ tak hanya terasa dari tata pergerakan
kamera, tapi juga musik dari Kenji Kawai. Di banyak momen draggy, musik pun
mengalun tak kalah monotonnya bak proses menggerakan karakter di video game.
Untung di momen-momen klimaksnya, musik masih memberikan feel grandeur yang
lebih. Sementara sound design tertata dengan baik dan mantap di tiap kanal
surround-nya.
Dengan plot dan karakterisasi yang sangat generik, daya tarik
REV memang bertumpu pada adegan-adegan aksi khas Resident Evil yang brutal dengan koreografi keren, selain tentu
saja gelaran animasi 3D yang superior. Tak sulit untuk dipahami penonton awam,
tapi jelas lebih ditujukan sebagai fan service dari versi game-nya. Tak buruk,
setidaknya masih bisa menghibur, tapi juga bukan installment yang istimewa.
Lihat data film ini di IMDb.