3/5
Action
Adventure
Drama
Fairy Tale
Franchise
Hollywood
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Huntsman: Winter's War
Dongeng klasik princess tak
pernah kehabisan ide untuk dimodifikasi. Salah satu yang paling menarik
perhatian di tahun 2012 lalu adalah Snow
White and the Huntsman (SWatH) yang menjadikan dongeng romantis sebuah film
aksi petualangan bersetting era medieval. Jujur, formula seperti ini tak begitu
menarik minat saya. I’ve had enough of medieval war atau peperangan dengan
seragam armor and sword. (Apalagi pemerannya Kristen Stewart yang sudah bikin
saya turn-off sejak The Twilight Saga).
Namun rupanya SWatH menjelma menjadi franchise yang menguntungkan bagi
Universal Pictures sehingga berniat untuk dikembangkan lebih lanjut. Tahun
2016, sebuah installment bertajuk The
Huntsman: Winter’s War (THWW) dirilis. Dengan menggunakan judul The Huntsman instead of Snow White, jelas bahwa karakter Snow
White tak lagi menjadi tokoh sentral. To be exact, THWW merupakan prekuel
sekaligus sekuel dari SWatH, atau bisa juga disebut sebagai spin-off.
Alkisah, Ratu Ravenna yang tamak
menggunakan berbagai cara untuk memperluas wilayah kekuasaannya, termasuk
membunuh. Sang adik, Freya, pun dididik serupa. Maka ketika ia mendapati Freya
hamil dan berniat lari dengan kekasihnya, Ravenna merekayasa kematian anak dan
kekasihnya. Freya murka dan mendirikan kerajaan sendiri dengan satu aturan,
tidak ada yang boleh jatuh cinta karena dianggap sebagai kelemahan.
Bertahun-tahun kemudian, dua prajurit Freya; Sara dan Eric ditemukan diam-diam
memadu kasih. Freya pun membunuh Sara tepat ketika hari mereka berdua
merencanakan kabur dari kerajaan. Eric yang patah hati tak punya pilihan lain
selain tetap menjadi seorang Huntsman. Bertahun-tahun kemudian, Raja William
dari Tabor meminta tolong Eric untuk mencari cermin ajaib yang hilang ketika
akan dipindahkan ke sebuah tempat aman. Raja William mengutus dua orang
kurcaci, Nion dan Gryff untuk membantu Eric. Di perjalanan, Eric menemukan
kenyataan lain yang mencengangkan. Misi pencarian cermin ajaib pun berujung
pada konfrontasi dengan Freya dan Ravenna.
Dibandingkan SWatH, THWW
menawarkan plot yang lebih jauh lagi dari pakemnya. Dari dongeng princess
menjadi murni action-adventure fantasy. Tak ada yang salah dengan konsep
demikian, meski bagi saya ini juga bukan sesuatu yang istimewa. Apalagi plot
dasarnya yang dengan mudah mengingatkan siapa saja akan animasi sukses Disney, Frozen, beberapa tahun lalu. Esensi
cinta yang jauh lebih penting above anything and can conquer anything, memang
tak sampai terasa cheesy, tapi sebagai film blockbuster yang lebih mementingkan
fun factor, juga tak terasa unik, kuat, ataupun berkesan. Untung saja sebagai
sebuah film action-adventure blockbuster, THWW masih punya cukup banyak adegan
pertarungan yang seru. Tak istimewa, saya tahu tak akan tertanam lama dalam
benak saya, tapi harus diakui, cukup eye-candy dan menghibur sesaat.
Salah satu faktor utama yang
membuat THWW menarik adalah penampilan ketiga aktris utamanya: Charlize Theron,
Emily Blunt, dan Jessica Chastain. Meski tidak tampil sebagai trio (alias
berdiri sendiri-sendiri), ketiganya mampu ‘menyihir’ penonton dengan pesona
masing-masing. Theron dengan kharisma villainous yang anggun, berkelas,
sekaligus keji, bak Angelina Jolie di Maleficent.
Blunt dengan keanggunan, serta kekerasan sekaligus kerapuhan hati. Sedangkan
Chastain dengan badass action performance-nya yang seksi. Meski terkesan
dikalahkan ketiga aktris utama, Chris Hemsworth sebagai Eric masih mampu
memikat khususnya penonton wanita dengan kharisma protagonis jagoan. Bukan
salahnya jika karakter Eric menjadi kalah menarik perhatian. Kemudian sebagai karakter-karakter
penyegar suasana, Nick Frost, Rob Brydon, Sheridan Smith, dan Alexandra Roach
sebagai kurcaci-kurcaci, cukup berhasil menyeimbangkan nuansa keseluruhan film
yang serius dan depresif.
Sinematografi Phedon Papamichael
cukup berhasil membuat adegan-adegan aksinya terasa seru dan dinamis, dipadu
dengan editing Conrad Buff yang juga serba tepat. Namun yang paling memikat
tentu saja desain produksi Dominic Watkins yang megah, luxury, dan cantik. Tak
ketinggalan visual effect yang begitu memukau, terutama ketika Ravenna
bertransformasi dari cairan ke bentuk asli. Stunning! Kredit lain yang patut
diapresiasi adalah sound design yang sangat sangat memanjakan telinga.
Powerful, crispy, clear, dan punya detail yang luar biasa. Fasilitas surround
7.1. dimanfaatkan dengan teramat maksimal untuk menghadirkan experience yang
makin menggelegar.
Jadi tentukan ekspektasi yang
tepat sebelum menonton THWW. Tak perlu berharap terlalu muluk, karena ia memang
dibuat sebagai tontonan hiburan yang seru, tanpa perlu banyak berpikir, dan
tentunya eye-and-ear-candy. Nikmati saja tiap momennya, karena belum tentu
kesemuanya bisa menempel lama dalam benak.
Lihat data film ini di IMDb.