3.5/5
Action
Arthouse
Artistic
Drama
Fantasy
Indonesia
Martial Art
Rivalry
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Pendekar Tongkat Emas
Overview
Bersamaan dengan sejarah filmnya,
Indonesia sebenarnya juga punya sejarah film bergenre silat yang cukup panjang,
bahkan sempat mencapai masa kejayaannya. Siapa yang tidak mengenal kisah
seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Si
Buta dari Gua Hantu, Si Pitung,
dan Si Jampang? Well, mungkin
generasi-generasi muda yang baru lahir 90-an ke atas dan hanya mengenal silat
Indonesia melalui sinetron dan FTV silat seadanya yang ditayangkan di TV-TV
lokal kita. Dengan eksistensi yang sudah berpuluh-puluh tahun vacuum dan image
yang sudah terlanjur ternodai (begitu lama juga), effort Mirles untuk
menghadirkannya lagi perlu dihargai. Padahal tantangan dan resikonya besar
sekali. Budget yang sudah pasti besar (konon mencapai 25 milyar rupiah), tapi
dengan pasar yang bisa dibilang masih sangat belum akrab dengan genre ini.
Well, anyway Mirles sejak dulu memang dikenal selalu berani mencoba genre baru
serta pasar yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya, dan sukses. Terbukti Petualangan
Sherina dan Ada Apa dengan Cinta
menjadi pertaruhan yang berbuah manis bagi Mirles. Toh Mirles selalu menjaga
kualitas, setidaknya secara teknis, sehingga selalu menjadi pioneer di ranah
perfilman Indonesia.
Pendekar Tongkat Emas (PTE) nyatanya tidak se-epic bayangan saya
ketika pertama kali mendengar dan melihat materi-materi promosinya yang begitu
menjanjikan. Alih-alih berlabel film silat, PTE lebih tepat disebut sebagai
film drama tentang silat. Premise-nya sendiri tergolong biasa dan klise,
apalagi bagi yang sudah cukup familiar dengan genre serupa, baik produksi lokal
maupun import. Meski begitu, berkat flow cerita yang mengalir cukup lancar dan
performance aktor-aktris-nya yang serba prima, menjadikan PTE film yang masih
enjoyable, di balik alurnya yang tergolong lambat.
Secara keseluruhan, PTE memang
menyajikan sebuah karya yang menghibur dan dipresentasikan dengan cukup baik.
Meski harus diakui bukanlah karya terbaik produksi Mirles selama ini. Menarik,
namun tidak sampai menjadi sesuatu yang terlampau istimewa. Kendati demikian,
effort-nya dalam menawarkan genre yang sudah lama usang dan memperbaiki image
film bertemakan silat di ranah film Indonesia patut mendapatkan kredit
tersendiri. Kebangkitan genre silat yang sangat layak dan digarap dengan tidak
main-main. Itulah mengapa, terutama bagi yang jarang menyaksikan film
Indonesia, PTE terasa begitu fresh dan menampilkan sesuatu yang begitu istimewa
bagi film Indonesia. Kisah silat yang kental rasa dan nuansa Indonesia-nya,
dengan treatment kelas dunia.
The Casts
Setelah menganalisa lebih jauh
dan lebih dalam pasca menonton, PTE barulah terbaca beberapa kekurangannya.
Yang terasa jelas adalah karakteristik para tokoh yang (entah disengaja atau
tidak) tidak digali lebih dalam. Alhasil, cerita hanya fokus pada pengenalan
karakter-karakter dengan latar belakang secukupnya, lantas cerita dibiarkan
mengalir begitu saja hingga akhir. Tidak salah jika konsepnya memang demikian,
namun hasilnya juga tidak bisa membuat para karakternya menempel kuat di benak
penonton pasca menyaksikannya. Untung pemilihan aktor-aktrisnya cukup membantu
membuat setiap karakter masih cukup membekas. Apalagi performa beladiri yang
ditampilkan masing-masing karakter cukup meyakinkan. Tidak terlalu mampu
terlihat luar biasa, namun effort-nya patut dihargai lebih.
Dari jajaran cast all-star, yang
patut paling saya puji adalah penampilan Eva Celia yang ternyata sangat baik.
Meningkat cukup drastis dari penampilannya terakhir di Adriana. Beban karakter utama yang cukup berat dan punya porsi yang
paling banyak, tidak menjadi sebuah masalah baginya, justru memperkuat
image-nya di mata penonton. Lewat penampilannya di sini, Eva Celia berhasil
membuktikan diri sebagai aktris muda yang sangat menjanjikan, di tengah
membanjirnya aktor-aktris muda masa kini yang lebih banyak jual tampang
daripada kualitas akting.
Nicholas Saputra yang punya
pengalaman jauh lebih banyak pun turut mengimbangi Eva Celia dengan sangat
baik. Tidak sampai menggusur kharisma Eva Celia, namun mampu menarik perhatian
penonton dengan caranya sendiri.
Reza Rahadian tetap memberikan
performa yang begitu pas dengan karakternya. Namun karena ini adalah seorang
Reza Rahadian yang kelasnya sudah jauh di atas aktor rata-rata, maka
penampilannya di sini sudah termasuk golongan biasa saja. Cukup pas mengisi
perannya meski tidak begitu istimewa pula. Sementara Tara Basro cukup berhasil
membangun image antagonisnya dengan baik lewat garis wajah yang terlukis di
wajahnya yang eksotis dan berkarakter kuat.
Penampilan Christine Hakim yang
tak begitu banyak, seperti biasa, mampu memberikan kesan tersendiri dengan
ekspresi wajahnya yang entah bagaimana, dari sananya sudah cocok memerankan
karakter serius apapun. Ditambah kemampuan bela diri yang “wah”.
Di jajaran pemeran pendukung
lainnya, penampilan Prisia Nasution dan Darius Sinathrya cukup memberikan kesan
tersendiri.
Terakhir, tentu saja pendatang
baru Aria Kusumah yang menurut saya diberikan pengembangan karakter paling
menarik dan banyak meski bukan di porsi utama, mampu menghidupkannya dengan
cukup mengesankan.
Technical
Kekuatan utama dari teknis PTE
jelas adalah sinematografi dari Gunnar Nimpuno, terutama dalam menangkap
gambar-gambar lanskap Sumba dengan sangat cantik, sekelas National Geographic.
Namun pergerakan kameranya masih belum secara maksimal merekam adegan-adegan
pertarungan. Alhasil tidak banyak adegan pertarungan yang terasa luar biasa
seru, most of them karena tidak dibingkai dengan close-up dan editing yang juga
kurang mampu memberikan kesan dinamis di tengah-tengah pace film yang memang
bergerak lambat. Untung di adegan pertarungan akhir yang cukup penting dan
nyatanya mampu membekas di benak penonton, kendala-kendala ini cukup
diperbaiki. Tata kamera sebenarnya juga masih kurang menutupi pergantian stunt
di adegan pertarungan, yang otomatis juga mungkin akan membuat editor susah
untuk menutupinya. Namun bagi mata awam, mungkin minus ini tidak akan begitu
terasa.
Above all, ada beberapa shot yang
luar biasa cantiknya, bahkan in term of cinematography, namun ada juga beberapa
yang cukup mengganggu. Saya mencatat setidaknya ada 2 shot yang saya
pertanyakan. Pertama shot wide Christine Hakim di tengah ilalang-ilalang yang
entah kenapa fokusnya tanggung. Tetap terasa aneh jika sengaja dikonsep blur.
Kedua, pergerakan kamera lambat setelah Eva Celia dan Aria jatuh ke jurang,
yang terasa kurang smooth (terasa patah-patah).
Tata suara dari Satrio Budiono
dan Yusuf Patawari, serta scoring dari Erwin Gutawa turut membangun
adegan-adegan dengan baik. Meski gaya film yang sejak awal digunakan, terasa
mendadak berubah drastis di adegan terakhir, terutama dari aspek scoring-nya.
Jika di awal hingga pertengahan menggunakan orkestra dengan nuansa etnik
Indonesia dan lebih terkesan arthouse, di adegan pertarungan final berubah
menjadi pop. Sedikit mengingatkan akan film-film silat Mandarin era kejayaan
Shaw Brothers yang kasar. Bagi penonton awam, perubahan ini mungkin tidak akan
begitu menjadi masalah. Toh tetap mendukung adegan dengan sangat baik. Tapi
bagi yang terbiasa menganalisa setiap aspek detail film, ini bisa jadi sebuah
inkonsistensi.
Untuk artistik, saya menyukai
tata kostum yang sederhana namun cantik dan cukup ikonik dari karakter-karakter
utamanya. Fusion antara kostum silat umum dan nuansa etnik Sumba berpadu dengan
sangat indah. Anyway, PTE adalah sebuah karya fantasi yang tidak perlu
menggunakan fakta sejarah apa-apa. Sehingga sah-sah saja dalam menampilkan
artistik yang fusion dan tidak terlalu otentik. Tidak ada yang salah dengan
itu. Yang patut dicatat dari tata artistik (terutama dalam ranah fiksi dan
fantasi), kekuatan artistik sebagai aspek yang ikonik dan mampu terus diingat
jauh lebih penting daripada otentisitas-nya. Jadi saya jelas-jelas menentang
kritikus yang menganggap PTE terlalu Cina dalam artistiknya (terutama dari tata
kostum). Once again, tidak ada yang salah dengan itu!
The Essence
Dalam hidup, tidak hanya di dunia
persilatan, membuat kesalahan terhadap seseorang tidak bisa dihindari.
Sometimes, memang diperlukan. Namun yang terpenting adalah bagaimana menebusnya
dengan cara yang lebih berguna di kemudian hari.
They who will enjoy this the most
- Penggemar film silat klasik, terutama produksi Indonesia
- Penonton umum yang mencari tontonan ringan namun menghibur dan seru
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.