The Jose Flash Review
The Hobbit: The Battle of the Five Armies

Sekali lagi Peter Jackson harus mengakhiri tambang emasnya. The Hobbit akhirnya sudah mencapai bagian terakhirnya yang sudah ditunggu-tunggu penggemar beratnya. Tapi jangan salah, fans berat seri The Lord of the Rings (TLOTR) bukan berarti otomatis menjadi fans The Hobbit versi Peter Jackson. Kali ini Peter memang punya ambisi yang sama besarnya saat menggarap trilogy TLOTR, meski source aslinya (novel The Hobbit) punya materi cerita yang tidak se-epic TLOTR. Maka 1 seri novel pun menjadi 3 film dengan durasi masing-masing sekitar dua setengah jam. Jika cerita seri pertamanya (The Hobbit: An Unexpected Journey – AUJ) dibangun dengan baik, seri keduanya (The Hobbit: The Desolation of Smaug – TdoS) baru mulai terasa dragging. Untung Peter piawai menjejalkan adegan-adegan petualangan dan pertarungan seru yang mampu membuatnya terasa enjoyable meski alur ceritanya tidak berjalan terlalu banyak. Kini tinggal satu seri terakhir untuk mengakhiri semuanya.

Selayaknya Return of the King (RotK), seri pemungkas trilogi TLOTR, The Hobbit: The Battle of the Five Armies (BFA) juga punya formula yang sama. Hampir keseluruhan durasi dijejali dengan adegan-adegan pertarungan non-stop dan dengan tensi yang semakin meningkat. Saya sempat melihat jam, dari durasi total 144 menit, sepanjang 2 jam diisi adegan pertarungan yang melibatkan 5 bangsa seperti sub-judulnya, sisanya setengah jam terakhir diisi epilog yang sekaligus menghubungkan dengan trilogy TLOTR. Feel The Hobbit selama ini yang skala ceritanya tak sebesar TLOTR otomatis terasa ter-upgrade menjadi setara. Konsekuensinya, tak banyak perkembangan karakter yang ditampilkan. Apalagi dari karakter (yang seharusnya jadi yang) utama, Bilbo Baggins yang sejak awal menjadi fokus cerita.  Di seri ini Bilbo seolah-olah kalah porsi ketimbang karakter-karakter yang sebelumnya hanya jadi pendukung, seperti Bard, Tauriel, dan Thorin. Bahkan karakter Alfrid yang sebenarnya ditampilkan sebagai penyegar adegan semata, punya porsi yang lebih banyak dan bahkan mungkin lebih diingat penonton ketimbang Bilbo. Bandingkan dengan RotK yang tetap konsisten memberikan porsi cukup untuk Frodo Baggins dan Samwise Gamgee.

Bukan berarti BFA tidak menampilkan perkembangan karakter sama sekali. Yang paling terasa adalah dilematis Thorin sebagai raja; antara ambisi pribadi dan kebijaksanaan. Namun perkembangannya terasa memang ditujukan untuk anak-anak. Begitu cliché dan dikembangkan dengan sederhana. Lebih sederhana ketimbang pergulatan batin Aragorn di RotK. So, dengan subplot-subplot yang terkesan asal ada, nikmati saja seri terakhir ini sebagai sebuah tontonan aksi seru tanpa henti yang mengasyikkan. Mungkin sedikit melelahkan di satu jam pertama, namun saya berhasil sangat menikmati satu jam berikutnya, yang sangat stylish.

Howard Shore masih konsiten memberikan score yang sama megah dan mampu menghidupkan setiap adegan dengan maksimal. Billy Boyd yang memerankan karakter Peregrin Took di trilogy TLOTR, di sini menyumbangkan lagu berjudul The Last Goodbye yang menjadi theme song. Meski tidak se-memorable I See Fire dari Ed Sheeran maupun Misty Mountains, nyatanya cukup berhasil menutup film dengan sangat memuaskan. 


The Hobbit mungkin memang disiapkan Peter Jackson sebagai trilogy prekuel yang bersambung langsung dengan trilogy TLOTR, seperti halnya Star Wars Saga. Tidak ada salahnya dengan konsep seperti itu selama mampu menghadirkan cerita yang memang menarik, tidak sekedar mengulang formula. Kita lihat saja bagaimana lagi Peter Jackson akan memanfaatkan franchise TLOTR ini untuk dikembangkan, terutama karena memang tidak ada materi universe TLOTR lagi sebagai dasar cerita. Merangkai cerita sendiri? Kenapa tidak? Let’s just wait and see.

Lihat data film ini di IMDb.

The 87th Annual Academy Awards nominee(s) for

  • Best Achievement in Sound Editing
Diberdayakan oleh Blogger.