4/5
Blockbuster
Box Office
Chick Flick
Drama
Franchise
Friendship
Indonesia
mature relationship
nostalgic
Panoramic
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
sequel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ada Apa dengan Cinta 2
Setelah kesuksesan Petualangan Sherina tahun 1999, Mira
Lesmana lewat bendera Miles-nya memproduksi karya kedua yang kali ini bergenre
drama remaja. Di tengah kondisi perfilman nasional yang masih lesu, kehadiran Ada Apa dengan Cinta? (AADC) di awal
tahun 2002 langsung disambut dengan luar biasa. Tak hanya berhasil membukukan
angka sekitar 2.7 juta penonton (yang artinya juga masuk lima besar film
Indonesia terlaris sampai saat ini), AADC menjelma jadi ikon generasi yang
legendaris sampai saat ini. Mulai dari scene, quote, lagu, sampai elemen-elemen
remeh lainnya, menjadi ikonik yang memorable. Kesuksesan ini tentu sayang jika
tak dimanfaatkan menjadi sebuah franchise, mengingat tak banyak film Indonesia
yang berhasil melahirkan franchise kuat. Jika sekuel saat itu dianggap susah
untuk dikembangkan, maka serial TV jadi pilihan. Sinemart memproduksi serialnya sebanyak 104 episode yang
tayang Desember 2003 sampai Juli 2005.
Lalu pertengahan 2015, sebuah
aplikasi chat memproduksi sebuah film pendek yang tentu saja digunakan sebagai
promotional tool, seolah-olah menyambung kisah genk Cinta dan Rangga.
Se-Indonesia tentu langsung heboh dan menganggap bahwa ini adalah teaser untuk
sekuel AADC setelah 13 tahun. Let’s say, benar, kontrak iklan dengan aplikasi
chat itu sebagai teaser untuk kembali membangun awareness, tapi tak salah juga
jika ada yang menduga, produksi film pendek ini adalah salah satu cara
mengumpulkan budget pembuatan AADC2. Apalagi setelah Pendekar Tongkat Emas yang awalnya digadang-gadang dijadikan
pancingan untuk lahirnya AADC2, merugi secara komersial. The show must go on.
Miles lantas menggandeng Legacy Pictures yang ‘sukses’ dengan Kapan Kawin. Maka diproduksi lah AADC2,
terutama untuk memuaskan dahaga kerinduan fans film pertamanya, dan sebisa mungkin,
menjaring fans baru dari generasi yang sudah berbeda.
Setelah 14 tahun, genk Cinta;
Milly, Maura, dan Karmen sepakat untuk berkumpul lagi. Kembalinya Karmen dari
rehab menjadi momen yang dirasa pas bagi mereka untuk liburan bersama ke
Jogjakarta. Kebetulan Cinta sedang ada event seni di kota budaya itu. Berniat
seru-seruan bak masih SMA, mereka malah tak sengaja bertemu dengan Rangga yang beberapa
tahun yang lalu mendadak memutuskan hubungan dengan Cinta tanpa alasan yang
jelas. Rangga jauh-jauh mengunjungi Jogjakarta dari New York untuk berdamai
dengan masa lalu, terutama dengan sang ibu kandung yang merindukan
kehadirannya. Menurut Karmen, ini adalah kesempatan untuk Cinta dan Rangga
menuntaskan urusan di antara mereka berdua sebelum Cinta menikahi kekasihnya
yang seorang businessman, Trian. Sempat menolak ide tersebut, namun
bagaimanapun juga, Cinta akhirnya bertemu Rangga. Akhirnya Cinta setuju untuk
mengusahakan ‘perdamaian’ dengan Rangga. Tentu ini menjadi penentuan penting
tentang bagaimana kelanjutan hubungan keduanya.
Sebagai sebuah franchise dengan
jutaan penggemar, tak hanya di Indonesia, tapi juga Malaysia dan Brunei
Darussalam, kelanjutan kisah AADC tak bisa dikembangkan dengan main-main. Belum
lagi ketika bertemu dengan para kritik yang selalu punya alasan untuk tidak
mencerca karya. Maka menjaga keseimbangan di antara keduanya; memuaskan
penggemar dan menjaga kualitas cerita dan penggarapan, mejadi krusial. Tentu,
dengan reputasi Miles dan penyutradaraan yang beralih dari Rudi Soedjarwo ke
tangan Riri Riza, kualitas AADC2 sebenarnya tak perlu dipertanyakan lagi.
Meski dibangun atas konsep cerita
perjalanan nostalgia persahabatan dan berdamai dengan masa lalu (terutama lewat
karakter Rangga yang mencoba berdamai dengan Cinta dan ibu kandungnya), PR
paling utama yang sebenarnya berhasil dikerjakan dengan memuaskan adalah
membawa kembali atmosfer nostalgic dari AADC pertama. Karakter-karakter utama,
terutama genk Cinta, Mamet, dan Rangga, masih mampu melanjutkan karakter yang
sama setelah sekian lama. Elemen-elemen penting yang memperkuat tiap karakter
utama berhasil dipertahankan, dengan perkembangan kedewasaan yang seimbang.
Keseimbangan karakter otentik dan kedewasaan ini paling terasa, misalnya ketika
terjadi tarik-ulur hubungan antara Cinta-Rangga. Di satu sisi, Cinta masih
menyimpan dendam yang mendalam terhadap Rangga, tapi sisi ‘kedewasaan’-nya lalu
berusaha untuk berdamai. Sementara di sisi terdalamnya, Cinta sebenarnya juga
masih punya harapan-harapan.
Begitu juga plot persahabatan
Cinta-Karmen-Milly-Maura yang meski porsinya terkesan dikalahkan porsi hubungan
Cinta-Rangga, masih berusaha ditampilkan di sini. Tak hanya seru-seruan bak
popular-teenage-chick-click, tapi juga ikatan emosional yang meski tak terasa
sekuat di AADC (ini cukup wajar dipahami, mengingat semakin dewasa, ada sekat
antara urusan pribadi dalam persahabatan), tetap terasa. Peran Alya yang di
AADC pertama sebagai tempat curhat terdekat Cinta, kali ini digantikan oleh
Karmen yang berkat berbagai permasalahan hidup, menjadikannya punya pemikiran
yang lebih bijak dan dewasa.
Pemilihan kota New York dan
Jogjakarta sebagai setting terasa punya kepentingan yang kuat untuk memperkuat
karakter. Terutama Jogjakarta yang mana tak hanya berhasil dieksplor untuk
membuat penontonnya ingin menjalani tour ala AADC2, tapi juga memperkuat
karakter serta hubungan Rangga-Cinta sebagai penikmat seni-budaya. Misalnya,
adegan wayang boneka yang seolah menjelaskan hubungan antara Cinta-Rangga dan
Cinta-Trian. Dialog-dialog antara keduanya yang terasa awkwardly sweet,
natural, tapi mampu menjelaskan perasaan terdalam masing-masing, terjadi dengan
berbagai latar landmark Jogja yang tak begitu banyak orang tahu. Seolah
menciptakan adegan-adegan ikonik tersendiri, bak Jesse-Celine di trilogy Before milik Richard Linklater. Tentu
saja dengan signatural taste mereka sendiri.
Above all, yang menjadikan AADC2
begitu powerful adalah kemampuannya membuat tiap adegan begitu emosional bagi
penonton, tanpa dramatisasi berlebihan. Oke, faktor nostalgic dan kedekatan penonton
dengan para karakter yang sudah dijalin sejak film pertamanya memang menjadikan
tugas ini terlihat lebih mudah. Namun kepiawaian Riri Riza membangun
adegan-adegan down-to-earth dan cliché menjadi begitu terasa powerful, ditambah
akting para aktornya, adalah motor utamanya. Apalagi estafet bangku
penyutradaraan dari Rudi ke Riri yang jelas-jelas punya style yang berbeda.
Terbukti Riri berhasil menghadirkannya, tanpa meninggalkan berbagai signatural
khasnya di berbagai momen. Misalnya shot-shot silent ala Riri ketika di
Brooklyn, serta shot-shot lain yang mengingatkan saya akan Petualangan Sherina dan Gie.
Mungkin emotional impact-nya tak semagis AADC pertama, tapi bagi saya, tetap
punya emotional impact tersendiri. Sepanjang film.
Melanjutkan peran sebelumnya,
Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra menjadi daya tarik utama. Porsi
karakter yang mendominasi sekaligus performa yang memang sekuat AADC pertama,
menjadi faktornya. I have to say, hanya Dian dan Nicho yang bisa memainkan
karakter berbahasa baku tapi tetap terdengar wajar. They still are.
Keseimbangan antara the same characters dan kedewasaan, sekaligus pergulatan
emosi antara keduanya, juga berhasil ditampilkan dengan sangat wajar dan
natural.
Adinia Wirasti yang punya jam
terbang akting paling banyak pasca AADC, tentu tak punya banyak masalah
melanjutkan peran Karmen. Tak semeledak-meledak dulu, transformasi karakternya
menjadi lebih wise dan sedikit lebih introvert, masih dalam kadar masuk akal. Sissy
Priscillia sebagai Milly menjadi pencuri perhatian penonton berkat karakternya
yang mungkin tak selugu dulu, tapi tetap menjadi pencair suasana dan pengundang
senyum sekaligus tawa di banyak momen. Sementara Titi Kamal yang sebenarnya
punya porsi karakter paling sedikit dan taksemenonjol Sissy, masih mampu
menarik perhatian penonton lewat tingkahnya.
Di jajaran pemeran pendukung,
terutama Dennis Adishwara, Chrisitan Sugiono, dan Ario Bayu, mungkin tak punya
porsi karakter yang cukup penting atau kuat, tapi tetap saja kemunculannya
menarik perhatian untuk lebih menyemarakkan film. Terakhir, Dimi Cindyastira
yang memerankan adik tiri Rangga, Sukma, menjadi yang terlemah. Performa
aktingnya masih sangat mentah dengan ekspresi-ekspresi sinetron-ish ketimbang
pendalaman karakter yang natural.
Di teknis, sinematografi Yadi
Sugandi yang sudah menjadi partner langganan dengna Riri, menjadi salah satu
kekuatan utama dalam menghadirkan atmosfer nostalgic sekaligus emosional AADC2.
Tak hanya berhasil mengekplorasi kontras kota New York dan Jogjakarta dengan begitu
terasa kuat, tapi juga mampu bercerita tersendiri di atas plot adegan-adegan
yang berjalan. Alunan score dan musik-musik dari Melly Goeslaw dan Anto Hoed
turut memberikan nyawa lebih hidup sepanjang film. Musik-musiknya mungkin tak
sememorable AADC pertama, tapi tetap saja berhasil menghanyutkan penonton ke
dalam cerita sepanjang film. Notable credit dari saya, Ora Minggir Tabrak dari Kill the DJ yang
seolah mem-fusion nuansa urban dan budaya tradisional.
Desain produksi oleh Eros Eflin
yang dibantu oleh Chitra Subiyakto sebagai penata busana dan Jerry Octavianus
sebagai penatara rias, melanjutkan konsep pop, yang kini ditambahkan karakter
sophisticated dan maturity dengan begitu cantik serta yang terpenting,
menguatkan tiap karakter.
Sayang, editing W Ichwandiardono
membuat banyak sekali transisi shot terasa kurang mulus yang sedikit mengganggu
kenyamanan menonton, terutama karena ini tergolong film yang kekuatannya
terletak pada kemampuan menghanyutkan emosi penonton. Beberapa kontinuiti angle
yang miss pun masih terasa di sana-sini. Namun setidaknya koherensi antar
adegan masih terjaga sehingga tetap nyaman untuk diikuti.
So, jika Anda ragu-ragu akan
menyukai AADC2 atau tidak, maka akan sangat tergantung pada pihak mana Anda berasal dan apa
ekspektasi Anda. Saya bisa memahami Mira-Riri membuat AADC2 untuk memuaskan
kalangan mayoritas penggemarnya dengan menghadirkan berbagai tribute nostalgic
dan adegan-adegan yang diharapkan penonton, dengan jawaban-jawaban yang cukup
memuaskan dan wajar atas berbagai pertanyaan yang muncul dari AADC pertama.
Keseimbangan antara karakter-karakter yang sama dan berbagai kedewasaan
berhasil dicapai, tanpa terasa terlalu cheesy ataupun sok cerdas/sok bijak/sok
dewasa. Justru pergulatan antara perasaan terdalam dan desakan untuk bersikap
dewasa dijadikan salah satu elemen cerita tentang perjalanan persahabatan serta
berdamai dengan masa lalu yang menarik untuk disimak. Cliche? Mungkin, tapi
justru itulah yang membuat AADC begitu membumi, dekat dengan mayoritas
penontonnya, sekalipun sudah menyandang status ‘dewasa’. Itulah resep sukses
komersial AADC (dan juga AADC2) yang memang digarap dengan konsep yang jelas, kuat,
serta teknis yang serba mumpuni. Itu pula yang membuat banyak fans selalu kangen untuk menontonnya
berulang-ulang, lagi dan lagi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.