Overview
Kisah
young adult dengan latar belakang dystopian memang sedang menjadi trend di
ranah novel dan akhirnya merambah juga dunia film dengan maraknya film adaptasi
dari novel. Meski punya tema yang mirip dan dibuat dengan budget yang tidak
begitu fantastis untuk ukuran Hollywood, The
Hunger Games (THG) dan Divergent
berhasil membuktikan diri tetap bisa tampil mengesankan baik secara kualitas
maupun penghasilan di box office. Saat keduanya masih akan terus dilanjutkan
dalam sekuel-sekuelnya, muncul satu lagi dystopian young adult yang diangkat ke
layar lebar, The Maze Runner (TMR)
yang novelnya ditulis oleh James Dashner.
Tak
beda jauh dengan THG maupun Divergent,
di TMR sekelompok remaja dikumpulkan di suatu tempat untuk bertahan hidup.
Uniknya, ada sebuah labirin raksasa yang berubah-ubah dan mereka tidak tahu
apa-apa selain berusaha tetap hidup. Yang penasaran dan ingin keluar akan
mencari jalan untuk kabur, meski tak jelas resiko yang harus mereka hadapi di
ujung labirin. Sedangkan yang pasrah berusaha untuk menikmati hidup di
lingkungan yang baru dan bisa dikatakan alam liar.
Meski
secara garis besar premise-nya mirip, tapi harus saya akui punya konsep cerita
yang menarik dan potensial untuk menjadi film petualangan yang seru dan
mendebarkan. Dengan dukungan bintang-bintang muda yang sedang naik daun,
semakin besar potensi TMR menjadi tontonan yang menarik. Nyatanya TMR memang
punya cukup banyak adegan yang mendebarkan, terutama di dalam labirin dan
serangan griever, makhluk semacam gabungan organisme serangga dan cyborg. Namun
keseruannya hanya bisa dinikmati jika sebagai sepotong-sepotong adegan saja.
Secara keseluruahn, entah faktor apa saja yang membuat TMR berjalan tidak
nyaman dan membosankan.
Saya
sempat mencoba menemukan faktor apa yang membuat TMR jatuh menjadi tidak
menarik dan cenderung membosankan. Ternyata ada beberapa faktor yang saya
temukan. Paling pertama dan utama adalah skripnya yang tidak luwes dalam
menyusun adegan dan cerita secara keseluruhan. Entah bagaiman jalan cerita
versi novelnya, tapi yang pasti menurut saya untuk tipe film berseri, tiap
seri harus punya jalinan cerita yang bisa berdiri sendiri. Setidaknya ada
hal-hal yang terungkap dengan jelas. Barulah di seri berikutnya mengembangkan
dari basic cerita bagian pertama. Namun yang terjadi di TMR adalah alur
ceritanya tidak banyak berkembang. Alih-alih satu per satu rahasia diungkapkan agar
penonton semakin penasaran dengan akhir cerita, naskah membiarkan
karakter-karakternya sama clueless-nya dengan penonton tentang apa yang terjadi. Alhasil baru
menjelang akhir, barulah dibeberkan rahasia besarnya. Itupun ditampilkan dengan
standard (seperti yang sudah bisa kita tebak seperti di cerita young-adult
dystopian lainnya) dan tidak banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari
penonton. In short, penantian mencari jawaban yang cukup melelahkan hingga
membuat penonton tidak lagi pedulu, tidak dibayar dengan sesuatu yang menarik
dan benar-benar jelas. Lihat saja dialog yang paling sering muncul sepanjang
durasi; “I don’t know”, “he’s right”, dan sejenisnya.
Kelemahan
kedua adalah tidak ada satupun karakter yang dikembangkan dengan cukup. Bahkan
untuk karakter utama, Thomas. Kemungkinan terbesar adalah film terlalu sibuk
untuk menceritakan kejadian demi kejadian hingga penyikapan rahasia,
sampai-sampai lupa untuk mempedulikan karakter-karakternya. Padahal menurut
saya karakter-karakter utama yang ditampilkan punya potensi menjadi menarik
jika saja dikembangkan dan diberi porsi yang lebih banyak. Setidaknya, bisa
menimbulkan rasa simpati dari penonton. Sehingga ketika karakternya dimatikan,
penonton bisa merasakan emosi kehilangan. Tapi TMR memilih untuk mengabaikan
faktor “emosi” ini demi terlihat trying too hard to look cool dengan ceritanya
yang ternyata jatuh biasa saja.
Well,
in the end nikmati saja beberapa adegan seru yang dimiliki TMR secara terpisah.
Tak perlu repot-repot berusaha mengikuti alur ceritanya. Percayalah, Anda tidak
akan melewatkan apa-apa, sekaligus menghemat kinerja otak.
The Casts
Sebagai
karakter utama, Dylan O’Brien yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu cast
serial Teen Wolf tidak berhasil
menarik perhatian. Karakternya berusaha tampil keren dan pemberani, tapi aura
awkward dan dungunya lebih mendominasi, sehingga menggusur semua karakteristik
sebenarnya yang ingin ditampilkan. Sebaliknya, Will Poulter justru sukses
mengubah otal image-nya yang selama ini cukup kuat melekat lewat We’re the Millers. Karakternya yang
cocky dan sok jagoan berhasil dihidupkan dengan gemilang. Begitu juga aktor
Korea, Ki Hong Lee yang beru pertama kali tampil di layar lebar, justru punya
charm yang jauh lebih baik ketimbang Dylan.
Sisanya,
Thomas Brodie-Sangster masih belum
berubah jauh secara tampilan fisik dan karakteristik dari penampilannya di Love Actually dan Nanny McPhee. Sementara Kaya Scodelario, salah satu dari sebagian
kecil aktris di film, belum cukup punya kharisma (dan juga porsi peran) untuk
menarik perhatian penonton. Sayang sekali di lini pemeran pendukung dewasa,
tidak diisi oleh aktor maupun aktris ternama seperti yang pernah dilakukan THG
maupun Divergent untuk menarik
perhatian lebih banyak range penonton.
Technical
Sebenarnya
tak ada masalah berarti di divisi visual. Labirin raksasa, griever, maupun
markas besar WICKED ditampilkan dengan cukup mengesankan, baik dari segi desain
maupun kualitas CGI. Aspek audio pun menurut saya di atas rata-rata genre
sejenis, terutama dalam hal pemanfaatan fasilitas surround yang sangat
impressive. Score dari John Paesano meski tidak begitu signatural, tapi lebih
dari cukup untuk membangun suasana sepanjang film.
Yang
cukup mengganggu saya mungkin adalah tampilan karakter-karakter utama, terutama
dari segi rambut Minho yang tetap dengan potongan rapi (dan mungkin juga tampak
menggunakan gel rambut) meski sudah tinggal di dalam Maze selama
bertahun-tahun. I wonder, apakah mungkin di dalam box supply termasuk hair
razor?
Cukup
disayangkan juga TMR tidak memberikan original soundtrack yang menarik, seperti
halnya THG dan Divergent. Keduanya
justru menjadikan original soundtrack sebgai aspek penting untuk menarik
perhatian audience sekaligus sarana promosi.
The Essence
Ada
2 tipe manusia secara garis besar, ketika harus memilih jalan hidup. Kebanyakan
ada yang memilih untuk berusaha beradaptasi dan membuat hidupnya saat ini
senyaman mungkin (dengan kata lain: nerimo). Tapi ada juga yang lebih memilih
untuk mencari tahu “dunia luar”.
Tapi
kalau mau dianalisis lebih dalam lagi, sikap berusaha beradaptasi dan mencoba
menikmati apa yang dimiliki sekarang tidak membuat seseorang menjadi
berkembang. Pertanyaannya: mau sampai kapan ia mau bertahan seperti itu? Jika
memilih untuk mencari tahu “dunia luar”, mungkin punya resiko yang besar, tapi
setidaknya memiliki kesempatan dan harapan untuk menjadi lebih baik ketimbang
hanya diam di comfort zone.
They who will enjoy this the most
- Fans of the novel
- Fans of young adult dystopian adventure
- General audiences who seek for instant exciting adventure movie, especially teenagers