The Jose Movie Review
Sin City: A Dame to Kill For

Overview

Tahun 2005 sutradara nyentrik yang gemar membuat film dengan gaya B-class (atau yang ia sebut sebagai grindhouse), Robert Rodriguez, menggarap film adaptasi dari novel grafis karya Frank Miller, Sin City (SC). Dengan visualisasi ala novel grafisnya, SC karya Robert Rodriguez lebih tepat sebagai “memindahkan” dari panel-panel gambar ke adegan-adegan di layar bioskop. Ditambah dengan adegan-adegan gokil, gila, dan remarkable khas Rodriguez, jadilah SC jenis film yang unik dan bagi saya, bikin kangen. Maka ketika 9 tahun kemudian muncul sekuelnya, segera antusiasme saya naik.

Sekedar informasi, SC sebenarnya tersusun dari beberapa cerita dengan sudut pandang karakter utama masing-masing, tapi berada di universe yang sama, yaitu Basin City. Sehingga kesemua cerita bisa saling berkaitan (interwoven). Premise utamanya adalah pengalaman beberapa karakter yang tak hanya berjuang demi self-survival, tetapi juga aksi vigilante melawan penguasa yang korup. Dilihat dari timeline, Rodriguez juga memilih cerita yang diangkat ke layar lebar secara acak. Sehingga bisa jadi di satu film, kesemua ceritanya tak berada pada satu timeline yang paralel. Begitu juga di Sin City – A Dame to Kill For (ADTKF), Rodriguez lebih memilih mengklasifikasi cerita sesuai tema ketimbang urutan novel grafisnya. Jika SC berfokus pada kisah-kisah dari sudut pandang pria, maka sesuai yang dipilih sebagai judul utamanya, ADTKF berisi kisah-kisah dari sudut pandang karakter wanita. Ada 4 segmen berbeda, tapi hanya 3 segmen yang benar-benar diangkat dari novel grafis Frank Miller, yaitu Just Another Saturday Night yang berfokus pada kisah Marv, A Dame to Kill For yang berfokus pada kisah Dwight dan Ava, serta The Long, Bad Night yang konon belum pernah dipublikasikan dan berfokus pada kisah Johnny. Satu lagi, kisah Nancy Callahan di Nancy’s Last Dance yang bisa dibilang expansion story dari That Yellow Bastard.

Dibandingkan dengan SC, ADTKF punya kelebihan dan kelemahan. Susah jika menilai storyline dan story telling Rodriguez di sini, karena sudah punya basic source yang jelas dan sangat dipatuhi oleh Rodriguez, yaitu novel grafisnya, meski ada segmen yang direka sendiri olehnya. Bagaimanapun saya harus mengakui adegan-adegan di ADTKF tak se-remarkable dan segokil SC. Plot-plotnya pun tak dikembangkan lebih dalam hingga kesemuanya terasa biasa saja. Pun demikian, signatural-signatural khas SC sudah lebih dari cukup untuk mengobati kerinduan saya. Meski adegan-adegannya tak segila dan seklimaks SC, visualisasi ADTKF masih cukup unggul terutama dari segi sinematografi yang serba indah dan visual effect yang semakin halus. Satu hal lain yang tak boleh dipungkiri menjadi kelebihan ADTKF adalah dialog-dialognya yang terasa lebih punya depth dan cerdas ketimbang SC.

So yes, nikmati ADTKF sebagaimana memang tujuan ia dibuat: hiburan unik. Segmented, tapi storyline dan adegan-adegannya cukup asyik dinikmati tanpa melibatkan emosi dan logika. Lose yourself and you’ll still enjoy its every moment, just like the first installment.

The Casts

Aktor-aktor yang pernah tampil di installment pertamanya, seperti Mickey Rourke, Jessica Alba, Rosario Dawson, Bruce Willis, dan Power Boothe masih menampilkan kualitas performa yang kurang lebih sama.

Sementara di jajaran pemain baru, Eva Green terasa paling menonjol dan sangat pas memerankan karakter Ava. Tentu saja penampilan ‘berani’-nya di beberapa adegan semakin menambah daya tariknya yang menonjol sepanjang durasi. Josh Brolin mampu meneruskan karakter yang diwariskan Clive Owen dengan mulus, tanpa terasa timpang. Sementara Joseph Gordon Levitt juga mampu tampil menonjol berkat karakter yang punya porsi cukup banyak, di samping gelaran plot segmennya yang memang sudah menarik.

Satu hal yang paling saya sayangkan adalah digantinya pemeran Miho dari Devon Aoki menjadi Jamie Chung. Meski sebenarnya Chung tak tampil buruk, entah kenapa perubahan (fisik) karakternya terasa tak semulus perubahan Brolin-Owen. Untung saja porsi karakternya tak sebanyak di installment pertama.

Technical

Seperti yang sudah saya sampaikan di segmen sebelumnya, ADTKF punya visualisasi nyentrik hitam-putihnya yang jauh lebih baik dan halus. Didukung pula dengan sinematografi yang mempresentasikan angle-angle sempurna nan indah. Editing juga turut memberikan kontribusi yang cukup besar dalam merangkai koneksi tiap segmen dengan smooth, sehingga tidak membingungkan dan tak terasa tumpang tindih.

Aspek audio pun ditata dengan sangat mumpuni. Tak hanya menghadirkan suara-suara gemuruh deru mesin mobil, pecahan kaca, hingga tembakan serta ledakan yang terdengar renyah, tapi juga memanfaatkan gimmick surround secara maksimal. Ditambah scoring yang berkarakter khas, ADTKF sangat memanjakan telinga.

The Essence

Hidup di tengah-tengah masyarakat yang serba korup bukan berarti harus beradaptasi ikut-ikutan korup. Tak mudah memang berusaha memperjuangkan sesuatu yang kita anggap benar. Tapi ikut-ikutan menjadi salah tidak akan membuat hidup otomatis menjadi lebih mudah. Tetap bertahan dan berjuang melawan mayoritas masyarakat yang korup sekalipun, justru membuat hidup terasa lebih punya makna.

They who will enjoy this the most

  • Audiences who enjoyed the first installment
  • Bloody and gory action fans
  • The original Frank Miller’s graphic novel fans
  • General audiences who seek for an instant and exciting entertainment, without emotion nor logic involved 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.