The Jose Movie Review
Pendekar Tongkat Emas



Overview

Bersamaan dengan sejarah filmnya, Indonesia sebenarnya juga punya sejarah film bergenre silat yang cukup panjang, bahkan sempat mencapai masa kejayaannya. Siapa yang tidak mengenal kisah seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Si Buta dari Gua Hantu, Si Pitung, dan Si Jampang? Well, mungkin generasi-generasi muda yang baru lahir 90-an ke atas dan hanya mengenal silat Indonesia melalui sinetron dan FTV silat seadanya yang ditayangkan di TV-TV lokal kita. Dengan eksistensi yang sudah berpuluh-puluh tahun vacuum dan image yang sudah terlanjur ternodai (begitu lama juga), effort Mirles untuk menghadirkannya lagi perlu dihargai. Padahal tantangan dan resikonya besar sekali. Budget yang sudah pasti besar (konon mencapai 25 milyar rupiah), tapi dengan pasar yang bisa dibilang masih sangat belum akrab dengan genre ini. Well, anyway Mirles sejak dulu memang dikenal selalu berani mencoba genre baru serta pasar yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya, dan sukses.  Terbukti Petualangan Sherina dan Ada Apa dengan Cinta menjadi pertaruhan yang berbuah manis bagi Mirles. Toh Mirles selalu menjaga kualitas, setidaknya secara teknis, sehingga selalu menjadi pioneer di ranah perfilman Indonesia.

Pendekar Tongkat Emas (PTE) nyatanya tidak se-epic bayangan saya ketika pertama kali mendengar dan melihat materi-materi promosinya yang begitu menjanjikan. Alih-alih berlabel film silat, PTE lebih tepat disebut sebagai film drama tentang silat. Premise-nya sendiri tergolong biasa dan klise, apalagi bagi yang sudah cukup familiar dengan genre serupa, baik produksi lokal maupun import. Meski begitu, berkat flow cerita yang mengalir cukup lancar dan performance aktor-aktris-nya yang serba prima, menjadikan PTE film yang masih enjoyable, di balik alurnya yang tergolong lambat.

Secara keseluruhan, PTE memang menyajikan sebuah karya yang menghibur dan dipresentasikan dengan cukup baik. Meski harus diakui bukanlah karya terbaik produksi Mirles selama ini. Menarik, namun tidak sampai menjadi sesuatu yang terlampau istimewa. Kendati demikian, effort-nya dalam menawarkan genre yang sudah lama usang dan memperbaiki image film bertemakan silat di ranah film Indonesia patut mendapatkan kredit tersendiri. Kebangkitan genre silat yang sangat layak dan digarap dengan tidak main-main. Itulah mengapa, terutama bagi yang jarang menyaksikan film Indonesia, PTE terasa begitu fresh dan menampilkan sesuatu yang begitu istimewa bagi film Indonesia. Kisah silat yang kental rasa dan nuansa Indonesia-nya, dengan treatment kelas dunia.

The Casts

Setelah menganalisa lebih jauh dan lebih dalam pasca menonton, PTE barulah terbaca beberapa kekurangannya. Yang terasa jelas adalah karakteristik para tokoh yang (entah disengaja atau tidak) tidak digali lebih dalam. Alhasil, cerita hanya fokus pada pengenalan karakter-karakter dengan latar belakang secukupnya, lantas cerita dibiarkan mengalir begitu saja hingga akhir. Tidak salah jika konsepnya memang demikian, namun hasilnya juga tidak bisa membuat para karakternya menempel kuat di benak penonton pasca menyaksikannya. Untung pemilihan aktor-aktrisnya cukup membantu membuat setiap karakter masih cukup membekas. Apalagi performa beladiri yang ditampilkan masing-masing karakter cukup meyakinkan. Tidak terlalu mampu terlihat luar biasa, namun effort-nya patut dihargai lebih.

Dari jajaran cast all-star, yang patut paling saya puji adalah penampilan Eva Celia yang ternyata sangat baik. Meningkat cukup drastis dari penampilannya terakhir di Adriana. Beban karakter utama yang cukup berat dan punya porsi yang paling banyak, tidak menjadi sebuah masalah baginya, justru memperkuat image-nya di mata penonton. Lewat penampilannya di sini, Eva Celia berhasil membuktikan diri sebagai aktris muda yang sangat menjanjikan, di tengah membanjirnya aktor-aktris muda masa kini yang lebih banyak jual tampang daripada kualitas akting.

Nicholas Saputra yang punya pengalaman jauh lebih banyak pun turut mengimbangi Eva Celia dengan sangat baik. Tidak sampai menggusur kharisma Eva Celia, namun mampu menarik perhatian penonton dengan caranya sendiri.

Reza Rahadian tetap memberikan performa yang begitu pas dengan karakternya. Namun karena ini adalah seorang Reza Rahadian yang kelasnya sudah jauh di atas aktor rata-rata, maka penampilannya di sini sudah termasuk golongan biasa saja. Cukup pas mengisi perannya meski tidak begitu istimewa pula. Sementara Tara Basro cukup berhasil membangun image antagonisnya dengan baik lewat garis wajah yang terlukis di wajahnya yang eksotis dan berkarakter kuat.

Penampilan Christine Hakim yang tak begitu banyak, seperti biasa, mampu memberikan kesan tersendiri dengan ekspresi wajahnya yang entah bagaimana, dari sananya sudah cocok memerankan karakter serius apapun. Ditambah kemampuan bela diri yang “wah”.

Di jajaran pemeran pendukung lainnya, penampilan Prisia Nasution dan Darius Sinathrya cukup memberikan kesan tersendiri.

Terakhir, tentu saja pendatang baru Aria Kusumah yang menurut saya diberikan pengembangan karakter paling menarik dan banyak meski bukan di porsi utama, mampu menghidupkannya dengan cukup mengesankan.

Technical

Kekuatan utama dari teknis PTE jelas adalah sinematografi dari Gunnar Nimpuno, terutama dalam menangkap gambar-gambar lanskap Sumba dengan sangat cantik, sekelas National Geographic. Namun pergerakan kameranya masih belum secara maksimal merekam adegan-adegan pertarungan. Alhasil tidak banyak adegan pertarungan yang terasa luar biasa seru, most of them karena tidak dibingkai dengan close-up dan editing yang juga kurang mampu memberikan kesan dinamis di tengah-tengah pace film yang memang bergerak lambat. Untung di adegan pertarungan akhir yang cukup penting dan nyatanya mampu membekas di benak penonton, kendala-kendala ini cukup diperbaiki. Tata kamera sebenarnya juga masih kurang menutupi pergantian stunt di adegan pertarungan, yang otomatis juga mungkin akan membuat editor susah untuk menutupinya. Namun bagi mata awam, mungkin minus ini tidak akan begitu terasa.

Above all, ada beberapa shot yang luar biasa cantiknya, bahkan in term of cinematography, namun ada juga beberapa yang cukup mengganggu. Saya mencatat setidaknya ada 2 shot yang saya pertanyakan. Pertama shot wide Christine Hakim di tengah ilalang-ilalang yang entah kenapa fokusnya tanggung. Tetap terasa aneh jika sengaja dikonsep blur. Kedua, pergerakan kamera lambat setelah Eva Celia dan Aria jatuh ke jurang, yang terasa kurang smooth (terasa patah-patah).

Tata suara dari Satrio Budiono dan Yusuf Patawari, serta scoring dari Erwin Gutawa turut membangun adegan-adegan dengan baik. Meski gaya film yang sejak awal digunakan, terasa mendadak berubah drastis di adegan terakhir, terutama dari aspek scoring-nya. Jika di awal hingga pertengahan menggunakan orkestra dengan nuansa etnik Indonesia dan lebih terkesan arthouse, di adegan pertarungan final berubah menjadi pop. Sedikit mengingatkan akan film-film silat Mandarin era kejayaan Shaw Brothers yang kasar. Bagi penonton awam, perubahan ini mungkin tidak akan begitu menjadi masalah. Toh tetap mendukung adegan dengan sangat baik. Tapi bagi yang terbiasa menganalisa setiap aspek detail film, ini bisa jadi sebuah inkonsistensi.

Untuk artistik, saya menyukai tata kostum yang sederhana namun cantik dan cukup ikonik dari karakter-karakter utamanya. Fusion antara kostum silat umum dan nuansa etnik Sumba berpadu dengan sangat indah. Anyway, PTE adalah sebuah karya fantasi yang tidak perlu menggunakan fakta sejarah apa-apa. Sehingga sah-sah saja dalam menampilkan artistik yang fusion dan tidak terlalu otentik. Tidak ada yang salah dengan itu. Yang patut dicatat dari tata artistik (terutama dalam ranah fiksi dan fantasi), kekuatan artistik sebagai aspek yang ikonik dan mampu terus diingat jauh lebih penting daripada otentisitas-nya. Jadi saya jelas-jelas menentang kritikus yang menganggap PTE terlalu Cina dalam artistiknya (terutama dari tata kostum). Once again, tidak ada yang salah dengan itu!

The Essence

Dalam hidup, tidak hanya di dunia persilatan, membuat kesalahan terhadap seseorang tidak bisa dihindari. Sometimes, memang diperlukan. Namun yang terpenting adalah bagaimana menebusnya dengan cara yang lebih berguna di kemudian hari.

They who will enjoy this the most


  • Penggemar film silat klasik, terutama produksi Indonesia
  • Penonton umum yang mencari tontonan ringan namun menghibur dan seru
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.