3.5/5
Biography
Drama
History
Indonesia
Kid
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Twisted History
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Surat Cinta untuk Kartini
Tema biopic sempat menjadi
primadona di ranah perfilman Indonesia. Satu per satu tokoh maupun pahlawan
nasional diangkat ke layar lebar. Namun akibat dari adat-istiadat untuk
menghormati sosok-sosok (terutama yang telah tiada) yang masih begitu kental, tak
jarang biopic Indonesia terjerumus ke dalam lubang yang sama: menampilkan sosok
yang serba sempurna dari karakter sentral, yang jelas menjadi tak manusiawi.
Bahkan ada cukup banyak kasus yang membuat sosok sang tokoh sentral berjarak
dengan penonton. Akibatnya, penonton tidak bisa memahami peran penting dari
tokoh tersebut. Kasus lainnya, biopic lebih berfokus pada kejadian-kejadian
kronologis yang detail, mengesampingkan storytelling dengan angle tertentu yang
memungkinkan penonton bisa memahami sang tokoh sentral, misalnya. Agak repot
juga sih sebenarnya menggarap biopic di Indonesia. Selalu saja ada pihak yang
menggugat keotentikan cerita film maupun detail. Alhasil, biopic yang
digadang-gadang bisa membuat penonton (khususnya siswa-siswi) belajar sejarah
dengan cara yang lebih menyenangkan ketimbang dari buku pelajaran,
terus-terusan gagal untuk ‘menyentuh’ maupun sekedar ‘mendekati’ range penonton
yang luas. Belajar dari yang sudah-sudah, agaknya MNC Pictures mencoba untuk
menggunakan pendekatan lain untuk mengangkat biopic tentang sosok pahlawan
wanita yang tiap tahun diperingati secara khusus, R. A. Kartini. Sejak awal MNC
Pictures menegaskan bahwa Surat Cinta
untuk Kartini (SCuK) ini adalah cerita fiksi yang diinspirasi oleh sosok R.
A. Kartini. Dengan demikian, seharusnya SCuK sedikit lebih terbebas dari klaim
keotentikan cerita maupun elemen-elemennya.
Seorang guru wanita baru masuk ke
kelas hendak menceritakan tentang kiprah R. A. Kartini. Karena sudah bosan,
anak-anak di kelas protes. Untung ada seorang pria yang masuk dan mencoba
menceritakan kisah R. A. Kartini dari perspektif seorang tukang pos. Adalah
Sarwadi, tukang pos yang baru pindah dari Semarang ke Jepara, bersama putri
semata wayangnya, Ningrum. Perhatiannya teralihkan ketika mengantarkan sepucuk
surat kepada salah satu putri bupati Jepara yang tentu saja berasal dari
kalangan priyayi (bangsawan), R. A. Kartini. Tak mengindahkan peringatan dari
sahabatnya, Mujur, Sarwadi terus-terusan mencari cara untuk mendekati Kartini.
Setelah mengetahui Kartini bercita-cita mendirikan sekolah untuk mendidik
putra-putri bumiputra (pribumi), Sarwadi pun memanfaatkan Ningrum untuk
mendekatinya. Sarwadi turut membantu Kartini mengumpulkan anak-anak di desanya
untuk menjadi murid Kartini. Sebagai tempat mengajar, ia memilih sebuah pantai
sepi yang sebenarnya dikhususkan untuk orang-orang Belanda. Semangat Sarwadi,
begitu juga Kartini terpatahkan begitu mendengar kabar Kartini akan dipinang
menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Tak ada yang salah dengan pendekatan
fiksi untuk menceritakan kembali sebuah biopic. Formula ini bukan barang baru
lagi di ranah perfilman asing, seperti Hollywood atau Eropa, tapi masih tak
banyak dilakukan di Indonesia. Apalagi diakui bahwa karakter fiktif Sarwadi dihadirkan berdasarkan surat-surat yang pernah ditulis oleh Kartini sendiri. Maka MNC Pictures tergolong berani mengambil
pendekatan beresiko ini. Seperti yang ditampilkan sebagai narasi pembuka, SCuK
agaknya memang sengaja lebih menyasar ke penonton anak-anak. Laju cerita SCuK
dibuat se-simple mungkin dengan pace yang cukup lambat. Bagi penonton yang
mengharapkan cerita yang dinamis dan kompleks, sayangnya harus dibuat kecewa.
Apalagi yang mengharapkan
detail-detail otentik yang terkesan diabaikan. Misalnya saja Kartini yang
terkesan bebas ke mana-mana tanpa kawalan ketat. Sebagai seorang bangsawan, ini
tentu mustahil. Belum lagi detail lain seperti pantai yang digunakan berombak
besar, yang mustahil ada di pesisir utara Jepara, motif kain batik yang berbeda
antara bangsawan dan rakyat biasa, serta detail-detail lain yang bisa secara
otomatis bikin penonton yang paham, ilfil. Menilik dari minimnya setting yang
digunakan, saya menduga ini semua dilakukan untu memotong budget. Toh, dengan
label “cerita fiksi yang diinspirasi oleh kisah R. A. Kartini”, itu semua
sah-sah saja, bukan?
Sebagai penonton dewasa yang
mengenal sosok R. A. Kartini hanya sebagai pahlawan pejuang emansipasi wanita
dan minim cerita yang lebih detail, saya bisa merasakan kondisi
sosio-kultural di era itu. Lewat
adegan-adegan yang cukup gamblang, adat dan kebiasaan yang menurut kacamata
sekarang terlalu mengekang, seperti perkawinan paksa di usia muda, kesempatan
pendidikan yang mustahil untuk rakyat jelata, sampai perasaan seorang wanita
yang bahkan tidak dianggap sebagai ibu oleh anak kandungnya. Semua ditampilkan
dengan dramatisasi yang cukup untuk menyentuh saya. Tak hanya itu, kiprah
sederhana Kartini yang selama ini terkesan kurang bisa dirasakan secara
langsung, mampu digambarkan SCuK dengan jelas. Setidaknya, poin positif yang
penting (dan jarang dicapai biopic Indonesia) ini tersampaikan dengan cukup
terasa lewat SCuK.
Chicco Jerikho sebagai Sarwadi,
sang storytelling device terasa yang paling menonjol dari jajaran cast, meski
bukan juga performa terbaiknya. Ia menghidupkan karakter Sarwadi dengan sangat
baik, meski detail karakternya memang tak begitu banyak diberikan. Sayang dalam
banyak kesempatan, bahasa Jawa dan aksen Jawa Tengah-nya terdengar tidak
konsisten. Begitu juga dengan penggunaan bahasa serta aksen Jawa Tengah untuk
karakter-karakter lain.
Sebagai debut, Rania Putrisari
tak buruk. Bukan salahnya jika sosok Kartini digambarkan sebagai seorang wanita
lemah lembut yang punya cita-cita besar tapi tak cukup berani untuk lebih
‘memberontak’, seperti sosok yang kita kenal selama ini. Mungkin ini untuk
kepentingan dramatisasi agar lebih mudah. So, Rania terkesan memainkan karakter
yang aman dan biasa saja. Kalem, lemah lembut, dan malu-malu. Debutant lainnya,
bintang cilik, Christabelle Grace Marbun, harus lebih sering membiasakan diri
berakting, termasuk pengucapan dialog yang lebih natural lagi. Sebagai pemeran
pendukung, Ence Bagus cukup berhasil sekedar menjadi karakter penyegar suasana,
meski tak sampai menjadi karakter yang memorable. Terakhir, Donny Damara
sebagai Ario Sosroningrat, terasa biasa saja. Bahkan mungkin banyak yang tidak
menyangka (atau bahkan tidak peduli?) bahwa Donny-lah pemerannya.
Lupakan sejenak detail-detail
otentik yang diabaikan dan minimnya setting yang digunakan. SCuK sebenarnya
masih berusaha tampil cantik di layar lewat art-nya. Asalkan Anda tergolong
awam untuk detail-detail set, maka upaya itu cukup berhasil. Scoring Aghi
Narottama dan Bemby Gusti berhasil menghantarkan emosi-emosi adegannya dengan
lembut. Tak sampai jadi catchy atau memorable, tapi cukup berhasil semakin
menghidupkan adegan. Sinematografi Muhammad Firdaus mungkin juga tak istimewa,
tapi lebih dari cukup untuk bercerita dan memberikan kesan sesuai eranya.
Begitu juga editing Yoga Krispratama yang tak istimewa selain sekedar cukup
efektif dalam bercerita, dengan pace yang pas.
Secara keseluruhan, SCuK memang
terkesan tanggung atau malah ‘asal’ dengan cukup banyak yang diabaikan. Alur
cerita dan pace-nya terlalu sederhana tanpa konflik yang benar-benar terasa
mencuat bagi beberapa kelompok penonton. Namun coba ajak anak-anak untuk
menyaksikannya. Siapa tahu cukup efektif untuk menjelaskan kondisi
socio-kultural dan kiprah Ibu Kartini saat itu. Jika berhasil, maka pendekatan ‘nyeleneh’
SCuK ini bisa dicoba untuk biopic lain yang memang ditargetkan untuk anak-anak.
Tidak ada yang salah dengan itu, mengingat pelajaran sejarah lebih penting
ditanamkan sejak dini, bukan?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.