Overview
Lihat situs resmi film ini.
Tak
banyak ada tema kuliner di ranah perfilman Nasional. Padahal sebagai salah satu
komponen kebudayaan, bangsa kita punya banyak sekali ragam kuliner yang menarik
untuk diangkat. Belum lagi Rendang yang pernah menjadi peringkat teratas
makanan terlezat dunia, dan pencapaian-pencapaian internasional lainnya yang
didapatkan justru dari dunia kuliner kita. Maka sudah waktunya kuliner
Nusantara diangkat ke layar lebar, dengan kesempatan untuk memperkenalkannya ke
dunia internasional yang lebih luas. Maka Lifelike Pictures yang selalu
memproduksi film dengan pasar internasional dan suka mengeksplor tema-tema baru,
mencoba mengangkatnya. Apalagi tema kuliner punya target audience yang lebih
luas ketimbang 2 produksi sebelumnya, Pintu
Terlarang dan Modus Anomali.
Tabula Rasa (TR) akhirnya hadir sebagai sebuah
sajian cerita sederhana yang hangat, dengan konsep dasar idealisme kebhinekaan,
dan dengan kemasan kuliner yang cukup kental dan menyatu dalam cerita.
Terdengar seperti sebuah paket yang sangat menjanjikan? Memang. Tapi mari kita
bedah satu per satu komponennya. Produser Sheila Timothy kali ini dengan berani
menggandeng dua nama yang namanya cukup populer di ranah perfilman indie art
house nasional, Tumpal Tampubolon (Rocket
Rain, Belkibolang) sebagi penulis
naskah dan Adriyanto Dewo (segmen Menunggu
Warna di Sanubari Jakarta dan Pasar Setan di Hi5teria) sebagai sutradara. Sebuah pondasi yang menarik secara
kualitas, tapi cukup mengkhawatirkan untuk target audience umum yang cenderung
lebih pop. Untung saja ternyata skrip dari Tumpal masih tergolong aman dalam
arti bisa dinikmati dan dipahami oleh penonton awam sekalipun. Dengan cerita
sederhana yang sehari-hari, namun punya “mimpi” idealisme kebhinekaan yang
kalau mau dicari di dunia nyata tergolong mustahil. Produser memahami ini
lantas menjadikannya salah satu frase untuk jualan: “Rumah Makan Padang Juru
Masaknya Papua”. Menurut salah satu teman yang kebetulan orang Minang, hal ini
mustahil karena orang Minang dikenal sangat menjaga kuat keaslian tradisi
budayanya. But yeah, once again in the name of ideal society, ini bukan menjadi
permasalahan yang substansial. Apalagi tema kebhinekaan saat ini masih
gencar-gencarnya digaungkan lewat medium film.
Permasalahan
terbesar dari TR adalah keinginannya untuk memuaskan penonton awam yang
cenderung lebih menyukai film dengan kemasan pop, sekaligus mencapai
idealis-idealis ala indie. Kalau dari premise-nya, TR jelas sangat simple dan
pop. Namun visualisasinya ternyata lebih cenderung ala indie yang senyap dan
banyak menyampaikan message secara metafora. Termasuk dalam pemilihan endingnya
yang membuat banyak penonton awam (baca: pop) bingung dan menganggapnya tidak
jelas. Akan lebih menarik, memuaskan, dan sangat relevan dengan tagline
utamanya, “Makanan adalah iktikad baik untuk bertemu” jika endingnya, misalnya
mempertemukan karakter-karakternya yang tercerai berai dalam satu ruangan.
Cukup disayangkan potensi-potensi yang dimiliki TR untuk menarik penonton lebih
luas namun gagal diraih.
But
overall, baik skrip dari Tumpal maupun penyutradaraan Adriyanto termasuk
berhasil dalam menggabungkan berbagai komponen ceritanya; mulai kebhinekaan,
sosial, konflik keluarga, persaingan, dan yang pastinya makanan, menjadi satu
kesatuan yang solid. Makanan pun jadi punya makna yang lebih luas bagi tiap
individu, ketimbang sekedar perkara lidah dan perut. Cerita yang disampaikan
juga bergulir dengan nyaman dan mengalir, tanpa terasa dipaksakan. Dan yang
paling penting, karena melibatkan tidak terlalu banyak karakter dan dituliskan
dengan perkembangan karakter yang pas dan efektif (serta diperankan dengan
sangat bagus pula oleh daftar cast-nya), film terasa begitu hangat, feel-good, dan karakter-karakternya
terasa begitu dekat dengan penonton. Terakhir tentu saja, sajian-sajian visual
makanan Padang yang pasti menggugah selera siapa saja yang menontonnya.
The Casts
TR
punya 4 karakter utama yang berbeda-beda dan sama menariknya. Beruntung
keempatnya diisi oleh cast yang sangat pas dan berhasil menghadirkan chemistry
antar karakter. Jimmy Kobogau yang baru pertama kali berakting tampil cukup
baik dalam menghadirkan karakter Hans yang porsinya paling banyak. Begitu juga
dengan Ozzol Ramdan yang menariknya adalah orang Sunda, tapi beberapa kali
memerankan karakter Minang seperti di sitkom Suami-suami Takut Istri beserta versi ‘the movie’-nya, masih
memberikan performa orang Minang asli yang meyakinkan. Berikut dengan karakternya
yang didesain untuk memberikan unsur humor di dalam cerita, yang berhasil
berfungsi dengan baik.
Tak
perlu meragukan performa akting Dewi Irawan yang begitu menonjol sepanjang
film. Tak hanya logat Minang yang terasa begitu fasih, tapi juga karakter kompleks
yang diperankannya terasa begitu hidup. Begitu juga dengan Yayu Unru yang
bahkan sampai berhasil membuat saya hening terbawa suasana di satu adegan
solo-nya. Bisa jadi di sini adalah salah satu penampilan terbaik Yayu Unru.
Technical
Sebuah
film kuliner butuh sekali sinematografi yang cantik untuk bisa membuat penonton
seolah mencium langsung aroma makanan di layar. Untuk tujaun itu, TR termasuk
berhasil. Tidak hanya adegan-adegan memasak atau makanan, hampir setiap adegan
ditata dengan cantik dari segi sinematografi. Baik itu close up, medium close
up, maupun panoramic. Kudos to penata sinematografi, Amalia TS.
Pemilihan
scoring dan lagu yang terasa sangat kental nuansa tradisionalnya, berpadu
dengan sentuhan scoring elegan ala internasional, menjadikan musik TR seolah
menghantarkan penonton ke tengah-tengah budaya Minang yang sederhana dan etnik,
namun dengan nuansa berkelas.
Terakhir,
entah faktor bioskop tempat saya menonton yang masih “klasik” atau memang
bagian dari desainnya, sehingga tata suara TR terdengar seperti sinema era
80-awal 90’an. Tidak buruk, namun di tengah gempuran film-film dengan tata
suara digital yang serba jernih dan crisp, tata suara TR terasa unik. Semoga
saja ini memang bagian dari desain film, karena ketika menonton film lain di
bioskop yang sama, ternyata tata suaranya memang setara bioskop-bioskop digital
lain.
The Essence
Sama
seperti komponen-komponen budaya lainnya, makanan tidak hanya sekedar soal
lidah dan perut. Ada banyak makna yang berbeda-beda bagi tiap individu yang
terkait dengan pengalaman dan memori. Tabula
Rasa mampu menghadirkan berbagai makna ini dalam satu kemasan yang nikmat
dan hangat.
They who will enjoy this the most
- Food and culinary enthusiast
- Audiences who love movie with personal approachment
- Audiencew who love movie with traditional cultural elements
- Feel-good movie fans
- Orang dengan latar belakang budaya Minang atau Papua
Lihat situs resmi film ini.