3.5/5
Action
Based on a True Event
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Drama
Hollywood
Oscar 2017
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi
Sejak mega box office hit
franchise Transformers, nama Michael
Bay selalu identik dengan franchise robot raksasa tersebut. Baik di mata
penggemarnya maupun kritik yang mem-bash kualitas sekuel-sekuelnya. Pain & Gain yang bergenre drama
komedi pun gagal menghapus image yang sudah terlanjur melekat kuat itu. Faktor
utamanya adalah hasil box office yang biasa-biasa saja. Padahal sebelum Transformers, Bay dikenal sebagai
sutradara spesialis action yang sukses melahirkan franchise Bad Boy, serta The Rock dan Armageddon
yang statusnya sudah ‘instant classic’. Bay juga pernah (bisa dianggap)
berhasil menggarap gabungan drama dan war lewat Pearl Harbor. Kini sekali lagi Bay mencoba untuk menggarap film di
luar franchise Transformers yang
membayang-bayanginya. Sebuah war-thriller-drama berdasarkan insiden nyata di Benghazi, Libya, tahun 2012
lalu, yang juga sudah dibukukan dengan judul 13 Hours oleh Mitchell Zuckoff. Menariknya, kaum pemberontak yang
dimunculkan di sini adalah cikal bakal ISIS yang menjadi ‘momok’ internasional
hingga saat ini. Tema war-thriller-drama dengan latar militer bukan barang baru bagi Bay yang sering
mengangkat unsur militer di film-film sebelumnya.
13 Hours: the Secret Soldiers of Benghazi (13H) membuka narasi
dengan memperkenalkan Benghazi, Libya, sebagai zona paling berbahaya di dunia.
Paska pemerintahan Gadhafi digulingkan, kelompok militan radikal bermunculan
dan ‘meneror’ seantero kota. Duta besar berbagai negara menarik diri,
terkecuali Amerika Serikat yang punya misi khusus, termasuk pos fasilitas CIA
yang diberi nama The Annex. Jack Da Silva, seorang anggota baru tiba di
Benghazi dijemput oleh kawan lamanya, Tyrone. Da Silva bergabung dengan tim
yang bertugas mengamankan duta besar Amerika Serikat untuk Libya, Christopher
Stevens. Stevens mengupayakan jalan diplomasi untuk memperjuangkan demokrasi di
Libya. Keadaan yang awalnya diprediksi aman, berubah menjadi horor ketika 11
September 2012, tepat peringatan ke-11 serangan 9/11. Rumah tempat Stevens
bermukim yang merupakan bekas vila konglomerat Libya, diserang oleh sekelompok
militan tak dikenal. Da Silva dan timnya ingin segera meluncur ke lokasi yang
jaraknya hanya beberapa kilometer, namun tidak diberikan ijin untuk bertindak
oleh petinggi CIA pusat. Hingga akhirnya ketika suasana semakin memburuk,
mereka berangkat juga melakukan pengamanan. Ternyata tak berhenti sampai di
situ, malam panjang (selama 13 jam) harus mereka habiskan dalam suasana teror
sebelum dijemput pulang.
Dengan tema yang seperti ini,
sebenarnya hanya ada dua formula yang menjadi resep utama 13H: mengulik sisi
patriotisme Amerika Serikat dan kemanusiaan di balik tokoh-tokoh sentralnya.
Formula yang kurang lebih sama dengan film drama-perang Hollywood beberapa
tahun terakhir, seperti misalnya American
Sniper dan The Lone Survivor.
Bagi yang ‘anti-Amerika’, ini tentu bukan materi yang menguntungkan. Jadi tak
perlu heran dengan isu propaganda perang Amerika Serikat atau keluhan, ‘ngapain
sih Amerika Serikat segitu keponya ngurusin negara orang?’ yang selalu mencuat
mengiringi film jenis ini. As for myself, I don’t really mind with that. It’s
out of my concern, as long as the movie delivered everything with proper logic
dan yang paling penting, berhasil menyuguhkan hiburan yang menegangkan
sekaligus menyentuh. For those purposes, saya harus mengakui bahwa Michael Bay
berhasil dengan gemilang. Adegan-adegan penyergapan terasa begitu mencekam dan
ketika harus berhadapan dengan realita kemanusiaannya, terutama dari sudut
pandang prajurit dengan keluarganya, 13H menguras emosi saya. Tak sampai dengan
dramatisasi berlebihan atau menimbulkan isak tangis, tapi cukup bikin perasaan
nyess di dada.
Namun bukan berarti 13H tanpa
cela. Sejak menit pertamanya bercerita, ia sudah memperkenalkan begitu banyak
karakter. Tak hanya 6 karakter utama yang menjadi fokus cerita, tapi juga
pejabat-pejabat lain yang punya peran di balik misi di Benghazi ini. Jujur, ini
sempat membuat saya bingung. Apalagi dengan body-type dan garis wajah yang tak
terlalu berbeda jauh. Tak diperankan oleh aktor-aktor yang cukup familiar bagi
saya, pula. Detail karakter pun lebih banyak diberikan kepada Da Silva dan
Tyrone. Sedangkan sisanya hanya berupa latar belakang keluarga di rumah yang
tergolong tipikal sehingga tak terlalu berkesan. Fokus penonton pun mau tak mau
lebih ke Da Silva dan Tyrone. Durasi yang nyaris dua setengah jam pun terasa
terlalu panjang dengan interval antar adegan aksi menegangkan yang masih
tergolong kurang efektif. Mungkin faktor cerita latar belakang masing-masing
karakter yang tipikal, tak beda jauh dengan di film-film sejenis lainnya, yang
membuat saya tak terlalu tertarik. Entahlah. Yang pasti latar belakang ini
terkesan sekedar ada, tidak punya relevansi yang penting bagi karakter-karakter
dengan cerita utama. Identitas dan cerita dari sisi villain pun tak ditampilkan
dengan jelas. Sehingga tak salah jika penonton yang tak begitu familiar dengan
insiden ini akan mengira ‘musuh’-nya hanyalah random militant group. Mungkin
faktor menghindari kontroversial yang berlebihan jika menuding sang pelaku
secara terang-terangan. Atau mungkin juga sebagai upaya menjaga fokus cerita
dari sudut pandang ‘para prajurit’ Amerika Serikat, yang sudah berkali-kali
digunakan film bertema sejenis.
Aktor-aktor di sini sebenaranya
memberikan performa yang cukup merata. Tak ada yang benar-benar menonjol. Yang
membedakan mungkin hanya porsi durasi di layar. Itulah sebabnya John Krasinski
sebagai Da Silva dan James Badge Dale sebagai Tyrone terasa lebih berkesan
ketimbang, sebut saja Pablo Schreiber (Tanto), David Denman (Boon), Dominic
Fumusa (Tig), dan Max Martini (Oz). Di lini berikutnya, penampilan Matt
Letscher sebagai Chris Stevens dan Peyman Moaadi sebagai Amahl cukup mencuri
perhatian saya. Sementara Alexia Barlier, sebagai Sona, yang menjadi
‘satu-satunya’ wanita di jajaran testosterone, tak diberi porsi yang cukup
untuk lebih memikat.
Michael Bay masih menggunakan
signaturalnya di 13H, seperti sinematografi dari Academy Award winner, Dion
Beebe, yang menampilkan cukup banyak shaky cam. Untung saja tak sampai membuat
saya pusing atau mual dengan tampilan dengan konsep realis ini. Editing dari
Pietro Scalia (juga Academy Award winner untuk film sejenis, Black Hawk Down) dan dibantu Calvin
Wimmer yang menjadi langganan Bay jelas tak perlu diragukan lagi, terutama
dalam menyajikan thrilling dan emotional moment-nya, di balik durasi yang 144
menit. Scoring dari Lorne Balfie mungkin terdengar just like another Hollywood
blockbuster, but still work well. Soal tata suara, tak perlu diragukan lagi.
13H menghadirkan keseimbangan kejernihan, deep bass, crisp, dan surround effect
yang mumpuni. Terakhir, theme song Til
the Sun Comes Back Around yang dibawakan oleh Chris Cornell yang mengalun
saat credit title, patut mendapatkan kredit tersendiri untuk menutup film
dengan kesahajaan.
Secara keseluruhan, 13H mungkin
bukan karya terbaik (apalagi terburuk) Bay. 13H juga bukan film bertema
drama-war Amerika Serikat terbaik yang punya naskah lebih solid, seperti
misalnya American Sniper, The Lone Survivor, atau bahkan Black Hawk Down sekalipun. Namun
signatural style Bay cukup memberikan kontribusi keberhasilan, terutama dalam
menyajikan thrilling and emotional moment. Untuk urusan emotional moment, harus
saya akui Bay sedikit naik kelas dari sebelum-sebelumnya. So bagi Anda yang menyukai
tema war-thriller-drama dan tidak ‘anti-(propaganda) Amerika’, 13H sajian yang
tak boleh dilewatkan.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Sound Mixing - Greg P. Russell, Gary Summers, Jeffrey J. Haboush, and Mac Ruth