Overview
Luc Besson dikenal sebagai sineas
Perancis yang konsisten di jalur mainstream ala Hollywood di saat sinema
Perancis kebanyakan punya signatural sendiri yang cenderung mengarah ke art
house. Maka tak heran jika karirnya di Amerika Serikat lebih bersinar ketimbang
sineas-sineas Eropa lainnya. Meski style film-filmnya (terutama dari segi pola
storyline) sangat Hollywood dan dapat dengan mudah dinikmati, tiap filmnya tetap punya konsep yang unik.
Sebut saja Arthur & the Invisibles,
La Femme Nikita, The Fifth Element,
Leon: The Professional, dan Malavita. Bahkan di film-film dimana ia
hanya bertindak sebagai produser pun juga termasuk punya tema unik, seperti Taxi, District B13, franchise Transporter,
dan Taken. Simple namun unik dan
menarik kan?
Maka ketika trailer Lucy dirilis, siapapun yang menikmati
film-film aksi khas Besson langsung antusias. Bahkan yang tidak mengenal nama
Luc Besson, setidaknya bisa mengharapkan perpaduan non-stop action dari
kick-ass chick ala Salt dipadukan
dengan cerita sci-fi ala Limitless.
Hasil akhirnya memang benar punya perpaduan kedua elemen tersebut, namun
ternyata Besson masih mengaduknya dengan elemen-elemen lain yang membuat Lucy menjadi bukan sekedar film aksi
semata. Efeknya bisa beragam, tergantung ekspektasi dan preferensi penonton.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan
perpaduan mindless action yang seru dengan elemen sci-fi sebagai bumbu, jika
takarannya sama-sama pas. Sayangnya, Lucy
termasuk yang perpaduannya saling tumpang tindih, kurang mampu menyatu menjadi hasil
akhir yang nyaman untuk dinikmati dan juga gagal untuk mempertahankan
konsistensi racikan. Awal hingga pertengahan film, Lucy menjadi film action simple yang seru khas Besson.
Storyline-nya pun masih mampu membuat saya tertarik dan penasaran apa yang akan
terjadi selanjutnya. Apalagi di awal-awal film, Besson menyisipkan stock-stock
wildlife ala Animal Planet secara bergantian, seolah alegori dari adegan
present time yang dialami karakter Lucy. Namun mulai pertengahan, terutama
setelah kemampuan karakter Lucy semakin bertambah, film berubah menjadi semakin
mengada-ada dan terlalu banyak menghabiskan durasi untuk menjelaskan aspek
sci-fi-nya.
Seperti headline yang saya tulis di
atas, Besson yang duduk sebagai penulis naskah sekaligus sutradara di sini,
membiarkan fantasi liarnya melambung terlalu tinggi sehingga terkesan super
khayal dan at some point, silly. Berbeda dengan Limitless dimana juga sama-sama memakai konsep “what will happen
when someone uses 100% of his/her brain capacity when average person only use 10%?”
dan sama-sama punya status sebagai “fantasi”, namun masih memvisualisasikannya
secara wajar dan logis. Saya masih dibikin penasaran dengan apa saja kemampuan
yang dimiliki Lucy di setiap fase efek kerja obatnya, tapi sudah tidak begitu
peduli lagi dengan nasib Lucy selanjutnya sebagai manusia. Karakter Lucy yang
awalnya menarik dan bikin penasaran, hingga puncaknya mampu membuat saya
tersentuh saat adegan menelepon sang ibu, berubah menjadi melelahkan dan
semakin jauh dari sisi manusiawi. Siapapun akan berpikir, siapa yang peduli
lagi dengan nasib Lucy, toh dia menjadi tak terkalahkan? Once again, menarik
bagi beberapa penonton, namun unsur fantasinya jelas terasa berlebihan.
Eventually, bukannya penonton bakal lebih memilih untuk menyaksikan Scarlett
Johansson menghajar bajingan-bajingan sampai babak belur dan berdarah-darah
ketimbang berubah menjadi… ah sudahlah, lebih baik tonton saja sendiri kalau
penasaran.
The Casts
Eksistensi Scarlett Johansson sebagai
hot kick-ass chick semakin kukuh dengan peran Lucy yang cukup remarkable,
sejajar dengan karakter Black Widow di franchise The Avengers yang sudah lebih dulu melekat pada dirinya. Kemampuan
aktingnya pun terasa semakin terasah dengan baik. Beragam fase karakternya di
sini; mulai gadis naif yang kebingungan, smart and powerful kick-ass chick,
hingga touching moment ketika menelepon sang ibu di meja operasi. Kesemuanya
berhasil memainkan emosi saya sesuai porsinya. A very cool performance.
Sementara Morgan Freeman dan Amr Waked
yang sebenarnya punya porsi tampil yang cukup besar, masih kalah dalam hal
menarik perhatian penonton. Justru penampilan Choi Min-Sik (pemeran Oh Dae-su
di Oldboy versi asli Korea) sebagai
bos mafia Mr. Jang, dan Analeigh Tipton (salah satu kontestan America’s Next Top Model), lebih mencuri
layar ketika tampil, meski masing-masing punya durasi yang tergolong minim.
Technical
Seperti film-film Besson sebelumnya,
tata kamera dan editing yang dinamis menjadi aspek utama yang menggerakkan
keseruan film. Ditambah visual effect yang beberapa tampak keren, meski ada
juga CGI yang terlihat kasar, seperti saat adegan fisik Lucy yang mulai hancur
dan CGI efek obat di dalam tubuh Lucy yang mengingatkan saya akan visualisasi Crank.
Tata suara cenderung biasa saja. Sesuai
dengan kebutuhan adegan namun tak ada yang istimewa, termasuk dalam pemanfaatan
efek surround yang tidak terdengar begitu mencolok. Scoring dari Eric Serra
cukup mampu memberikan energi sesuai dengan mood film keseluruhan yang dinamis.
Ditambah sumbangan track Sister Rust
dari frontman Blur dan Gorillaz,
Damon Albarn yang dengan kerennya mampu merepresentasikan film secara
keseluruhan.
The Essence
Manusia boleh saja terus berevolusi
dalam perkembangannya dari generasi ke generasi. Namun tujuannya masih sama
dengan tujuan sebuah sel sederhana yang membelah diri: to pass it on to others.
They who will enjoy this the most
- Penonton yang terbuka atas aspek sci-fi-nya
- They who don’t opppose Darwin’s evolution theory
- Penonton yang mencari hiburan film action seru (dan brainless) tanpa mempedulikan logika