3.5/5
Action
Blockbuster
Box Office
Disaster
Family
Fantasy
Franchise
Hollywood
Humanity
Monster
Pop-Corn Movie
quotebanner
Remake
SciFi
Summer Movie
Survival
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Godzilla (2014)
Overview
Amerika
Serikat (atau Hollywood) boleh saja punya banyak monster, raksasa, alien, atau
makhluk-makhluk fiktif lainnya. Tapi tetap saja the king of them all adalah
monster raksasa asal Jepang, Gojira (atau yang oleh orang Amerika disebut
sebagai Godzilla). Sejak kemunculannya pertama kali tahun 1954, Godzilla sudah
menggemparkan dunia. Terbukti film-film dengan karakter Godzilla terus
diproduksi hingga era 2000-an. Bahkan tahun 1998 Hollywood pernah memboyongnya
dengan taste Amerika Serikat lewat Godzilla
dengan arahan spesialis film bencana, Roland Emmerich. Bukan karya yang buruk
sebenarnya untuk sebuah film disaster hiburan. Tapi bagi orang Jepang dan
fanatik Godzilla asli di seluruh dunia, Godzilla
versi Emmerich adalah sebuah pelecehan dengan memposisikan sang Mother Monster
sebagai pengacau. So, Hollywood mencoba sekali lagi mengangkatnya dengan konsep
yang jauh lebih setia pada sumber materi aslinya.
Maka fanatik
Godzilla asli boleh bersorak dengan versi Gareth Edwards tahun 2014.
Menampilkan Godzilla sebagai sosok makhluk raksasa yang menjaga keseimbangan
alam adalah keputusan bagus yang pertama. Selain menggembirakan fanatik
aslinya, tentu bagi penonton awam, konsep ini adalah sesuatu yang baru (atau
setidaknya, jarang diangkat) untuk genre giant monster. So, one differentiation
has already in hand. Keputusan bagus kedua adalah menggunakan formula yang bisa
diterima dan dinikmati oleh penonton awam yang biasa datang ke bioskop hanya
untuk mencari hiburan: formula survival ala Jurassic
Park ditambah drama keluarga yang selalu manjur untuk merengkuh emosional
penonton.
Tetapi
Gareth tahu betul sisi apa yang ingin ditonjolkannya: sang raksasa, Godzilla,
bukan karakter-karakter manusianya. So, tak heran jika porsi pengembangan
karakter-karakter manusianya diberi secukupnya saja. Bagi beberapa penonton
yang lebih menyukai perkembangan karakter yang mumpuni di film mungkin akan
mengeluhkan hal ini, tapi akan dianggap cukup bagi penonton umum dan fanatik
Godzilla. Kalau menurut saya pribadi sih porsinya sudah cukup, tetapi yang
cukup mengusik saya adalah perbedaan usia antar generasi karakter yang agak janggal
(Ford yang kira-kira berusia 25 tahunan punya anak Sam yang usianya sekitar 10
tahunan?)
Sebagai film
bertemakan monster raksasa, Edwards tahu betul bagaimana menyusun ketegangan
adegan yang slow-burn. Tidak terburu-buru tapi cukup efektif menjaga
intensitasnya sepanjang durasi. Bahkan di saat adegan dialog pun, saya masih
diliputi rasa was-was dan penasaran dengan sosok Godzilla yang
dinanti-nantikan. Namun begitu sosoknya terlihat penuh untuk pertama kalinya,
Edwards sekali lagi berhasil membuat penonton terpana oleh sosoknya berkat
permainan tata kamera, tata suara, dan editing yang pas. Yes, that’s exactly how
you make a giant monster movie!
Sayangnya
beberapa adegan Godzilla dan MUTO (termasuk adegan pertarungan mereka) lebih
banyak diambil dari sudut pandang karakter manusia. Kemungkinan efeknya bagi
penonton bisa terpecah dua: ada yang menyukainya karena menimbulkan fantasi
tersendiri dalam benak, tetapi ada pula yang kecewa karena visualisasinya
dianggap kepalang tanggung. Lagipula pemilihan porsi sang Godzilla yang lebih
banyak seharusnya lebih berfokus pada sudut pandang Godzilla ketimbang karakter
manusianya sendiri.
Yah itulah Godzilla versi 2014. Dengan segala
upaya, Edwards berusaha untuk memuaskan semua kalangan. Hasilnya tentu saja ada
yang menyambutnya dengan sorak sorai, namun tidak sedikit pula yang merasakan
biasa saja. As for me, it’s still a good thriller about giant monster movie,
especially Godzilla’s, but nothing’s really really impressive so that I can remember
the sequences for a long time. Mungkin karena usaha untuk memuaskan semua pihak
tersebut yang membuatnya terasa serba tanggung. But hey, at least it’s still an
entertaining and thrilling two hours to enjoy. Take it as it is.
The Casts
Para cast
utama rata-rata sudah memberikan performa yang maksimal meski porsi perannya
yang masih terasa serba tanggung. Misalnya saja Aaron Taylor-Johnson dan Elizabeth
Olson yang cukup lovable. Bryan Cranston yang meski porsinya hanya sekitar
setengah durasi film juga tampil cukup berkesan. Sayang Ken Watanabe kali ini
seperti kehilangan kharisma seperti yang terpancar di peran-peran sebelumnya.
Bukan salah dia, tapi memang skripnya yang mengharuskan ia seolah tak begitu
penting, hanya penyambung asal-muasal sang Godzilla.
Technical
Film
bergenre giant monster dan destruksi jelas bertumpu pada kedahsyatan tata
suara. And for that purpose, Godzilla
2014 adalah juaranya. Dengarkan saja auman sang Godzilla, gedung-gedung
berguguran... semuanya terdengar bombastis dari tata suara bioskop. Belum lagi
efek surround yang dimanfaatkan dengan maksimal. Untuk visual effect, juga tak
perlu diragukan lagi. Tampilan Godzilla dan MUTO beserta gedung-gedung yang
hancur tampak begitu fantastis, melebihi film-film bergenre sejenis sebelumnya.
The Essence
Manusia
seringkali merasa punya kuasa dan kendali atas alam semesta. Padahal yang
sesungguhnya terjadi justru sebaliknya. Alam semesta selalu menemukan jalan untuk
menjaga keseimbangan dan eksistensinya meski sering diusik oleh manusia. Don’t
play with mother nature!
They who will enjoy this the most
- Original Japanese Godzilla’s fanatics
- General audiences who seek for thrilling and spectacular entertainment
Lihat data film ini di IMDb.