3D
4/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Comedy
Hollywood
Mythology
Pop-Corn Movie
The Jose Movie Review
War
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Hercules (2014)
Overview
Siapa
yang tidak tahu kisah mitologi Hercules? ‘Anak haram’ Dewa Zeus ini sudah sejak
lama dan sering sekali diangkat ke berbagai medium. Mulai komik, serial,
animasi, hingga film. Namun sejauh yang saya ingat, di ranah layar lebar hanya Hercules in New York (1969) dan versi
animasi Disney tahun 1997 yang benar-benar melekat. Sedangkan di ranah serial,
versi Kevin Sorbo dan Ryan Gosling yang saya ingat. Maklum, sesuai dengan era
ketika saya tumbuh. Tahun 2014, sutradara aksi era 90-an, Renny Harlin (Die Harderm, Cliffhanger, dan Deep Blue
Sea) sempat mencoba peruntungan dengan menjadikan Kellan Lutz sebagai
Hercules di The Legend of Hercules.
Sayang hasilnya tak lebih dari sekedar film kelas B dan easily forgettable. Tak
mengapa, karena di tahun yang sama, sutradara yang dikenal jauh lebih berkelas,
Brett Ratner, juga mengangkat kisah Hercules dengan treatment yang jauh lebih
berkelas, tentu saja.
Bedanya,
Hercules versi Ratner diangkat dari
novel grafis karya Steve Moore, sahabat Alan Moore (penulis novel grafis Watchmen dan V for Vendetta). Sayang setelah Steve Moore meninggal dunia, Alan
justru memboikot versi film karya Ratner ini. Sebuah black bash yang bisa
berdampak kurang bagus bagi penghasilan box office-nya. Well, before judging
this installment, we better look at the movie first.
Saya
menyaksikan Hercules versi Ratner
tanpa ekspektasi apa-apa. Jujur, saya tidak begitu semangat menyaksikannya
karena kebosanan saya akan film bertemakan mitologi Yunani dan sejenisnya masih
belum hilang juga. Ternyata saya salah. Hercules
versi Ratner ini jauh melebihi ekspektasi saya. Even more, I really enjoyed and
dare to say, it’s one of the best version of Hercules’ story ever put in
cinemas.
Jika
Anda mengharapkan kisah Hercules sebagai tokoh mitologi yang merupakan anak
haram dari Zeus dengan kekuatan tak terkalahkan, maka mungkin Anda akan kecewa.
But as for me, justru versi manusiawi dan realistis dari Hercules inilah yang
menjadi kekuatan utamanya. Tak hanya sekedar ikut-ikutan tren treatment film
superhero saat ini, perubahan di sini justru bisa dengan lebih mudah dan lebih
dalam menyampaikan tema kepahlawanan dan harapannya, seperti halnya esensi dari
kisah aslinya. Lebih baik lagi, kisahnya tak sampai terjerumus dalam
cliché-cliché yang hampir selalu terjadi di film sejenis, misalnya penyisipan
kisah cinta. Tidak pula terjerumus dalam nuansa gelap (yang juga menjadi trend
film saat ini), ia justru berani mempertahankan kemasannya sebagai tontonan
pure hiburan yang fun dan seru.
Tak
hanya storyline saja, Hercules versi
Ratner mampu dengan adil membagi porsi karakter-karakter pendukungnya sehingga
kesemuanya mampu tampil sama kuat dan mengesankannya bagi penonton, tanpa
terasa tumpang tindih ataupun serakah ingin menampilkan semua. Hal yang sulit
dilakukan, tapi Ratner mampu melakukannya dengan sangat baik.
Turnover
cerita di klimaks bisa jadi mudah ditebak, namun keseluruhan adegan aksi yang
ditawarkan dengan seru dan menegangkan (menurut saya hanya minus cipratan darah
saja yang menjadi kekurangannya) plus humor di sana-sini (that’s why Dwayne
‘The Rock’ Johnson was hired), membuatnya menjadi tontonan mengasyikkan, dengan
pondasi konsep cerita yang cukup kuat dan fresh pula.
The Casts
Dwayne
‘The Rock’ Johnson memang punya signatural look yang pasti memberikan efek
komedi ke film. Jujur, saya tidak melihat Dwayne sebagai sosok Hercules yang
cocok dan cukup kharismatik. Entah faktor garis wajah atau usia, yang pasti
sosok Hercules yang selama ini ada di benak saya, sama sekali tak tergambarkan
di versi Ratner ini. Seperti Dwayne menciptakan karakternya sendiri yang
kebetulan bernama ‘Hercules’ dan memanfaatkan mitos ‘putra Zeus’. Menurut saya
ini tidak berarti buruk. Sah-sah saja sosok Hercules seperti apa yang mau
ditampilkan, toh Hercules bukanlah tokoh asli yang harus dijaga keotentikannya.
In the name of entertainment, Dwayne still delivered a good performance.
Di
lini pemeran pendukung, Ian McShane, Rufus Sewell, Aksel Hennie, Ingrid Bolsø
Berdal, dan Reecee Ritchie mampu tampil memikat dengan karakter masing-masing
yang unik, ditunjang pembagian porsi peran yang merata. Begitu pula John Hurt,
Joseph Fiennes, dan Rebecca Ferguson yang tak kalah menariknya. Terakhir, siapa
saja pasti menantikan penampilan Irina Shayk sebagai Megara meski running
time-nya sangat sedikit.
Technical
Hercules versi Ratner adalah project berbudget besar yang
tentu saja tak perlu meragukan lagi kualitas visual dan audionya. Meski tak
terlalu signatural dan remarkable, visual effect-nya termasuk mampu mendukung
kebutuhan cerita dengan cantik, termasuk desain kota-kota yang indah.
Efek
3D tak disangka memberikan kontribusi yang besar dalam membuat visualisasi Hercules menjadi outstanding. Didukung
efek depth dan pop-out yang mencolok dan banyak, efek 3D dipertajam dengan
angle kamera yang dibuat sedekat mungkin. Sayang sekali jika Anda berkesempatan
menyaksikan versi 3D tapi melewatkannya begitu saja.
Score-nya
yang cukup membangun nuansa grande, berhasil semakin menghidupkan emosi di
setiap adegan, meski tak begitu memorable. Terakhir, sound effect yang dahsyat
dan memanfaatkan efek surround secara maksimal, turut memberikan pengalaman
menonton yang sangat memuaskan.
The Essence
Manusia
butuh sosok dan cerita-cerita hebat untuk memberikan motivasi serta menumbuhkan
rasa percaya diri. Mungkin terkesan khayal dan tidak masuk akal, tetapi efek psikologisnya
bisa jadi cukup mempengaruhi.
They who will enjoy this the most
- Mythological stories’ fans
- Dwayne ‘The Rock’ Johnson’s fans
- General audiences who seek for light and exciting entertainment, but still open minded about a different version of the original material