3.5/5
Action
Adventure
Artistic
Based on Book
black and white
Cult
Franchise
Gore
Grind house
Hollywood
Movie
Omnibus
Pop-Corn
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Sin City: A Dame to Kill For
Overview
Tahun
2005 sutradara nyentrik yang gemar membuat film dengan gaya B-class (atau yang
ia sebut sebagai grindhouse), Robert Rodriguez, menggarap film adaptasi dari
novel grafis karya Frank Miller, Sin City
(SC). Dengan visualisasi ala novel grafisnya, SC karya Robert Rodriguez lebih
tepat sebagai “memindahkan” dari panel-panel gambar ke adegan-adegan di layar
bioskop. Ditambah dengan adegan-adegan gokil, gila, dan remarkable khas
Rodriguez, jadilah SC jenis film yang unik dan bagi saya, bikin kangen. Maka
ketika 9 tahun kemudian muncul sekuelnya, segera antusiasme saya naik.
Sekedar
informasi, SC sebenarnya tersusun dari beberapa cerita dengan sudut pandang
karakter utama masing-masing, tapi berada di universe yang sama, yaitu Basin
City. Sehingga kesemua cerita bisa saling berkaitan (interwoven). Premise
utamanya adalah pengalaman beberapa karakter yang tak hanya berjuang demi
self-survival, tetapi juga aksi vigilante melawan penguasa yang korup. Dilihat
dari timeline, Rodriguez juga memilih cerita yang diangkat ke layar lebar
secara acak. Sehingga bisa jadi di satu film, kesemua ceritanya tak berada pada
satu timeline yang paralel. Begitu juga di Sin
City – A Dame to Kill For (ADTKF), Rodriguez lebih memilih mengklasifikasi
cerita sesuai tema ketimbang urutan novel grafisnya. Jika SC berfokus pada
kisah-kisah dari sudut pandang pria, maka sesuai yang dipilih sebagai judul
utamanya, ADTKF berisi kisah-kisah dari sudut pandang karakter wanita. Ada 4
segmen berbeda, tapi hanya 3 segmen yang benar-benar diangkat dari novel grafis
Frank Miller, yaitu Just Another Saturday
Night yang berfokus pada kisah Marv, A
Dame to Kill For yang berfokus pada kisah Dwight dan Ava, serta The Long, Bad Night yang konon belum
pernah dipublikasikan dan berfokus pada kisah Johnny. Satu lagi, kisah Nancy
Callahan di Nancy’s Last Dance yang
bisa dibilang expansion story dari That
Yellow Bastard.
Dibandingkan
dengan SC, ADTKF punya kelebihan dan kelemahan. Susah jika menilai storyline
dan story telling Rodriguez di sini, karena sudah punya basic source yang jelas
dan sangat dipatuhi oleh Rodriguez, yaitu novel grafisnya, meski ada segmen
yang direka sendiri olehnya. Bagaimanapun saya harus mengakui adegan-adegan di
ADTKF tak se-remarkable dan segokil SC. Plot-plotnya pun tak dikembangkan lebih
dalam hingga kesemuanya terasa biasa saja. Pun demikian, signatural-signatural
khas SC sudah lebih dari cukup untuk mengobati kerinduan saya. Meski
adegan-adegannya tak segila dan seklimaks SC, visualisasi ADTKF masih cukup
unggul terutama dari segi sinematografi yang serba indah dan visual effect yang
semakin halus. Satu hal lain yang tak boleh dipungkiri menjadi kelebihan ADTKF
adalah dialog-dialognya yang terasa lebih punya depth dan cerdas ketimbang SC.
So
yes, nikmati ADTKF sebagaimana memang tujuan ia dibuat: hiburan unik. Segmented,
tapi storyline dan adegan-adegannya cukup asyik dinikmati tanpa melibatkan
emosi dan logika. Lose yourself and you’ll still enjoy its every moment, just
like the first installment.
The Casts
Aktor-aktor
yang pernah tampil di installment pertamanya, seperti Mickey Rourke, Jessica
Alba, Rosario Dawson, Bruce Willis, dan Power Boothe masih menampilkan kualitas
performa yang kurang lebih sama.
Sementara
di jajaran pemain baru, Eva Green terasa paling menonjol dan sangat pas memerankan
karakter Ava. Tentu saja penampilan ‘berani’-nya di beberapa adegan semakin
menambah daya tariknya yang menonjol sepanjang durasi. Josh Brolin mampu
meneruskan karakter yang diwariskan Clive Owen dengan mulus, tanpa terasa
timpang. Sementara Joseph Gordon Levitt juga mampu tampil menonjol berkat
karakter yang punya porsi cukup banyak, di samping gelaran plot segmennya yang
memang sudah menarik.
Satu
hal yang paling saya sayangkan adalah digantinya pemeran Miho dari Devon Aoki
menjadi Jamie Chung. Meski sebenarnya Chung tak tampil buruk, entah kenapa perubahan
(fisik) karakternya terasa tak semulus perubahan Brolin-Owen. Untung saja porsi
karakternya tak sebanyak di installment pertama.
Technical
Seperti
yang sudah saya sampaikan di segmen sebelumnya, ADTKF punya visualisasi
nyentrik hitam-putihnya yang jauh lebih baik dan halus. Didukung pula dengan
sinematografi yang mempresentasikan angle-angle sempurna nan indah. Editing
juga turut memberikan kontribusi yang cukup besar dalam merangkai koneksi tiap
segmen dengan smooth, sehingga tidak membingungkan dan tak terasa tumpang
tindih.
Aspek
audio pun ditata dengan sangat mumpuni. Tak hanya menghadirkan suara-suara
gemuruh deru mesin mobil, pecahan kaca, hingga tembakan serta ledakan yang
terdengar renyah, tapi juga memanfaatkan gimmick surround secara maksimal.
Ditambah scoring yang berkarakter khas, ADTKF sangat memanjakan telinga.
The Essence
Hidup
di tengah-tengah masyarakat yang serba korup bukan berarti harus beradaptasi
ikut-ikutan korup. Tak mudah memang berusaha memperjuangkan sesuatu yang kita
anggap benar. Tapi ikut-ikutan menjadi salah tidak akan membuat hidup otomatis
menjadi lebih mudah. Tetap bertahan dan berjuang melawan mayoritas masyarakat
yang korup sekalipun, justru membuat hidup terasa lebih punya makna.
They who will enjoy this the most
- Audiences who enjoyed the first installment
- Bloody and gory action fans
- The original Frank Miller’s graphic novel fans
- General audiences who seek for an instant and exciting entertainment, without emotion nor logic involved